Nyai Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan dalam Gerakan Politik

Ulama perempuan satu ini memang tidak asing lagi, siapa yang tidak kenal Nyai Badriyah Fayumi? Beliau adalah ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Gagasan dan gerakan beliau sudah tidak perlu diperdebatkan lagi.

Lahir dan besar di pesantren sedari kecil menjadikan Badriah Fayumi tumbuh di lingkungan yang agamis dan Islami. Didikan dan tempaan di lingkungan pesantren menjadikannya menjadi perempuan yang mahir dalam menguasai ilmu agama. Kemahiran mengantarkannya kepada pendidikan formal dan nyantri di Pesantren Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, asuhan KH Sahal Mahfud.

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah dan mondok, Nyai Badriyah melanjutkan studi sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Fakultas Ushuluddin. Pada  tahun 1995 beliau lulus sebagai lulusan dan sarjana terbaik.

Setelah dari IAIN, Badriyah melanjutkan studi masternya di Universitas Al-Azhar, Mesir, dengan mengambil konsentrasi tafsir Al-Qur’an. Kemudian, pulang dari pendidikannya di Mesir, beliau menempuh studi Pascasarja di kampus pertamanya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah  menyelesaikan pendidikannya, ia menjadi staf pengajar di almamaternya tersebut pada tahun  (1997-2004). Namun, aktivitas Nyai Badriyah sendiri setelah itu lebih banyak ke arah gerakan, politik, dan dakwah.

Ide Kesetaraan

Keaktifan dan kecerdasan Nyai Badriah mengantarkannya menjadi perempuan yang energik. Menjadi sosok aktivis, akademisi, dan politisi di berbagai organisasi. Sebagai aktivis perempuan, ia berhasil menggawangi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), sebagai akademisi beliau berhasil melahirkan berbagai karya berupa buku maupun artikel. Kemudian sebagai politisi, perjuangannya  menyuarakan ide-ide kesetaraan gender telah beliau suarakan melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Putri dari KH. Ahmad Fayumi Munji seorang ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pati, sekaligus penganut tarekat Syathariyah dan tarekat Syadziliyah ini berhasil membangkitkan suara perempuan. 

Karenanya, spirit keislaman tercermin kuat dalam gagasan Nyai Badriyah Fayumi. Salah satunya adalah memperjuangkan kesetaraan gender. Spirit feminisme Barat yang liberal tampak terkemas begitu islami oleh Nyai Badriah Fayumi. 

Nyai Badriah Fayumi mengemas feminisme Barat ke dalam konteks masyarakat yang sesuai dengan tradisi muslim Nusantara. Melalui bukunya Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM, dan Demokrasi (2004) peran Nyai Badriah mulai tampak untuk mencarikan panggung dan menyuarakan kembali hak, peran, serta kewajiban bagi kaum perempuan Indonesia.

Gencaran agar perempuan Indonesia turut serta andil bersama laki-laki memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi. Kaum perempuan harus segera naik ke pentas publik membawa gagasan orisinil mereka.

Di mata publik, ia tampak berjuang keras mencarikan panggung bagi suara perempuan. Beliau mengatakan, “Ulama perempuan memiliki peran yang sama dengan ulama laki-laki dalam memperkuat Islam washathiyah (moderat) di Nusantara ini”.

Upayanya dalam menggencarkan suara perempuan dengan mendedikasikan hidupnya agar dapat terwujud keselarasan antara perempuan dan laki-laki, memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara, berdialektika dengan pemikiran-pemikiran perempuan.

Serta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kerap teralami perempuan dan mendapat dukungan penuh suaminya; KH. Drs. Abu Bakar Rahziz, M.A. Bersama suaminya, berkolaborasi memperjuangkan gagasan feminisme Islam di jalur kultural, pendidikan, maupun politik. Sosok Nyai Badriah Fayumi yang mengikhtiarkan kaum perempuan muslim agar lebih berbudaya Islami, kini berhasil menjadi teladan bagi publik.