Kehadiran tokoh dalam cerita sama pentingnya akan kebutuhan manusia terhadap oksigen. Tokoh menjadi titik nadi bergerak atau tidaknya sebuah cerita, termasuk dalam cerita pendek (cerpen) dan karya sastra lainnya. Bahkan, wujud tokoh bisa mengenangkan pembaca pada penciptanya, penulisnya.
Manakala pernah membaca cerita pendek bertokoh Alina atau Sukab, ingatan kita bakal segera terlempar pada Seno Gumira Ajidarma, penulisnya. Seno biasa memakai dua nama tokoh itu dalam pelbagai cerpen dengan judul berbeda.
Itulah yang datang pada saya, ketika membaca kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang (2019) gubahan Ahmad Tohari. Berbeda dengan Seno, Ahmad Tohari tak mengulang penamaan tokoh dalam cerita lain, tapi nama-nama itu berhasil menengarai pembaca jika itu adalah tokoh milik, dan hanya milik, Ahmad Tohari.
Nama-nama itu sangat karib dengan Ahmad Tohari. Mereka adalah sosok-sosok yang, mungkin, Ahmad Tohari saksikan selama hidupnya. Deretan nama-nama yang lekat dengan nuansa pedesaaan. Bukan kampungan. Nama-nama itu tidak angkuh, malah terlihat dan terbaca sederhana.
Membangun Cerita
Nama itu mewujud tokoh yang, dengan sesuka hati dan kepiawaaian, Ahmad Tohari buat lewat keragaman bangunan plot ceritanya. Tokoh-tokoh itu mesti hadir dalam cerita Ahmad Tohari sebagai teman pendertiaan yang ingin ia sampaikan kepada pembaca. Dan, karena itu, tokoh dengan nama-nama perempuan hadir di sana, memayoritasi sebagian penggerak cerita.
Nama-nama seperti Jebris, Rusmi, Turah, Jum, Sar, Parsih, dan lainnya bertebaran dalam derita nasib yang mesti mereka Jalani. Ahmad Tohari terampil menaruh fragmen riwayat tak mujur perempuan-perempuan itu. Dalam āBila Jebris Ada di Rumah Kamiā, misalnya, mendedahkan pergulatan sepasang suami-istri Ratib dan Sar yang amat peduli pada tetangganya itu, Jebris. Jebris tergambarkan sebagai sosok janda beranak satu yang mencari rezeki lewat melacur.
Suatu waktu, Jebris berhari-hari tak pulang, dan ayahnya mengadu ke Ratib. Rupanya Jebris dirazia polisi. Sar ingin suaminya menjemput Jebris, walau bagaimanapun ia adalah teman kecilnya sekaligus kini menjadi tetangganya. Ratib gegas bakal menjemput Jebris. Pada Sai, ia mengatakan bermaksud membantu Jebris agar membolehkan bekerja di rumahnya. Ratib bertanya pada Sar, āAndaikan dia mau; apakah kamu tidak merasa risi ada pelacur di antara kita? (hlm. 28).
Nasib Jum tak berbeda dengan Jebris dalam āWarung Penajemā. Kartawi, suami Jum, seorang petani yang belum berhasil mendobrak kebahagiaan finansial mereka, mesti mengelus dada ketika Jum membuka warung di depan rumahnya. Warung penyedia sembako dan segala jajanan lainnya. Perjalanan membuka warung sampai pada saat Jum setiyar kepada Pak Koyor agar warungnya tetap laris di tengah banyak pesaing.
Tetapi sarat untuk penglaris itu Jum harus memberi penajem ke dukun penglaris. Penajem itu semacam begituan. Kartawi tertegun, dengan rela, atas dasar nasib, istrinya rela memberikan kerhormatan pada seorang dukun hanya demi warungnya laris. āYang saya berikan kepada Pak Koyor bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya cuma main-main, cuma pura-pura. Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling. Begitu-begitu yang sebenarnya hanya untuk kamu. Sunggu, Kang.ā (hlm. 59) dedah Jum pada suaminya agar percaya bahwa begituan-nya dengan Pak Koyor hanya sebagai syarat. Tak kurang, tak lebih.
Pilihan Hidup dan Stereotipe
Soal tokoh Rusmi pun dalam āRusmi Ingin Pulangā membawa persepsi stereotipe masyarakat terhadap seseorang. Bahwa diduga Rusmi, janda muda, yang merantau ke Jakarta, ke Surabaya, selalu mendapat kabar miring sebagai perempuan penghibur, sering berduaan dengan banyak lelaki, atau penghuni kompleks pelacuran. Kang Hamim, ayah Rusmi, ingin anaknya ketika pulang ke kampung tak lagi menjadi bahan pergunjingan, sehingga di pagi-pagi sekali ia mengadu ke Pak RT.
Sesampai Rusmi kembali ke kampung, dan nyata gosip gunjingan terhadapnya menyeruak. Padahal Rusmi mengaku pada ibunya bekerja sebagai pramusaji. Walau secara luaran, pakaian Rusmi jauh berbeda sebelum ia merantau. Di tangan dan cincinnya, emas-emas menempel. Alas kakinya bermerek yang hanya bisa terjumpai di kota. Tetapi sikap dan perilakunya masih seperti dulu.
Dalam penuturannya, memang banyak lelaki iseng menggoda. Tapi hanya satu yang benar-benar membuktikan itu kepada Kang Hamim, bapaknya. Lelaki itu melamar Rusmi. Dan pernikahannya bakal terjadi di sebulah setelahnya. āAlhamdulillah, Rusmi akan mengakhiri masa sulit dan memulai hidup baru,ā ujar Pak RT kepada Kang Hamim suatu pagi selepas Subuh. Mendengar pengakuan Pak RT yang begitu tulus, Kang Hamim hanya bisa menunduk. Terharu lega (hlm 116).
Begitulah serpihan kecil bagaimana kisah-kisah perempuan yang Ahmad Tohari ciptakan sebagai suara konkret yang ingin ia sampaikan. Kepada pembaca, kepada khalayak. Bahwa pergulatan nasib yang tengah orang-orang kecil perjuangankan, nyatanya belum selesai, atau bahkan tidak akan pernah selesai. Kita tahu, Ahmad Tohari acap mengangkat kisah-kisah keberpihakan terhadap orang kecil, desa, dan keberpihakan pada perempuan.
Bagaimanapun, perempuan-perempuan yang Ahmad Tohari suratkan dalam cerpen di buku Mata yang Enak Dipandang ialah sebentuk gugatan terhadap kondisi superioritas yang terjadi di masyarakat. Pilihan Jebris untuk melacur, Jum memberiĀ penajemĀ begituan, dan stereotipe terhadap Rusmi adalah visualisasi kisah mengharuskan mereka demikian karena keterbatasan pilihan. Dan, oleh karenanya, hal-hal itu tak akan berubah jika motif intimidatif dan normalisasi terus dianggap sebagai bentuk kewajaran.[]
Judul Buku : Mata yang Enak Dipandang
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Keempat, Mei 2019
Tebal : 216 halaman
ISBN : 9786020300597