Menghidupkan Fikih Keluarga

Faqihuddin Abdul Kodir Sumber Gambar: lampung.mui.or.id

“Air susu istri yang disusukan kepada sang bayi adalah kewajiban suami, sehingga istri berhak menuntut bayaran kepada suaminya.” (Halaman 138, Bab VI: Dimensi Akhlak dalam Kehidupan Relasi Pasangan Suami Istri)

Kalimat di atas benar-benar seperti tamparan yang menyadarkan, mengoyak narasi-narasi konvensional tentang fikih keluarga yang selama ini menimbulkan kesenjangan (teriringi lagu Just a Friend to You-nya Meghan Trainor). Kalaupun berjalan semestinya, niscaya perempuan yang menyusui lima anak, seperti saya misalnya, akan bergelimpangan kekayaan. Namun, ini bukan tentang meminta bayaran kepada suami, apalagi kalau suaminya bukan Irwan Musry. 

Dalam diskursus umum, peran suami diunggulkan sebagai pemberi nafkah, dan istri diposisikan sebagai pelayan dalam urusan domestik dan seksualitas. Pemahaman ini terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mimbar demi mimbar menggaungkannya, seolah menjadi pakem baku dalam rumah tangga. Bak karang yang tegak, tak bergerak, meskipun jiwa-jiwa nalar kritis muslimah kita mengombak. Benarkah nafkah hanya kewajiban suami, dan benarkah kewajiban istri hanya melayani suami?

Kiai Faqihuddin Abdul Kodir hadir untuk menggeser narasi tersebut melalui pendekatan yang lebih manusiawi dan substansial: akhlak. Inilah yang menjadi nafas utama dari karyanya Fiqh Al-Usrah (2025). Sebuah buku yang tidak hanya menelaah hukum-hukum fikih keluarga secara tekstual, tetapi menghidupkannya melalui perspektif etis dan spiritual dalam kontekstual.

Di tengah derasnya arus konten digital yang penuh dengan curahan konflik rumah tangga, hingga kekerasan dalam relasi suami istri, buku ini seperti ruang tenang. Membacanya serasa mengalami healing dari brainrot (istilah yang saya temukan dalam dunia psikologi melalui akun Instagram @dearastrid.id). Yakni pembusukan otak tersebabkan terlalu banyak melihat konten yang tidak bisa di-s(h)aring di media sosial. Fiqh Al-Usrah memberi alternatif narasi fikih keluarga yang lebih membumi dan relevan dengan kehidupan.

Baca Lainya  Nyanyian Sunyi: Asmara dan Realita

Fiqh Al-Usrah berangkat dari sabda Nabi Muhammad saw. “Aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Semangat inilah yang menjadi landasan utama Kiai Faqih dalam menulis buku ini.

Urgensi Perspektif

Terdapat tujuh bab yang tersusun secara sistematis dan progresif: mulai dari pendahuluan, menjelaskan latar belakang lahirnya konsep Fiqh Al-Usrah serta urgensi penggunaan perspektif akhlak dalam memahami hukum keluarga Islam. Penulis menolak untuk menyajikan tulisan melalui tekstual hukum Islam semata yang cenderung legalistik, tapi memilih jalur etika sebagai bingkai utama.

Tema kedua mengusung “Sumber-Sumber Akhlak Mulia dalam Hukum Keluarga”. Bab ini menguraikan berbagai dalil dan referensi keislaman yang mendukung pentingnya akhlak dalam relasi rumah tangga. Penulis juga menggunakan pendekatan Mubadalah yang telah melekat dengan ijtihadnya, sehingga membuka ruang bagi relasi yang setara, adil, dan bermartabat.

Tema ketiga dan keempat memulai dengan “Akhlak dalam Relasi Laki-Laki dan Perempuan serta Dimensi Akhlak dalam Persiapan Perkawinan”. Kedua bab ini secara mendalam membahas bagaimana akhlak menjadi pondasi dalam membangun relasi gender yang sehat, serta bagaimana calon pasangan dapat mempersiapkan diri secara spiritual dan moral menuju jenjang pernikahan.

Pada bab kelima: “Akhlak dalam Prosesi Akad Nikah”. Penulis menyentuh berbagai aspek dalam proses pernikahan, mulai dari tata cara khitbah (melamar), diskusi tentang mahar, hingga prosesi akad nikah. Tentu saja semuanya teranalisis melalui lensa akhlak, bukan sekadar formalitas syariat.

Bagian keenam: “Dimensi Akhlak dalam Kehidupan Pasangan Suami Istri”. Ini, menurut saya, adalah bagian paling menggugah yang banyak menemukan problematika rumah tangga di sekitar. Hal-hal yang ternilai sensitif tentang relasi seksual dan terutama tentang manajemen keuangan, pembagian peran domestik, hingga pembagian peran pengasuhan anak, dan semua itu terkupas dengan penekanan pada kesalingan, penghargaan, dan keadilan.

Baca Lainya  Kesalingan dalam Relasi Suami-Istri selama Kehamilan

Sajian Analogi

Salah satu bagian yang tak kalah menarik dari buku Fiqh Al-Usrah adalah pembahasan mengenai konsep nafkah dalam rumah tangga. Penulis menyajikannya secara unik melalui analogi tiga model keranjang ekonomi, yang menggambarkan pola pengelolaan keuangan antara suami dan istri dalam rumah tangga. Pertama, keranjang maksimal, yaitu ketika seluruh pendapatan dan pengeluaran terkelola secara bersama tanpa ada batas kepemilikan individu. Semua harta dianggap milik bersama, baik yang diperoleh suami maupun istri.

Kedua, keranjang minimal, di mana masing-masing pihak tetap memiliki otoritas atas penghasilan pribadi mereka. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga bisa berasal dari salah satu atau keduanya, namun masih memungkinkan adanya kepemilikan pribadi bila masing-masing mampu saving. Dan, ketiga, keranjang menengah, yakni perpaduan antara dua pendekatan sebelumnya. Pengelolaan keuangan dilakukan secara kolektif seperti pada keranjang maksimal, namun masih memungkinkan ruang untuk kepemilikan pribadi sebagaimana dalam keranjang minimal.

Tiga skema ini tidak hanya fleksibel, tetapi juga mampu menangkis klaim populer yang beredar luas di masyarakat: “uang suami adalah milik istri, dan uang istri tetap milik istri.” Pendekatan ini menawarkan perspektif yang lebih adil, realistis, dan adaptif terhadap konteks manajemen keuangan keluarga.

Tak berhenti di situ, buku ini juga mengupas aspek lain seperti tanggung jawab pelayanan rumah tangga, pembelian kebutuhan pribadi seperti skincare, hingga biaya pengobatan saat istri sakit. Menariknya, yang dianggap hal itu adalah beban suami, justru mayoritas ulama klasik memandang bahwa hal-hal tersebut tidak termasuk dalam kewajiban suami secara syariat. Sebaliknya, tanggung jawab tersebut menjadi beban perempuan sendiri atau masih tanggung jawab orang tuanya, kecuali jika ada kesepakatan atau kondisi khusus yang mengubahnya.

Baca Lainya  Kewajiban Perempuan Memahami Haid

Makna Keadilan dan Kesalingan

Pembahasan ini membuka ruang refleksi yang dalam tentang makna keadilan dan kesalingan dalam rumah tangga melalui dimensi akhlak. Akhlak di sini bukanlah sekadar sopan santun atau gestur simbolik seperti menundukkan kepala atau berkata “nuwun sewu,” melainkan prinsip hidup dalam berelasi dengan Allah Swt. dan sesama manusia.

Pada bab ketujuh atau terakhir: “Mengelola Dinamika Keluarga dan Rumah Tangga”. Bab penutup ini membahas bagaimana menghadapi problematika keluarga, konflik rumah tangga, dan menjaga keharmonisan melalui pendekatan akhlak. Solusi yang beliau tawarkan bukan bersifat normatif, melainkan reflektif dan praktis, membuka ruang dialog dan penyelesaian konflik secara sehat.

Buku ini tidak hanya mengambil rujukan dengan wawasan yang luas dan kehati-hatian, tetapi juga perenungan. Melalui Fiqh Al-Usrah, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir mengajak kita untuk membumikan kembali fikih ke dalam kehidupan nyata, dengan menjadikannya sebagai sarana menghadirkan kasih sayang, keadilan, dan keberkahan dalam rumah tangga. 

Buku ini sangat direkomendasikan bagi para calon pasangan, suami istri, praktisi pendidikan, hingga para dai, influencer dakwah, dan konten kreator religius yang ingin menghadirkan fikih keluarga dengan dimensi akhlak dan rahmat.

Dengan gaya bahasa yang mungkin sedikit agak berat namun argumentatif, mungkin pembaca yang belum terbiasa dengan tulisan Kiai Faqih akan langsung terhipnotis alih-alih mendebatnya. Dalam hati bergumam “ke mana ajaaa aku selama ini?”. Dan seperti biasa, buku-buku Kiai Faqih selalu mampu menjembatani antara teks keislaman klasik dan realitas kehidupan, tanpa terkecuali Fiqh Al-Usrah yang mencerahkan, menyejukkan, fa insya Allah relate li kulli zaman wa makan.[]

Buku : Fiqh Al-Usrah

Penulis : Faqihuddin Abdul Kodir

Penerbit : Afkaruna

Tahun. : Februari 2025

Tebal : 292 Halaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *