Halnya Indira Gandhi, Perdana Menteri perempuan pertama India, Retno Marsudi pun berhasil menjadi perempuan pertama yang menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia. Sejak awal berkarir, perempuan bernama lengkap Retno Lestari Priansari Marsudi ini memang sudah terjun dalam dunia diplomasi. Sebelum menjadi Menlu misalnya, Retno pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda.
Kiprahnya di dunia diplomasi patut mendaapresiasi. Retno, sebagai Menlu perempuan pertama bisa membawa Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 dan anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk periode 2020-2022.
Pencapaian lain, Retno pernah terpilih sebagai anggota Tim Pencari Fakta Munir tahun 2004. Kepedulian Retno terhadap isu-isu HAM dan kesetaraan gender sangat tinggi. Sampai-sampai, ia harus belajar kembali di Studi HAM di Universitas Oslo, Norwegia.
Ketelatenannya terhadap pelbagai isu HAM dan gender, membuat UN Women dan Partership Glonal Forum (PGF) pada 2017 memberikan penghargaan kepada Retno sebagai agen perubahan di bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.
Tak heran manakala Presiden Jokowi mendapuk kembali Retno menjadi Menlu di periode keduanya ini. Selain memang peduli terhadap isu-isu krusial, wawasan Retno dalam meneropong diplomasi antarnegara menjadi kekuatannya sebagai seorang diplomat kawakan.
Setara di Keluarga
Selain moncer dalam karir, Retno tak lupa kepada kodratnya sebagai perempuan. Soal rumah tangga, Retno dan suami sangat harmonis. Pun dengan hadirnya kedua buah hati dalam lingkup keluarga Retno.
Jabatan Menteri Luar Negeri yang Retno panggul, tak serta merta ia bersikap semena-mena terhadap sang suami yang berprofesi arsitek. Retno meyakini, jabatannya sebagai Menlu ia sandang hanya di luar rumah, sementara di dalam rumah ia tetap menjadi bagian dari keluarga yang saling berbagi kasih, berbagi tugas dan berbagi peran keluarga.
Ungkapan klise menyoal pilihan perempuan menjadi ibu rumah tangga atau karir, bagi Retno, seharusnya tidak perlu ada. Retno sudah membuktikan sendiri bahwa ia adalah seorang perempuan bisa menjalankan keduanya. Sudah saatnya lelaki atau bahkan perempuan sendiri tak membuat sekat dalam soal pekerjaan.
Pembicaraan menjadi ibu rumah tangga atau berkarir sudah sepatutnya tertinggalkan. Kecuali memang sudah menjadi keputusan pribadi perempuan dan atas kesepakatan pasangannya. Maka jika perempuan sanggup menjadi dan menjalankan keduanya, mengapa tidak?
Retno selalu menggelorakan tantangan yang mesti terhadapi perempuan. Pola pikir lama, misalnya, bahwa perempuan tak berhak untuk berkarir. Masyarakat selalu mewariskan stigma tersebut dari generasi ke generasi. Hasilnya, perjuangan perempuan untuk meyakinkan keluarganya dalam berkarir sangat rentan tertolak dan sia-sia.
Maka dari itu, kita—khususnya perempuan—sedikit banyak perlu meniru perjuangan Retno dalam menyetarakan pelbagai isu gender. Lelaki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama di semua lini kehidupan. Tak boleh satu sama lainnya menghalangi, melarang, atau bahkan meminggirkan. Keduanya harus bersinergi bersama mewujudkan harapan keselarasan dalam bernegara.
Dalam buku Beberapa Hal (2020), saya menulis esai berjudul “Sejarah (Melupakan) Perempuan”. Dalam esai tersebut saya memberi contoh tokoh perempuan bakal tercatat dalam sejarah. Satu di antaranya adalah Retno Marsudi. Sebagai Menteri Luar Negeri perempuan pertama ia menjadi sosok berjasa kaum perempuan.
Segala stigma negatif terhadap perempuan telah Retno dobrak melalui jabatan Menlu. Bahwa perempuan pun bisa menjadi juru bicara negara di kancah internasional. Torehan prestasi menjadi Menlu menambah wibawanya sebagai sosok terhormati.
Menekuni Hobi
Alumni Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) ternyata memiliki hobi unik; mengoleksi bandana. Retno pernah mengaku bahwa ia memiliki lebih dari dua puluh bandana. Rambutnya gampang berantakan menjadi alasan mengapa Retno gemar memakai Bandana. Dalam sebuah sesi roasting lawakan di Kompas TV, Kiki Saputri berkelakar, “…itu rambut apa rumah tangga artis? Kok, gampang berantakan.”
Dengan nada agak kocak, dalam sebuah wawancara, Retno mengaku dengan memakai bandana dirinya merasa lebih percaya diri apalagi jika didatangi wartawan. Memakai bandana dianggap lebih efisien alih-alih repot membereskan rambut. Kejelian dalam memilih warna bandana agar sesuai dengan pakaian pun diperhatikan Retno. Menlu perempuan pertama ini memang pintar dalam berpenampilan.
Bagi seorang diplomat, penampilan menjadi poin utama. Pasalnya, ia menjadi wakil dari negaranya. Selain menjadi panutan pejuang kesetaraan perempuan, Retno Marsudi pun bisa menjadi panutan setiap perempuan menyoal penampilan. Pejuang perempuan, selain berani dan tegas, tak ada salahnya pula untuk selalu berpenampilan kece seperti Menteri Luar Negeri kita, Retno Marsudi.