Idulfitri sebagai ajang mempertanyakan kembali idealisme perempuan dalam hal kebebasan menentukan pribadi dan kehidupannya kembali teruju ketika mendekati akhir Ramadan. Akhir Ramadan justru menjadi momen yang mengkhawatirkan bagi sebagian orang, khususnya perempuan.
Kekhawatiran yang terhadapi bukan lagi perkara tak memiliki baju baru, sandal, mukena atau jilbab baru. Lebih dari itu, kekhawatiran muncul justru dari beragam pertanyaan berasal dari masyarakat, orang tua, kerabat, bahkan teman dekat.
Tak lain adalah pertanyaan-pertanyaan sensitif yang cenderung menohok bagi sebagian perempuan yang “merasa” belum berhasil mencapai titik harapan masyarakat atau orang terdekat.
Pertanyaan Fenomenal
Tak elak ialah pertanyaan fenomenal yang kerap kali muncul sebagai ajang basa-basi, pengakraban, dan sebatas memenuhi rasa keingintahuan dari orang-orang tentang kehidupan perempuan yang teranggap belum berhasil ini.
Semacam kapan menikah? Umur segini masak belum nikah? Kapan punya rumah sendiri? Punya momongan? Dan lulus kuliah? Sudah bisa apa? Calonnya orang mana? Kapan bisa kasih ponakan? Dan beragam pertanyaan yang menggelitik bagi perempuan yang menjadi sasaran pertanyaan tersebut.
Uniknya, pertanyaan semacam itu tidak hanya satu orang melainkan banyak orang yang ikut serta meramaikan dengan pertanyaan serupa. Terus terulang, dari orang ke orang hingga rumah ke rumah pada saat berkunjung ke acara halalbihalal.
Mereka secara kompak menanyakan dan menjadikan bahan “diskusi” atau semacam “analisis” dari jawaban yang ada. Sebagian dari mereka menganggap bahwa hal tersebut lazim terlontar bahkan wajib untuk mengetahui bagaimana perkembangan dari tahun ke tahun. Apakah mengalami perubahan atau justru stagnan, sehingga secara berkala perlu dipertanyakan. Seolah ikut andil dalam kehidupannya.
Titik Keberhasilan
Di balik pertanyaan secara terang-terangan, mari menilik kembali konsep keberhasilan perempuan yang mencapai titik sukses menurut versinya dalam menentukan pribadi dan kehidupannya.
Apakah hanya sebatas telah menikah? memiliki rumah? Memiliki anak? Lulus kuliah? Telah bekerja? Atau sederet keberhasilan yang terdoktrinkan oleh Masyarakat yang menjadi acuan keberhasilan seseorang?
Keberhasilan perempuan terlalu sempit apabila hanya melihat ukuran mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang demikan.
Mengingat maraknya fenomena tersebut, perempuan seharusnya mampu mengolah, mengontrol, merefleksikan, dan membuka pikiran untuk mempertanyakan kembali idealismenya.
Misalnya pada pertanyaan kapan menikah? Jangan-jangan doktrin dan konstruksi yang terbangun oleh masyarakat selama ini telah menutup pola pikir dan menggerus idealisme para perempuan. Sehingga menjadikan mereka mudah dipermainkan dan disetir oleh masyarakat maupun orang terdekat.
Dorongan Sosial
Jangan-jangan menikah bukan lagi menjadi keinginan sendiri melainkan sekadar dorongan dari sosial dan orang terdekat. Sisi lain dari itu, menikah hanya karna ambisi atau menutupi rasa malu karna lama sendiri kemudian menerima orang tanpa banyak mengetahui bagaimana latar belakang dan karakternya.
Mirisnya lagi menikah hanya karna sudah berumur sehingga menjadi acuan utama untuk segera menikah tanpa melihat Kembali kesiapan mental dan finansial.
Belum lagi perempuan yang menghadapi pertanyaan kapan punya momongan? Terlepas dari bagaimana perasaan perempuan itu, baik, kah? biasa, kah? Atau sebaliknya, yang justru mengalami pergulatan batin dan traumatik yang tertahan demi menjaga kesantunan di depan kerabat dan masyarakat.
Sepertinya para penanya tidak sedikit pun memikirkan sejauh itu. Mengapa tidak lantas mengubah polanya dengan mengganti pertayaan menjadi pernyataan berupa; semoga lekas bertemu jodoh atau semoga mendapat momongan.
Penulis rasa dua pernyataan itu jauh lebih santun alih-alih dengan terus menerus mendikte dengan beragam perintah untuk segera dan segera.
Gambaran dari interaksi tersebut memberikan pengaruh sosial yang berlebih dalam mengubah pola pikir hingga idealisme perempuan. Menjadikan kebanyakan perempuan pasrah dan mengikuti alur kehidupan aturan masyarakat alih-alih dengan tetap mempertahankan idelismenya.
Sehingga dengan demikian perlu menelisik kembali melalui kekuatan mental dan pola pikir perempuan. Perempuan yang matang dalam berpikir, ia akan mampu menentukan dirinya menjadi pribadi yang ia harapkan.
Bukan sebaliknya, mudah terbentuk dan terarahkan oleh sosial yang melingkupinya. Peran dan saran sosial tidak salah, yang menjadikannya salah ialah seseorang kehilangan prinsipnya bahkan dirinya sendiri karena mengikuti saran yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.
Perempuan yang mampu mengatur dan mempertahankan idealismenya dengan tidak disetir oleh masyarakat, ia akan tetap tenang menghadapi gelombang sosial yang ada di lingkungannya. Termasuk menemui serta mampu menjawab pertanyaan beragam yang ditujukan pada dirinya.