Sumber Gambar: jogjapos.id
Dalam dekade terakhir, dunia digital mengalami lonjakan besar dalam produksi dan konsumsi konten visual. Salah satu platform yang mendominasi adalah TikTok, aplikasi asal Tiongkok yang tak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menciptakan budaya viral. Tren joget menjadi salah satu yang paling menonjol, menarik jutaan pengguna untuk ikut serta. Fenomena ini menjadi menarik ketika terkaitkan dengan eksistensi muslimah modern yang berada di antara ekspresi diri dan nilai-nilai keislaman.
Joget viral di TikTok bisa terlihat sebagai bentuk kreativitas dan ekspresi seni. Namun, realitanya, tubuh—terutama tubuh perempuan—sering menjadi komoditas visual. Semakin atraktif gerakannya, semakin besar peluang untuk viral. Hal inilah yang membuat keterlibatan muslimah dalam tren ini mengandung dilema, karena mereka bukan sekadar berkreasi, tetapi juga turur mempertontonkan. Di hadapan publik luas yang bisa saja menanggapi secara beragam—bahkan negatif.
Perempuan muslim masa kini tidak lagi terkungkung oleh ruang domestik semata. Mereka aktif di dunia kerja, pendidikan, maupun media sosial. Keberadaan mereka di ruang digital menunjukkan bahwa muslimah bukanlah sosok yang terisolasi dari perkembangan zaman.
Namun, di balik layar ponsel yang menyala terang, para muslimah sering kali menghadapi dilema eksistensial: antara ingin terlihat, terlegitimasi, dan juga eksis. Anehnyam satu sisi, mereka ingin tetap menjaga identitas religiusitasnya.
Kreativitas dan Kehormatan
TikTok dengan segala algoritmanya memberi dorongan besar pada pengguna untuk “Memperlihatkan Eksistensi” secara konsisten. Inilah titik krusial bagi para muslimah. Ketika eksistensi mereka terukur dari seberapa banyak viewers, likes, atau followers, maka tanpa sadar, mereka bisa terjebak dalam logika pasar digital yang menuntut penampilan agar semakin menarik secara visual. Budaya “pamer” seolah-olah mulai perlahan masuk menjadi satu budaya umum, dan dorongan untuk ikut serta semakin besar. Banyak muslimah merasa bahwa apabila mereka tidak mengikuti tren, maka ia akan ketinggalan zaman.
Hamidy, (2022) mengatakan bahwa bagi sebagian muslimah, tren joget TikTok teranggap sebagai bentuk aktualisasi diri, bukan ajang mempertontonkan tubuh. Meski tetap berhijab, dilema tetap muncul karena pakaian ketat atau gerakan tubuh tetap bisa mengundang perhatian. Dengan begitu, niat menutup aurat bisa berujung pada ironi: aurat tertutup, tapi tak terjaga dari pandangan yang menggoda.
Hal itu juga bisa menimbulkan pandangan seksual dari penonton yang tidak tepat. Dalam syariat Islam, tentu saja perempuan mendapat anjuran menjaga ‘iffah (kehormatan) dan haya’ (rasa malu). Sementara budaya joget TikTok kerap menabrak akan nilai-nilai tersebut secara halus tapi fakta.
Amril dan Hadi (2024) mengatakan salah seorang filsuf muslim kontemporer, Sayyed Hossein Nasr, memberikan penekanan bahwa manusia itu mempunyai tanggung jawab kepada Tuhan atas setiap tindakan mereka, merasakan keintiman dengan ciptaan lainnya, dan memiliki visi nyata untuk mencapai kedamaian melalui melayani makhluk Tuhan. Dengan adanya hal itu, maka ia juga percaya bahwa teknologi bukanlah sebagai musuh, jika itu berada dalam bingkai nilai-nilai transendental.
Melihat konteks TikTok, ini berarti bahwa teknologi bisa menjadi alat dakwah dan kreativitas, asalkan terarahkan pada nilai spiritual kuat. Demikian pula, Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menggarisbawahi pentingnya niat dan kebersihan hati dalam setiap tindakan. Apakah gerakan tari bertujuan menghibur dengan sopan, atau sekadar ingin mencari popularitas dan validasi dari netizen? Ini pertanyaan reflektif yang layak mendapat perenungan para muslimah.
Meski TikTok kerap mendapat kritik tapi tidak semua kontennya negatif. Banyak muslimah lain menggunakannya untuk menyebarkan nilai positif, seperti dakwah ringan, tutorial hijab, edukasi, dan keseharian yang mencerminkan identitas Islam. Mereka tampil cerdas dan santun, menunjukkan eksistensi produktif dengan menciptakan tren bermakna, bukan sekadar mengikuti arus.
Standar Ganda
Dalam sudut berbeda, ada standar ganda yang perlu mendapat kritik: muslimah yang berjoget di TikTok sering mendapat kritik lebih keras alih-alih non-muslim. Hal ini mencerminkan ekspektasi tinggi masyarakat, tapi juga bisa menjadi tekanan psikologis. Karena itu, perlu ruang dialog sehat, bukan sekadar kritik, agar muslimah bisa berekspresi dengan tetap menjaga nilai-nilainya.
Eksistensi muslimah di era digital adalah tantangan yang tak sesederhana hitam-putih. Di tengah kebebasan berekspresi, mereka terhadapkan pada jebakan narsisme dan eksploitasi visual. Karena itu, mereka butuh bimbingan dan ruang aman, bukan hanya larangan atau penilaian. Dunia digital bisa menjadi ladang pahala jika dikelola dengan kesadaran spiritual.
TikTok dan tren joget akan terus bergerak maju, dan tugas muslimah modern adalah menemukan keseimbangan antara ekspresi dan etika, eksistensi dan nilai religius. Eksistensi sejati bukan sekadar tampil, tetapi membawa makna. Muslimah tak perlu takut eksis, asal bijak dalam menentukan caranya—agar tak sekadar mengikuti arus, tapi menjadi cahaya di tengah derasnya arus digital.[]