Tuhan Izinkan Aku Berdosa: Perjalanan Spiritual Perempuan 

“…Aku ingin mencintai-Mu dengan bahagia, dengan bebas, dengan rindu setiap saat, tanpa harus ditakut-takuti neraka atau diiming-imingi surga…”

– Nidah Kirani

Tuhan Izinkan Aku Berdosa menjadi film perjalanan spiritual seorang perempuan dalam mencari jati diri. Lagi-lagi bahasan mengenai perempuan masih terus menggelitik untuk diperbincangkan, dulu, kemarin, hingga saat ini. Terlebih dalam beberapa kasus ada: diskriminasi, dominasi, hegemoni, stigmatisasi, kekerasan seksual hingga penindasan. Kesemua itu “masih kerap” terwujud dalam realitas maupun tervisualkan dalam dunia perfilman. 

“Aku ingin mencintaimu dalam diam, ya Allah.” Pernyataan ini menjadi kalimat pembuka dalam film yang teradopsi dari novel karya Muhidin M. Dahlan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Film begitu berani mengajak penonton memasuki perbincangan yang kompleks. Melalui pemeran utama, Kiran, film ini mengeksplorasi isu-isu moralitas, spiritualitas, dosa, pembuktian, dan pengampunan. Tentu dengan cara yang jarang terlihat dan tertampilkan dalam arus utama perfilman Indonesia.

Film garapan Hanung Bramantyo ini menggambarkan pergulatan batin seorang perempuan Aghniny Haque, pemeran utama yang membawa karakter Kiran ke dalam dimensi penuh luka dan penuh makna. Haque berhasil menangkap kekacauan emosional yang Kiran rasakan, membuat penonton terhubung secara emosional dengan perjuangannya. Mulai dari ketidakpastian hingga pemberontakan atas ketidakadilan yang ia terima. 

Pergulatan Perempuan

Selain rentetan emosional, film tersebut juga menggambarkan sebuah permohonan ironis seorang perempuan di tengah gejolak situasi Tuhan-nya yang mengizinkan para laki-laki munafik berdosa dengan memanfaatkan ketimpangan kuasa yang mereka miliki. Sebuah kontradiksi yang tragis. Ketimpangan kuasa muncul berulang kali, dari segi hierarki dalam keagamaan, politik, ekonomi, ketimpangan kemampuan fisik, dan patriarki. 

Suara perempuan mendapat stigma buruk: penuh godaan, penyebab adanya nafsu, penuh kebohongan, sumber fitnah, sumber masalah, tidak patuh terhadap laki-laki, pemberontak, dan segala bentuk misogini terhadap perempuan. Berbanding terbalik dengan laki-laki menerima stigma begitu apik: logis, patuh pada Tuhan, sayang keluarga, penyelamat perempuan dan kelompok rentan, pemimpin yang bijaksana, pendidik yang berbudi bahkan perpanjangan kuasa Tuhan.

Baca Lainya  Dominasi dan Pesona Kulit Putih

Setelah pemitnahan, pemerkosaan, penyiksaan, dan pengkhianatan telalui, monolog seolah membenarkan situasi opresif yang selama ini terjadi pada realita-realita di lingkungan sekitar. Selain menyoroti polemik penindasan terhadap perempuan, film ini juga membahas agama meski tidak satu agama secara spesifik.  Tetapi lebih menyoalkan orang-orang yang bermain agama dan Tuhannya dengan memanfaatkan iman orang lain untuk dirinya sendiri.

Memakai Topeng Agama

Mengatasnamakan agama sebagai senjata melindungi diri, menunjang eksistensi dalam berpolitik yang secara culas terlakukan orang-orang yang memanfaatkan kepatuhan terhadap agama untuk kepentingannya sendiri.  Bermain agama juga tertunjukkan melalui praktik poligami yang sering kali terjadi dengan alasan “demi kebaikan perempuan”. Walau kenyataannya banyak praktik poligami yang justru dapat merugikan dan merentankan perempuan.

Dalam adegan, saat perlawanan yang perempuan (Kiran) lakukan dan setiap kali berusaha berbicara demi kebenaran, Kiran selalu mendapat larangan–hanya karena dia perempuan dan bukan pemimpin. Bahkan pemberontakan perempuan itu sendiri dalam hal mencari keadilan terus terbalas dengan persekusi, fitnah, ancaman, penyiksaan, dan cemooh yang merugikan perempuan.

Mirisnya, film tersebut menyadarkan kita bahwa perempuan “masih saja” terposisikan sebagai kaum subordinat, ternomorduakan, dan termarginalkan. Tanpa power, perempuan hanya teranggap sebagai mainan untuk mereka yang berkuasa. Sehingga perlu tersadari betul bahwa perempuan sudah seharusnya bergerak dan berdaya agar setara untuk menghindari anggapan lemah dari laki-laki. 

Sepakat dengan pernyataan Wiputri, melansir konde.co bahwa film Tuhan Izinkan Aku Berdosa ini kembali mendekonstruksikan peran gender. Bagaimana perempuan mendapat beban inferior, diam saat diperlakukan tidak baik bahkan jahat, harus menerima nasib, patuh terhadap segala ucapan dan tindakan, senantiasan tersenyum, menampilkan kecantikan, dan lemah lembut. Walau begitu, secara garis besar perempuan pada akhirnya harus berjuang mencari keadilan untuk dirinya sendiri.

Baca Lainya  Mengetuk Pintu Bahasa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *