Culture Shock Dunia Kampus

Culture Shock Sumber Gambar: identitasunhas.com

Transisi dari bangku sekolah menengah ke dunia perkuliahan membawa banyak tantangan penyesuaian. Namun, bagi seorang lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang memutuskan melanjutkan studi ke universitas Islam negeri (UIN) tantangan ini sangat berlipat ganda sekali. Bukan hanya perpindahan dari seragam ke pakaian bebas, melainkan loncatan budaya (culture shock), dan cara berpikir yang lebih ekstrem.

Lulusan SMK, yang terbiasa dengan lingkungan praktik, target cepat kerja, disiplin dan juga kurikulum di bawah naungan Kemendikdasmen, tiba-tiba harus berhadapan dengan kajian filosofi, sejarah Islam, analisis kritis, dan juga keislaman yang kental di UIN. Perbedaan ini memicu sebuah culture shock akademik, sosial, dan psikologis yang sangat memerlukan adaptasi yang mendalam.

Goncangan budaya pertama terjadi di ruang kelas. Selama di SMK, kurikulum terdominasi dengan praktik di laboratorium sesuai dengan jurusan, prosedur kerja standar, dan tujuan spesifik, misalnya merakit mesin, mengolah data, memperbaiki komputer rusak.

Praktik menuju Analisis

Konsep “teori” hanyalah sebagai alat pendukung saja. Sedangkan setelah di UIN situasinya sangat berbalik 180 derajat. Mahasiswa terhadapkan pada mata kuliah yang menuntut pemikiran kritis, penalaran deduktif, dan kemampuan menulis esai, serta membuat jurnal ilmiah. Alih-alih merakit, mereka diminta menganalisis istilah-istilah seperti epistemologi, hermeneutika, atau filsafat ilmu.

Istilah itu sangat terasa asing bagi lulusan SMK. Tugas kuliah bergeser, dari membuat laporan praktik menjadi membuat Power Point, jurnal, esai, dan juga makalah yang harus mengutip sumber-sumber teoritis. Penyesuaian ini menuntut perubahan total dalam cara belajar, dari menghapal langkah-langkah kerja menjadi menguasai kerangka berpikir.

Selain akademik, lingkungan sosial UIN memberikan kejutan budaya tersendiri, terutama terkait dengan keislaman. UIN sebagai lembaga yang mengintegrasikan ilmu umum dan agama, memiliki suasana kampus yang religius. Kebiasan berdiskusi tentang isu-isu fikih, politik Islam, aejarah Islam, atau filsafat ketuhanan merupakan hal yang lumrah.

Baca Lainya  Paula Verhoeven, Elegansi Busana Muslimah

Lulusan SMK, berasal dari lingkungan sekolah umum, merasa terkejut dengan gaya berpakaian mahasiswa UIN yang lebih dominan gamis, syar’i, dan tertutup. Pun, para dosen-dosen yang memakai peci. Banyk juga mahasiswa berasal dari pondok pesantren serta penghapal Al-Qur’an. Tak sedikit juga prodi-prodi keislaman dan juga UKM yang berorientasi pada dakwah dan kajian keagamaan. Hal ini menuntut penyesuaian etika bergaul dan juga cara berkomunikasi, bagi lulusan SMK ini adalah sebuah tantangan identitas.

Menerawang Karier

Secara psikologis, lulusan SMK mungkin membawa tekanan internal. Mereka seringkali terkenal memiliki jalur karier yang jelas dan cepat setelah lulus. Sedangkan di UIN, jalur karier terasa lebih panjang. Goncangan psikologis muncul dari rasa ketertinggalan dalam mata kuliah keislaman daripada dengan teman-teman MA atau pondok pesantren yang sudah terbiasa dengan kajian ilmu keislaman dan sejarah keislaman. Proses adaptasi ini sangat memerlukan pemahaman dan semangat yang tinggi.

Perjalanan seorang lulusan SMK yang melanjutkan kuliah di UIN adalah kisah tentang transformasi. Culture shock yang teralami, baik dari sisi akademik dan lingkungan yang agamis maupun tekanan psikologis adalah fase krusial dalam pembentukan identitas diri. Kunci kesuksesannya adalah kita harus mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan juga mampu mengikuti budaya-budaya yang ada di UIN.

Keahlian praktis di SMK dapat menjadi nilai plus tersendiri, transisi ini membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan religious, tetapi juga cakap secara praktis dan ini merupakan kombonasi yang sangat pas dan dibutuhkan di era sekarang ini.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *