Sering kali terdengar bahwa perempuan kurang layak apabila memiliki jabatan penting di sebuah instansi atau birokrasi. Jika masih ada laki-laki mengapa harus perempuan? Benar, jika perempuan kerap menjadi makhluk nomor dua setelah laki-laki.
Bukan tanpa alasan, konstruksi sosial yang telanjur berprinsip patriarki selalu menempatkan perempuan di nomor sekian. Tanpa sadar, konstruksi demikian semakin lama akan menjadi pola yang terus mengikat, semakin kuat, dan sukar terlerai.
Dalam hal birokrasi, perempuan memang mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai pegawai, tapi tidak untuk memimpin. Pembagian jabatan masih saja terpengaruhi dikotomi laki-laki dan perempuan. Secara umum, untuk menduduki posisi penting pada sebuah birokrasi hendaknya berdasar pada sistem meritokrasi yang memberikan kesempatan kepada siapa saja baik laki-laki maupun perempuan untuk memimpin berdasarkan kemampuan dan prestasi yang mereka miliki.
Perkembangan Karier
Pada kenyataannya, perkembangan karier perempuan untuk mendapatkan jabatan penting dan strategis masih saja terhambat. Banyak hal yang menghambat jenjang karier perempuan misalnya kultur, sosial, dan personal (Partini, 2013). Hal ini telah membentuk konstruksi dan relasi gender dalam birokrasi yang timpang sebagai sebuah paradoks karena antara pertumbuhan dengan akses untuk menempati jabatan-jabatan struktural tidaklah linier.
Hal tesebut, cukup menjelaskan bahwa sistem birokasi jabatan khusunya di Indonesia masih mengindikasikan adanya glass ceiling. Para aktivis gender dan feminisme mungkin sudah akrab dengan istilah glass ceiling. Konsep glass ceiling menurut Velsor yang mengutip Adair (2009) adalah keadaan perempuan yang cenderung mengalami kesulitan untuk mencapai prestasi tertinggi dalam kariernya.
Kesulitan ini bukan tersebabkan adanya hambatan yang bersifat substantif, tetapi lebih cenderung karena dia adalah “perempuan”. Karena dia adalah perempuan maka harus tunduk pada sebuah sistem nilai-nilai budaya yang melingkupinya, bahwa perempuan lebih condong di ranah domestik. Keberadaan sebagai perempuan itulah yang membuat ruang geraknya di ranah publik menjadi terbatas.
Ketidakberdayaan perempuan menduduki jabatan struktural karena peraturan lembaga yang netral gender, perempuan tetap menyandang beban ganda dan hidup di lingkungan patriarki (Partini, 2004). Budaya patriarki menempatkan perempuan pada struktur yang terhegemoni. Hal tersebut juga terjadi dalam sebuah sistem birokrasi, walaupun secara peraturan laki-laki dan perempuan memiliki akses kontrol yang sama.
Stereotipe dan Dikotomi
Selama ini, boleh jadi banyak perempuan yang tidak begitu mempermasalahkan fenomena glass ceiling, bahkan jika hal tersebut teralami olehnya. Hal ini secara tidak langsung semakin menguatkan sterotipe masyarakat bahwa perempuan identik dengan subjek domestik yang sarat akan sifat feminism negatif bahwa perempuan tidak tegas, baperan, tidak rasional, lemah, suka menggosip, tidak mandiri, dan tidak berdaya. Pelabelan tersebut semakin kuat secara struktural maupun kultural sehingga semakin menyudutkan perempuan.
Sayangnya, dikotomi berdasarkan jenis kelamin tersebut juga menjadi pemahaman bagi sebagian besar kaum perempuan. Seolah-olah pelabelan tersebut sudah menjadi bagian dari diri perempuan yang seharusnya terjadi sehingga tidak perlu terpermasalahkan lagi. Inilah mengapa pengenalan dan pemaham gender bagi perempuan menjadi perlu.
Hasil penelitian Partini (2013) menunjukkan bahwa cukup banyak perempuan yang belum begitu memahami konsep adil gender dan kesetaaan gender khususnya di ranah birokrasi. Dengan demikian, perempuan perlu belajar gender agar lebih memahami tentang isu gender, juga menjadi ukuran penting untuk melihat adanya kesamaan kesempatan bagi pegawai perempuan dan pegawai laki-laki.
Pengenalan gender bagi perempuan adalah tahap awal untuk memberikan pemahaman dan penyadaran terkait isu gender khususnya dalam birokrasi. Kesadaran gender tersebut menjadi pendorong untuk membenahi hubungan-hubungan sosial yang timpang dan menyulitkan perempuan. Dengan tujuan agar perempuan juga memiliki hak yang sama dan memiliki daya saing kuat di ranah publik. Pemahaman gender juga memungkinkan perempuan berupaya memperoleh akses dan jabatan pada sistem birokrasi yang selama ini terdominasi kultur patriarki.
Lalu, apa perempuan mampu menjadi seorang pemimpin pada sebuah birokrasi?