Komoditas: Eksistensi Budaya Konsumtif Menjelang Lebaran

Konsumsi pakaian bagi perempuan bukan lagi sekadar keinginan semata, melainkan telah berubah menjadi kewajiban yang, bila “tidak” tercapai, dapat menimbulkan kegelisahan. Hal ini tertandai dengan terinternalisasi dalam rasionalitas berpikir masyarakat dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga konsumsi yang telah beroprasi pada masyarakat membentuk suatu budaya berupa konsumerisme.

Mengutip dari Rene Descartes bahwa dahulu ungkapan “Cogeto Ergo Sum” artinya aku berpikir maka aku ada, merupakan kalimat populer yang menjadi spirit bagi orang-orang untuk mengemukakan gagasannya. Adalah bentuk eksistensi seseorang yang sangat ditentukan oleh pemikiran dan ide-idenya. Namun di era sekarang justru semakin kehilangan maknanya, seiring dengan kenyataan sosial yang berkembang sedemikian pesat.

Kehidupan masyarakat modern dengan mobilitas tinggi saat ini justru terepresentasikan dengan slogan “I Shop therefor I am” artinya aku berbelanja, maka aku ada. Ungkapan tersebut menunjukkan bagaimana konsumsi telah menjadi hal yang tidak bisa tidak terhindari. Tetapi sebagai sumber kesenangan, kebahagiaan, bahkan kepuasan semua orang sebagai bagian dari kehidupan sosial, terutama perempuan.

Slogan tersebut yang kemudian terefleksikan sebagai semangat berkonsumsi (Ulfa, 2012). Dengan demikian, konsumsi tidak hanya termaknai sebagai nilai guna, tetapi telah mengalami pergeseran makna sosial untuk mendapatkan kenyamanan, prestise, modernitas bahkan pengakuan dari orang lain lewat pengenaan pakaian.

Budaya membeli pakaian bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder melainkan primer. Mengingat di era sekarang, untuk membeli pakaian tidak perlu lagi menunggu momen lebaran, semua orang dapat melakukannya kapanpun dan di manapun.

Namun keistimewaan Ramadan menjelang lebaran semacam ini, membeli pakaian baru menjadi sebuah keharusan dengan dalih untuk menyambut hari yang fitri. Momen akhir Ramadan menuju lebaran, masyarakat tergiurkan dengan beragam model pakaian.

Baca Lainya  Berkebaya di Hari Kartini

Hasrat Komsumtif

Realitas sosial menunjukkan membludaknya pakaian, terutama pakaian perempuan, menjelang lebaran dengan segala pernak-perniknya lebih eksis dan mudah tertemui di sejumlah toko pakaian. Akibatnya, orang-orang membanjiri beberapa pusat perbelanjaan untuk membeli. Menciptakan suasana yang khas dan memunculkan kembali budaya konsumtif.

Hasrat manusia dalam pemenuhan konsumsi menunjukan keinginan terhadap barang tertentu sebenarnya bukanlah merupakan keinginan terhadap barang tersebut, melainkan lebih kepada hasrat terhadap makna sosial. Konsumsi ini dikontrol oleh tatanan produksi yang mengacu dan mengatur sistem hasrat dan tatanan pemaknaan yang akhirnya menentukan prestise dan nilai sosial yang komparatif dari suatu komoditas Baudrillard (2000).

Dunia fashion begitu mahir memainkan peran yang sangat penting bagi kehidupan individu maupun sosial, terutama budaya perempuan dalam masyarakat Indonesia. Pesatnya arus globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia memunculkan salah satunya gaya hidup terutama dalam budaya konsumsi pakaian di Indonesia.

Lebaran menjadi ajang fashion dalam menyambut hari fitri, adu eksistensi melalui pakaian. Bahkan tidak tanggung-tanggung, sebagian orang justru membeli baju lebih dari satu hanya karena hasrat ingin. Padahal, sejatinya esensi dari lebaran adalah wujud kemenangan iman karena berhasil menundukkan nafsu di medan jihad selama bulan Ramadan. Melahirkan kembali hati yang suci di hari yang fitri. Lalu bagaimana sejatinya memaknai hari lebaran. Apakah lewat banyaknya baju yang terbeli? Atau justru menata agar hati kembali fitri?

2 thoughts on “Komoditas: Eksistensi Budaya Konsumtif Menjelang Lebaran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *