Busana syar’i selama ini kerap teranggap sebagai pakaian yang membatasi gerak perempuan muslimah dalam kehidupan sehari-hari. Anggapan tersebut muncul dari asumsi bahwa pakaian longgar, panjang, dan menutupi seluruh tubuh akan menyulitkan mobilitas. Pun tidak cocok untuk aktivitas produktif seperti bekerja, berolahraga, atau berkegiatan di luar ruangan. Namun, persepsi tersebut sudah mulai berubah. Perkembangan tren busana muslim mengedepankan prinsip syariat sekaligus kenyamanan membuktikan perempuan muslimah tetap bisa bergerak aktif, dinamis, dan percaya diri.
Pakaian syar’i secara sederhana merujuk pada pemenuhan kriteria Islam dalam menutup aurat secara sempurna. Yakni longgar, tidak menerawang, tidak membentuk lekuk tubuh, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki. Selain itu, busana syar’i juga menghindari unsur tabarruj, yaitu berpakaian berlebihan untuk menarik perhatian. Namun demikian, syarat-syarat ini tidak berarti membatasi kreativitas, produktivitas, dan mobilitas perempuan dalam menjalani aktivitas harian.
Di tengah pesatnya industri busana muslim, desainer dan produsen mutakhir semakin inovatif merancang tak hanya memenuhi standar agama, tetapi juga fungsionalitas. Material kain yang ringan, breathable, dan mudah menyerap keringat kini banyak tergunakan untuk gamis, khimar, dan jilbab.
Potongan baju juga mulai terancang agar memudahkan gerak. Misalnya, desain A-line longgar, kancing depan untuk menyusui, hingga lengan karet atau kancing untuk wudu. Dengan demikian, perempuan muslimah yang mengenakan busana syar’i tetap bisa menjalankan aktivitas. Di antaranya; mengajar, bekerja di kantor, mengurus rumah tangga, bahkan berolahraga ringan tanpa merasa terhambat.
Mendobrak Stigma
Fenomena hijabers dan komunitas muslimah aktif di media sosial juga turut mendobrak stigma bahwa pakaian syar’i identik dengan keterbatasan. Melalui platform seperti Instagram, YouTube, hingga TikTok, banyak muslimah menunjukkan mereka tetap bisa menjalani kehidupan produktif, berprestasi, dan berkarya. Contohnya, profesi dokter, guru, aktivis sosial, atlet panahan, hingga pendaki gunung semua berjalan konsisten dalam menjaga penampilan.
Kisah para perempuan muslimah ini memperlihatkan bahwa batasan sejati bukanlah terletak pada pakaian, tetapi pada pola pikir. Ketika seseorang memandang busana syar’i sebagai bentuk komitmen kepada Tuhan dan bukan sebagai beban, maka ia akan menemukan cara untuk tetap aktif dan berdaya. Dalam banyak kasus, justru pakaian syar’i memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemakainya, sehingga mereka bisa lebih fokus pada tujuan dan peran mereka dalam masyarakat.
Penting juga tercatat bahwa banyak perempuan muslimah memilih pakaian syar’i bukan karena paksaan atau keterbatasan pilihan, melainkan karena kesadaran spiritual dan kebanggaan terhadap identitasnya. Dengan mengenakan busana sesuai dengan keyakinan, mereka merasa lebih damai dan utuh sebagai pribadi. Ini menunjukkan bahwa kebebasan bergerak bukan hanya tentang tubuh bebas berpindah, tetapi juga tentang ketenangan hati dan kemantapan pola pikiran dalam setiap langkah.
Ragam Sudut Pandang
Dari sudut pandang kesehatan dan kebugaran, kini sudah banyak olahraga yang dapat terjangkau oleh muslimah berpakaian syar’i. Misalnya, olahraga yoga, jalan cepat, panahan, berkuda, hingga berenang di tempat privat ramah muslimah. Beberapa produsen perlengkapan olahraga juga sudah memproduksi pakaian olahraga syar’i, termasuk hijab sport dan training set longgar yang tetap breathable. Inovasi ini membuktikan bahwa kebutuhan muslimah terhadap busana aktif yang sesuai syariat terus meningkat dan mendapat respons positif industri.
Selain olahraga, kegiatan luar ruang seperti traveling, hiking, atau berkegiatan sosial juga tidak menjadi masalah bagi pemakai busana syar’i. Banyak muslimah menggunakan gamis berbahan dry fit atau khimar instan praktis untuk bepergian. Dalam aktivitas komunitas, seperti aksi sosial, mengajar anak-anak di pedalaman, atau terlibat dalam pengelolaan lingkungan, pakaian syar’i justru menjadi ciri khas menunjukkan komitmen dan integritas seseorang. Kesan elegan, rapi, dan tegas seringkali melekat pada perempuan mengenakan busana syar’i secara konsisten dan percaya diri.
Di ranah profesional, perempuan berhijab dan berpakaian syar’i juga semakin mendapat tempat yang layak. Di dunia kerja modern, banyak perusahaan mulai menyadari pentingnya inklusivitas dan keberagaman, termasuk dalam hal penampilan karyawan. Selama pakaian tidak mengganggu keselamatan dan fungsi pekerjaan, maka tidak ada alasan untuk membatasi pilihan busana syar’i. Bahkan, beberapa institusi pendidikan, rumah sakit, dan lembaga pemerintahan kini memberikan fasilitas dan aturan mendukung perempuan muslim untuk mengenakan pakaian syar’i dengan leluasa. Hal ini menjadi bukti bahwa budaya profesional tidak harus bertentangan dengan prinsip keagamaan.
Di bidang pendidikan, para mahasiswi dan dosen yang mengenakan busana syar’i pun tetap dapat menjalankan perannya dengan baik. Banyak tokoh perempuan muslimah tampil memukau dalam forum akademik internasional, seminar, dan riset lapangan tanpa harus menanggalkan busana syar’i. Ini menjadi contoh konkret bahwa pengetahuan dan kontribusi intelektual tidak tertentukan oleh jenis pakaian, melainkan oleh kecakapan berpikir dan kerja keras. Maka, busana syar’i tidak perlu terlihat sebagai penghalang, melainkan sebagai bagian dari identitas yang menyatu dengan kualitas pribadi seseorang.
Meluruskan Narasi
Salah satu tantangan yang masih perlu teratasi adalah narasi negatif yang kadang muncul di media atau masyarakat terhadap perempuan berpakaian syar’i. Sering kali mereka terstigma sebagai eksklusif, konservatif, atau tidak mampu menyesuaikan diri. Padahal, banyak dari mereka yang justru sangat terbuka, komunikatif, dan aktif dalam membangun relasi sosial sehat. Narasi-narasi semacam ini harus terluruskan agar masyarakat lebih adil dan objektif dalam menilai seseorang, bukan dari tampilan luar, tetapi dari integritas dan kontribusinya.
Perubahan budaya ini juga terkuatkan dengan tumbuhnya komunitas muslimah yang mengedepankan nilai kebaikan, edukasi, dan pengembangan diri dalam bingkai syar’i. Komunitas-komunitas seperti Muslimah Productive, Hijabers Community, atau Komunitas Ibu Pembelajar memberikan ruang bagi perempuan bertumbuh, berbagi inspirasi, dan mengekspresikan diri tanpa kehilangan nilai keislamannya. Dalam ruang-ruang inilah para muslimah menemukan dukungan dan semangat untuk terus bergerak, berkarya, dan berkembang.
Pendidikan sejak dini juga berperan besar dalam membentuk persepsi tentang busana syar’i. Ketika anak-anak perempuan diperkenalkan dengan konsep berpakaian yang santun, fungsional, dan sesuai syariat, maka mereka akan tumbuh dengan pemahaman yang utuh dan positif. Sekolah-sekolah Islam yang mengedepankan pembiasaan akhlak dan adab berpakaian telah menanamkan nilai bahwa menutup aurat bukanlah beban, melainkan bentuk cinta kepada Allah dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Dari sini dapat dipahami bahwa busana syar’i bukanlah sesuatu yang menghambat gerak, kreativitas, maupun ambisi seorang perempuan. Justru, ia bisa menjadi pendorong untuk tampil lebih baik, menjaga kehormatan, dan menebarkan teladan di tengah masyarakat. Dalam dunia yang terus berubah ini, identitas dan prinsip hidup menjadi sesuatu yang sangat berharga. Maka, ketika seorang muslimah mampu memadukan antara keyakinan dan kontribusi, antara penampilan dan prestasi, di situlah letak kekuatan sejatinya.[]