Di sebuah kampus yang ramai di pusat kota, Yumna melangkah keluar dari kelas dengan santai sambil bersenandung riang seorang diri. Hari itu, ia mengenakan kaos oversized (gombrang) berwarna pastel yang terpadukan dengan celana jin longgar dan sneakers (sepatu kets) putih favoritnya. Di kampusnya, tidak ada aturan ketat soal pakaian saat perkuliahan. Itu sebabnya, Yumna lebih memilih berpakaian simpel dan nyaman agar lebih leluasa beraktivitas.
Menurutnya pakaian itu memberinya keleluasaan untuk bergerak di tengah jadwal kuliah yang padat. Sambil merapikan tali ranselnya, ia tersenyum kecil dan bergumam, “Nyaman dulu, gaya belakangan.” ujar Yumna santai.
**
Sementara itu, di sudut lain kampus, Reza bersiap menghadiri rapat organisasi di kampus. Berbeda dengan Yumna, ia memilih tampil lebih rapi dengan kemeja flanel yang lengannya tergulung hingga siku, terpakai dengan chino (celana bahan) dan sepatu kulit. Gaya ini memberi kesan santai namun tetap profesional. “Pak ketua nggak pernah gagal dalam berpenampilan,” ujar salah satu teman organisasi Reza.
“Tentu, Biar tetap nyaman, keren, tapi juga menunjukkan bahwa kita bisa tampil serius.” jawabnya kepada teman satu organisasinya itu.
Tren fesyen memang begitu beraneka ragam di kalangan mahasiswa. Setiap individu punya selera dan cara tersendiri dalam mengekspresikan diri melalui pakaian. Ada yang lebih suka gaya Streetwear Casual, seperti Agil, yang hampir setiap hari mengenakan hoodie (jaket tudung) oversized, celana kargo, dan sepatu kets tebal.
“Agil, Apa nggak sumpek kamu selalu pakai hoodie?” pertanyaan itu pernah Agil dapat dari teman-temanya. Namun ia punya jawabnya sendiri.
“Tidak, aku nyaman dan percaya diri dengan penampilanku ini. Santai, simpel, tapi tetap stylish,” jawabnya saat mendapat pertanyaan soal fashion yang selalu ia kenakan.
**
Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang terinspirasi dari budaya luar. Sila misalnya, sangat menyukai gaya Korean Style. Hari itu, ia mengenakan sweater oversized berwarna pastel, rok tenis putih, dan tas selempang kecil yang memperkuat kesan femininnya. “Aku suka bagaimana fesyen Korea itu terlihat effortless tapi tetap manis.”
“Coba, deh, sekali-sekali pakai gaya ini. Aku jamin kalian bakal kelihatan makin keren!” ucapnya sambil tertawa kecil.
Namun, pakaian bukan sekadar mengikuti tren, melainkan juga cerminan identitas diri setiap orang. Di fakultas seni, Fajar tampil menonjol dengan paduan warna-warna berani dan aksesoris unik yang selalu menarik perhatian siapapun setiap melihatnya. Ia tak ragu mengenakan kemeja bermotif abstrak dengan celana kain berwarna cerah. “Hidup adalah seni, dan seni haruslah hidup” itu ujarnya. Sedari kecil Fajar memang suka hal-hal yang berbau seni, hobinya menggambar, melukis sudah muncul dari ia sekolah dasar dulu.
“Aku ingin pakaianku mencerminkan kepribadianku yang ekspresif serta cinta akan sebuah seni,” katanya dengan penuh percaya diri.
Meski begitu, kebebasan dalam berpakaian tetap ada batasannya. Beberapa kampus menerapkan aturan tertentu terkait etika berpakaian. Yumna sendiri selalu membawa kardigan dalam tasnya, berjaga-jaga jika harus menghadiri acara formal di kampus. Walau terlihat santai saat jam perkuliahan, Yumna masih memiliki batasan dan tahu akan etika berpakian. Ia tau mana pakaian yang cocok untuk ia kenakan jika di situasi atau kondisi tertentu.
“Biar tetap sopan, tapi nggak kehilangan gaya,” ujarnya sambil mengedipkan mata.
Di tengah tren yang terus berkembang, semakin banyak mahasiswa mulai sadar akan dampak fesyen terhadap lingkungan. Rizal adalah salah satunya. Ia lebih memilih pakaian hasil thrifting (berbelanja barang bekas) untuk mengurangi limbah fesyen. “Kenapa harus beli baru, kalau bisa dapat yang lebih unik dan tetap keren?” katanya sambil menunjukkan jaket vintage (kuno/klasik) yang baru ia beli dari pasar loak. Tentu selain mengurangi limbah ia juga dapat menemukan model-model unik yang tidak lagi terproduksi di pasaran, dan sudah tak banyak orang memilikinya.
Bagi Rizal, thrifting bukan sekadar menghemat uang, tapi juga bagian dari gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Kesadaran ini perlahan tumbuh di kalangan mahasiswa lain yang mulai mempertimbangkan pakaian berbahan ramah lingkungan atau memilih mendaur ulang pakaian lama mereka.
**
Seiring waktu, gaya berpakaian mahasiswa terus berkembang. Namun, satu hal yang pasti, di balik setiap outfit yang terkenakan, ada cerita, kenyamanan, identitas, dan nilai yang mereka pegang. Mahasiswa bukan sekadar mengikuti tren, tetapi mereka juga menyesuaikan diri dengan lingkungan, budaya, dan bahkan visi mereka terhadap dunia.
Sore itu, Yumna, Reza, Agil, Sila, Fajar dan Rizal berkumpul di taman kampus. Mereka duduk bersama, masing-masing dengan gaya khasnya sendiri. Meski berbeda, tak ada yang merasa lebih baik dari yang lain. Mereka memahami bahwa fesyen bukan hanya soal tren, tetapi juga soal bagaimana seseorang mengekspresikan pribadinya.
“Pada akhirnya, pakaian itu tentang bagaimana kita mengekspresikan diri,” kata Yumna sambil tersenyum.
“Dan apa yang kita kenakan bukan hanya soal estetika, tetapi juga mengekspresikan tentang siapa kita dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain,” tambah Fajar dengan ekspresif.
Semua mengangguk setuju. Karena bagi mereka, kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang untuk menemukan jati diri, termasuk dalam bagimana mereka berpakaian.[]