Dominasi dan Pesona Kulit Putih

“Sentimen terhadap warna kulit selalu berembus melalui iklan, tradisi dari generasi ke generasi, norma-norma sosial, konsensus dari mulut ke mulut, dan komoditisasi industri.” (Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat, 2007)

Buku Pesona ‘Barat’ ini membentangkan kesadaran mengenai dominasi kulit putih yang dialami masyarakat Indonesia serta dampaknya secara psikis, fisik, dan kultural. Senarai dampak yang tak mungkin dielak dan efeknya masih bergema sampai sekarang. Buku ini pun membabar konteks tentang warna kulit di Indonesia pada masa pra-kolonial, kolonial, dan pascaproklamasi.

Persoalan warna kulit, khususnya kulit putih, sebenarnya bukan soalan warna atau pigmen semata, melainkan pula tentang bagaimana perasaan kaum terjajah pun bekas jajahan, diskriminasi sosial, expansi global, citra modern, jerat kapitalisme dan konsumerisme.

Pandangan mengenai warna kulit dambaan ini tidak terjadi begitu saja, tanpa dasar atau momen historis. Mula-mula, negara kolonial Hindia-Belanda menerapkan kebijakan yang sangat rasial hingga memisahkan masing-masing ras dengan sangat ketat; kaum Eropa, bumiputra, dan Timur asing (Tionghoa, India, Arab dsb).

Setiap ras, yang mempunyai tampilan serta perawakan yang beda, mendapat preferensi dan hak yang beda pula. Bangsa terjajah selalu mendapat tingkat paling rendah, sebaliknya, umat penjajah punya derajat paling tinggi. Belum lagi tatapan mata kolonial yang sering merasa lebih superior dan, secara sadar atau tidak sadar, mendisposisikan (dominasi) kaum terjajah sebagai inferior.

Sikap memaknai produk dan segala yang tiba dari Eropa dengan decak kagum ini masih terus berlanjut, bahkan sampai kini. Di sini, Barat berdiri sebagai kiblat. Semua yang unggul punya asal usul dari Barat. Sedang masyarakat pascakolonial sendiri—termasuk Indonesia—yang sekian tahun telah bebas dari belenggu negara jajahan, tetap mengamini acuan tersebut.

Baca Lainya  Tuhan Izinkan Aku Berdosa: Perjalanan Spiritual Perempuan 

Persuasi Advertensi

Penerimaan ide ini bisa langgeng di dalam benak dan merembes jadi dominasi di pelbagai sarana, melampaui dimensi waktu. Satu di antara jalan tersebut adalah media massa, terutama melalui advertensi atau iklan. “…kelompok-kelompok pemasar komoditas menginterpretasikan dan mensosialisasikan nilai guna dari suatu komoditas, dan memproyeksikan ke dalam lingkup pasar global” (Ibrahim, ed, 1998:323).

Iklan merupa ujung tombak bagi promosi sebuah komoditas, menautkan pihak produsen dan konsumen. Iklan pun jadi medium ampuh guna membius pembaca-pemirsa untuk jadi konsumen sebanyak mungkin. Kini, saat iklan hadir sampai ke ruang yang sebenarnya privat, yakni ponsel pribadi, tak ada lagi yang tidak terpapar oleh iklan.

Iklan hadir dengan gaya visual, kata, dan citra. Retorika dan teknik persuasi dalam iklan ini menjadi bukti dasar bagi pembentukan citra oleh produk komoditas. Tak jarang, satu produk menawarkan imajinasi putih, bersih, sehat, dan kinclong, bilamana usai memakai produk tersebut. Sering produk hasil pabrik semacam ini mendakwa diri sebagai pemberi solusi ampuh; mengusir kusam, memperhalus, meremajakan. Kata-kata inilah yang diterima dan kemudian diamini masyarakat sebagai audiens dan konsumen.

Siasat Marketing Kata

Vissia Ita Yulianto melacak bagaimana penggunaan kata dan siasat marketing ini melalui beberapa iklan. Penggunaan iklan ini menjadi cermin zaman dan citra yang berusaha dibangun oleh komoditas pada kurun waktu tertentu. Penelusuran mengenai arah gerak warna kulit ini dapat terlacak melalui iklan-iklan dari masa yang beda.

Satu godaan yang tercatat dalam buku yang memperkaya studi feminisme ini adalah iklan Citra White Lotion yang mampu memutihkan kulit, “… cukup dalam enam minggu… ” Iklan ini kemudian menampilkan enam gambar gradasi warna kulit pemeran iklan, dari gelap ke terang/putih. Ingat, gambar gradasi inilah yang sering muncul dalam iklan pemutih di televisi keluarga-keluarga Indonesia.

Baca Lainya  Memandang (Raga) Perempuan

Semula, pada 1980an produk Citra menekankan pembentukan cantik ala tradisional, lekat dengan praktik perawatan ala Jawa, yakni luluran. Namun, pada pengujung dekade selanjutnya, produk yang cukup populer ini, memutar kemudi menjadi produk pengusung konsep perempuan modern. Peralihan ini tentu mengakibatkan citarasa dan impian warna kulit yang diharap oleh masyarakat turut bergeser.

Kecantikan tradisional, sebagai wujud budaya tinggi non-Barat, lamat-lamat tenggelam dalam dominasi kecantikan modern yang lebih punya citarasa global dan mutakhir. “kulit putih—meski bukan benar-benar putih—telah menjadi idealisme warna kulit Indonesia kontemporer yang berhasil menggeser idealisme warna kulit yang muncul sebelumnya, seperti kuning, sawo matang atau lainnya.” Yang putih adalah yang modern.

Pemilihan iklan pemutih kulit—sebagai sarana membentuk kesadaran dan kehendak warna kulit ini—cukup esensial dan monumental. Sebab, iklan tidak pernah muncul tanpa konteks dan fungsi. Beberapa konteks dalam iklan berkelindan dengan kultur masyarakat setempat. Inilah yang membuat audiens merasa terhubung dengan suatu produk.

Vissia Ita Yulianto mengungkap, “Sebagaimana proses sehari-hari, perasukan pesan-pesan iklan pemutih ini bersifat halus, tak terasa, tidak terlihat memaksa, tetapi justru memesona, memberi mimpi… fantasi, dan terkesan memberi solusi.”

Penulis  : Vissia Ita Yulianto
Penerbit : Jalasutra
Cetakan  : Pertama, 2007
Tebal    : xx + 168
ISBN     : 979-3684-56-9

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *