Siti Manggopoh: Perempuan Minang Pemimpin Perang

Dalam buku-buku sejarah yang selama ini kita pelajari, sosok-sosok pahlawan dan tokoh perempuan yang telah berjasa bagi bangsa seringkali luput dari perhatian. Mereka yang berjuang keras, mengorbankan diri, dan memberikan kontribusi besar bagi kemerdekaan dan kemajuan negeri ini. Namun, mereka sering terlupakan dan tergeser oleh narasi-narasi sejarah yang lebih mendominasi. Padahal, jika kita menggali lebih dalam, sesungguhnya terdapat banyak kisah inspiratif dari perempuan-perempuan pemberani dan visioner yang pantas untuk terkenang dan terhargai salah satunya yaitu Siti Manggopoh pemimpin perang dari Tanah Minang.

Perempuan kelahiran 01 Mei 1880 merupakan pejuang perempuan yang lahir di Nagar (desa) Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Lahir dari pasangan bernama Sutan Tariak dan Mak Kipap. Pasangan tersebut sudah lama mendambakan seorang anak perempuan. Sebab lima anak mereka sebelumnya semuanya laki-laki.

Seperti orang Minangkabau pada umumnya yang menganut adat matrilineal, memiliki anak perempuan merupakan keistimewaan dan sangatlah berarti. Karena perempuan sebagai simbol untuk meneruskan keturunan dan merupakan kebanggaan keluarga. Tumbuh dalam kelarga yang saudara semunya laki-laki, Siti kecil terbiasa ikut ke surau, pasar, sawah bahkan ke gelanggang persilatan, yang tempo dulu hanya terikuti oleh kaum laki-laki.

Orang tua dan kakak-kakaknya mengajari dan mendidiknya menjadi perempuan pemberani. Namun sebagaimana perempuan Minang lainnya, Siti juga belajar mengaji di Surau, bapasambahan (belajar keterampilan perempuan), juga melengkapi diri dengan ilmu bela diri.

Keputusan Menikah

Pada tahun 1904 Siti dan Rasyid Bagindo Magek bertemu dan mereka memutuskan untuk menikah. Beberapa tahun kemudian dari pernikahan tersebut lahirlah dua orang anak, yang pertama Muhammad Yaman (laki-laki) dan Dalima (perempuan). Dalam kehidupan bermasyarakat mereka berdua membuka gelanggang silat, yang di kemudian hari melahirkan pesilat-pesilat tangguh.

Baca Lainya  Lanny Kuswandi: Penggagas dan Pakar Hypno-Birthing Indonesia

Pada saat Belanda mulai datang ke desa Manggopoh, Siti mulai tidak senang, apalagi Belanda datang dengan menarik belasting atau pajak. Saat itu beban kerja rodi sudah sangat memberatkan masyarakat Manggopoh. Puncaknya pada tahun 1908 pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kebijakan pajak yang sangat memberatkan rakyat di Sumatera Barat, termasuk di Agam.

Pajak yang terkenal sebagai “belasting” ini sebuah keharusan atas berbagai komoditas dan properti, yang menyebabkan penderitaan ekonomi bagi rakyat setempat. Kebijakan pajak ini memicu ketidakpuasan dan kemarahan di kalangan rakyat Minangkabau, yang merasa bahwa pajak tersebut tidak adil dan eksploitatif. Ketidakpuasan ini semakin parah karena perlakuan kasar dari petugas pajak Belanda. Hal tersebut semakin kuat dengan peraturan belasting teranggap bertentangan dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.

Melancarkan Perlawanan

Dalam melancarkan perlawanan rakyat Manggopoh, mula-mula Siti dan kawan-kawannya berusaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai rencana dan kekuatan Belanda. Bahkan ia sempat terjun langsung untuk memata-matai pasukan Belanda. Sebagai perempuan yang berpengaruh karena kharismanya, ketegasan, serta senyum manisnya, siti dengan mudah bisa menjalin persahabatan dengan para prajurit bahkan petinggi Belanda di Manggopoh. Dari informasi yang berhasil terkumpulkan bahwa pasukana Belanda di Manggopoh ada sebanyak 55 orang. Informasi penting itu segera ia sampaikan kepada teman-teman seperjuangannya, lalu setelah itu mengatur strategi perjuangan.

Setelah informasi Siti Manggopoh dapatkan, bersama suaminya Rasyid Bagindo Magek dan penduduk setempat, mulai merencanakan perlawanan terhadap kebijakan pajak ini. Mereka mengorganisir diri secara rahasia salah satunya membentuk pasukan tujuh belas dan menyiapkan strategi untuk melawan Belanda.

Pada malam tanggal 15 Juni 1908, Siti memimpin serangan mendadak terhadap pos penjagaan Belanda di Manggopoh. Mereka menyerang pasukan Belanda dengan senjata tradisional seperti parang, keris dan tombak. Serangan ini berhasil mengejutkan dan mengalahkan beberapa pasukan Belanda. Dengan siasat yang teratur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng.

Baca Lainya  Opu Daeng Risadju: Sang Renta Ksatria Politik

Setelah serangan awal yang berhasil, Siti Manggopoh dan para pejuang lainnya terus menggunakan taktik gerilya untuk melawan pasukan Belanda. Namun Belanda melakukan serangan mendadak dan kemudian mundur ke hutan untuk menghindari balasan dari pasukan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda segera mengirim pasukan tambahan untuk menumpas perlawanan di Agam.

Ambang Menyerah

Akhirnya pasukan tujuh belas tersebut terpencar serta bersembunyi di hutan. Namun setelah itu terdengan kabar beberapa rekan ada yang gugur serta tertangkap kemudian dalam pelarian Siti dan suaminya terdengar Nagari (desa) Manggopoh dibumihanguskan oleh Belanda. Belanda pun memburu Siti serta suaminya, karena tidak ingin desa tempat kelahiran Siti tambah terporak-porandakan akhirnya mereka menyerahkan diri.

Meski sudah menyerah, Siti tetap menunjukan sikap kukuh dalam perjuangan dengan menjawab interogasi petugas klonial Belanda. Dengan lantang ia menyatakan tidak takut mendapat hukum gantung. “Saya menyerang markas dan membunuh serdadu Belanda, karena Belanda telah melanggar adat Minang dan agama warga Manggopoh,” katanya.

Akhirnya untuk sementara mereka tertahan di Lubuk Basung. Setelah mendekam di tahanan selama 14 bulan, Siti dan keluarganya dipindahkan ke penjara Pariaman dan 18 bulan kemudian mereka dipindahkan lagi ke penjara Padang. Setelah 12 bulan di penjara di Padang, Rasyid suaminya dibuang ke Manado, Siti yang juga minta dibuang bersama suaminya akan tetapi ia malah dibebaskan dengan alasan sedngan mempunyai anak kecil. Sejak saat itulah tak terdengar lagi genderang perang di Manggopoh. Siti tinggal di rumah mengasuh anaknya, Dalima, yang tak lama kemudian meninggal.

Memperoleh Penghargaan

Berkat jasa perjuangan Siti pada tahun 1960, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal Nasution menyampaikan penghargaan kepada Siti, bertempat di balai Nagari. Nasution mengalungkan penghargaan negara dan rakyat atas keperkasaan Singa Betina dari Sumatera Barat.

Baca Lainya  Kartini: Pejuang Kesetaraan dan Pendidikan Kaum Perempuan

Akhirnya pada tahun 1964 harapan masyarakat Manggopoh terwujud, Pemerintah Republik Indonesia memberi gelar Siti sebagai Pahlawan Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun Tepat setahun kemudian, pada 22 Agustus 1965, sang pahlawan pun wafat dalam usia 85 tahun di rumah salah seorang cucunya di kampuang Gasan, Kabupaten Agam.

Almarhumah kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Padang. Riwayat perjuangan Siti Manggopoh tersimpan di museum Adityawarman dan Gedung Wanita Rochana Koeddoes, Kota Padang. Siti telah berjuang, Siti telah tiada, tapi sosok kepahlawanan dan perjuangannya tetap abadi hingga kini. Akhirnya Perang Belasting di Agam menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap penindasan dan ketidakadilan. Keberanian Siti Manggopoh dan para pejuang lainnya dikenang dan dihormati sebagai bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *