Simbah Maryam Ahmad Musthofa: Ulama Perempuan Penggagas Syair Al-Qur’an

Di zaman kontemporer ini, kepopoleran para mufasir laki-laki seperti Quraish Shihab, Buya Hamka, KH. Bisri Musthofa dsb cenderung lebih masyhur. Tidak hanya di bidang tafsir Al-Qur’an saja sebenarnya, dalam ranah dakwah syiar Islam di Indonesia pun masih ulama laki-laki masih mendominasi. Sangat jarang sosok perempuan muncul sebagai mufasir atau pendakwah agama Islam di Indonesia, Maryam Ahmad Musthofa misalnya.

Walaupun tidak dapat mungkir, ada beberapa perempuan yang ikut berkontribusi dalam syiar agama Islam meskipun jumlahnya dapat terhitung jari. Dengan demikian, bukan berarti perempuan tidak memiliki ruang di ranah publik yang sebenarnya dirinya memiliki peran penting dalam ranah tersebut.

Salah satunya adalah seorang ulama perempuan Jawa yang memiliki semangat untuk melestarikan Al-Qur’an melalui syair ciptaannya. Adalah almarhumah Nyai Maryam Ahmad Musthofa, istri dari KH. Ahmad Musthofa pendiri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyy Mangkuyudan Surakarta. Syair tersebut merupakan hasil karangan sendiri dan masih lestari.

Pembacaan Syair Simbah Maryam ini telah menjadi tradisi di Pondok Pesantren Al Qur’aniyy dan juga Pondok Pesantren Azzayadi milik putranya (Gus Karim). Masyarakat sekitar yang tergabung dalam pembacaan syair ini menyebutnya sebagai jamaah Ar-Risalah (Jamaah Selawat).

Cetakan buku Syair Simbah Maryam tergabung bersama selawat al-Barzanji. Penamaan syair tersebut tidak memiliki nama khusus, melainkan secara langsung dan khusus ternamai dan terambil dari nama Bu Nyai Maryam sendiri sehingga kemudian masyhur di khalayak orang dengan sebutan Syair Simbah Maryam.

“Penamaan syair tersebut tidak memiliki nama khusus, melainkan secara langsung dan khusus dinamai dan diambil dari nama Bu Nyai Maryam sendiri sehingga kemudian dikenal banyak orang dengan sebutan Syair Simbah Maryam.”

Menurut Hanafi (dalam Rofiq, 2019) tradisi merupakan segala sesuatu yang menjadi warisan dari masa lalu yang kita pakai, gunakan, dan masih berlaku hingga masa sekarang. Sebuah tradisi dapat terus terpraktikkan oleh generasi-generasi selanjutnya karena terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut yang telah mengakar di masyarakat. Kuatnya sebuah tradisi dalam suatu masyarakat mengindikasikan besar pula pengaruh (power) nilai-nilai terpercayai oleh masyarakat tersebut.

Baca Lainya  Nurhayati Subakat dan Humanisme Pengusaha

Dakwah Nembang

Melalui tradisi syair inilah, Ibu Nyai Maryam Ahmad Musthofa berdakwah tentang Al-Qur’an. Walisongo lebih dulu telah melakukan metode dakwah melalui media syair dalam menyebarkan agama Islam, khususnya Sunan Kalijaga. Sebab, orang Jawa zaman dahulu sangat senang “nembang”, maka celah ini menjadi strategi Sunan Kalijaga sebagai cara pendekatan dengan masyarakat Jawa.

Melalui bait-bait syair tembangnya yang juga berbahasa Jawa, terdapat pesan nilai-nilai syariat sesuai agama Islam. Sama halnya dengan Ibu Nyai Maryam Ahmad Musthofa yang turut berkontribusi sebagai ulama perempuan dalam melestarikan Al-Qur’an melalui syairnya. Hingga kemudian, pembacaan syair-syair itu menjadi tradisi generasi-generasi selanjutnya.

Secara umum syair Simbah Maryam menggambarkan upaya seorang Ibu Nyai Maryam Ahmad Musthofa yang berkeinginan untuk mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menjaga akhlak ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an. Secara khusus, syair tersebut menjadi pengingat bagi dirinya sebagai seorang pengasuh pondok tahfiz. Selain itu, syair ini utamanya diperuntukkan kepada para santri-santrinya yang sedang dalam proses menghafal Al-Qur’an. Berikut penggalan syair Simbah Maryam Ahmad Musthofa:

Duh yaaa Robbi kulo nyuwun diparingi lesan kathah nderes Qur’an ingkang suci
(Ya Allah, hamba minta diberi anugerah lisan yang banyak dipakai untuk membaca Al-Qur'an yang suci)
Lan sageto kulo nderek dawuh Qur’an pejah kulo nyuwun Islam sarto iman
(dan semoga bisa ikut menjalankan perintah Al-Qur’an, hamba ingin jika nanti meninggal dalam keadaan Islam dan membawa iman)
Duh yaaa Robbi kulo nyuwun remen nderes Qur’an kelawan lahir batin ingkang leres
(Ya robbi, semoga hamba diberi kemampuan rasa cinta untuk mengaji AlQur'an dengan benar secara lahir dan batin )
Qur’an iku panutane wong muslimin wal muslimat wal mu’minat wal mu’minin
(Al Qur'an adalah pedoman semua muslimin dan muslimat, mukminat dan mukminin)

(sumber: Halim, dkk, 2022. Mengenali Praktik Baik Ta’lim Al Qur’an)

Syair Simbah Maryam tersebut berisikan motivasi untuk selalu membaca Al-Qur’an, adab ketika membacanya, dan anjuran serta faedah menjaganya. Syair Simbah Maryam memiliki keunikannya tersendiri karena melantun menggunakan bahasa Jawa yang mengikuti nada syair berjudul “I’tiraf” dengan kalimat awal ilaahii lastulilfirdausi ahla.

Pembacaan syair Simbah Maryam seringnya saat acara-acara tertentu saja seperti haul, khataman dan Ar-Risalah. Tidak hanya itu, Syair Simbah Maryam juga sering melantun di konser selawat Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf. Hal ini mengindikasikan bahwa syair Simbah Maryam telah membumi di masyarakat Surakarta dan bahkan bergemuruh di seluruh penjuru Tanah Air.

Baca Lainya  Nur Rofiah: Cahaya Feminis Muslim Indonesia

Dengan demikian, kontribusi besar Nyai Maryam Ahmad Musthofa dalam bidang Al-Qur’an begitu terasa dan terlihat oleh kita. Sosoknya hadir sebagai fasilitator pengantar pesan yang hendak ia sampaikannya melalui media syair.

Perempuan yang selalu terpandang hanya bergerak di ranah domestik mampu terbuktikan oleh Ibu Nyai Maryam Ahmad Mustofa melalui karya syairnya. Bahwa perempuan juga dapat berkarya dan berdakwah berbekal ilmu-ilmu agama, sehingga dapat memberikan manfaat terhadap lingkungannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *