Pernah dengar istilah self-love? Mengapa hal ini erat kaitannya dengan perempuan? Istilah self-love yang sering kita dengar bukan hanya slogan atau kata-kata manis di ruang digital. Ini merupakan salah satu bentuk kesadaran dan penerimaan diri yang terpromosikan.
Secara harfiah, self-love berarti mencintai diri sendiri. Konsep mencintai diri sendiri bukan berarti narsis atau egois. Sebaliknya, ini adalah suatu cara menghargai diri sendiri yang tumbuh dari tindakan fisik, psikologis, dan tindakan spiritual. Hubungan self-love dan perempuan sangat erat. Keduanya memiliki dimensi mendalam, terutama karena perempuan secara historis dan kultural menghadapi tantangan sekaligus tuntutan sosial cukup berat.
Beban sosial perempuan merupakan konstruksi sosial yang terbentuk dari budaya, tradisi, dan interpretasi peran gender. Beban ini mencakup segala bentuk tanggung jawab, ekspektasi, dan norma, yang sejak lama oleh masyarakat umum labeli. Pun seringkali bersifat membatasi, menekan, bahkan tidak proporsional.
Pembagian Tugas
Perempuan tidak hanya mendapat tuntutan tradisional di ranah domestik sebagai pengurus rumah tangga, istri yang mengerti, dan ibu yang baik. Beban ini semakin nyata ketika kita mempertimbangkan bahwa perempuan juga berpartisipasi dalam dunia karir. Inilah yang membawa kita pada konsep peran ganda (double burden atau double role). Maksudnya situasi di mana perempuan harus menanggung dua set tanggung jawab sekaligus.
Satu di ranah domestik tanpa upah, yang orang menganggapnya sebagai kewajiban mutlak bagi perempuan. Satu lagi di ranah publik untuk mencari nafkah. Sementara itu, laki-laki yang bekerja di ranah publik tidak mendapat tuntutan mengambil tanggung jawab yang sama besar di ranah domestik. Secara simultan, hal ini dapat menyebabkan kelelahan dan konflik peran intens pada perempuan. Karena pada umumnya, perempuan tertuntut mematuhi standar moral dan perilaku lebih ketat daripada laki-laki. Menjaga kesopanan, kehormatan, keluarga, dan kesetiaan, umpamanya.
Nilai seorang perempuan juga seringkali terkaitkan dengan penampilan fisik, usia, dan status perkawinan/ keturunan, bukan hanya terlihat dari kemampuan atau pencapaiannya. Selain itu, perempuan kerap teranggap sebagai pihak kedua atau di bawah laki-laki. Dengan demikian, terjadi pembatasan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, bahkan pembatasan mengambil keputusan publik dengan alasan “melindungi” atau hanya karena teranggap tidak kompeten.
Berterima pada Diri Sendiri
Beratnya beban sosial perempuan dan tuntutan yang seringkali mengabaikan kebutuhan pribadi, dapat memicu stres dan kelelahan mental. Pengabaian diri sendiri terutama untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tidak realistis tidak bisa terus terbiarkan. Sebab, akan menimbulkan serangkaian konsekuensi negatif yang serius dan merusak, baik bagi diri sendiri maupun orang-orang sekitar.
Seseorang yang selalu menyesuaikan diri dengan tingginya ekspektasi orang lain akan kehilangan kontak dengan kebutuhan, nilai, dan keinginannya yang sebenarnya. Hidup akan terasa hampa karena dia menjalani dunianya untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Dalam kata lain, dia kehilangan jati diri.
Pengabaian diri juga merupakan pemicu utama rendahnya harga diri (low self-esteem). Jika terbiarkan, ini dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental lebih serius, seperti depresi, kecemasan berlebihan (anxiety disorder), bahkan ide untuk menyakiti diri sendiri (self harm). Selain itu, sikap selalu mengupayakan orang lain (people pleasing) membuat seseorang rentan orang lain manfaatkan. Dan, berujung pada kekecewaan karena telah meletakkan ekspektasi bahwa mereka akan membalas dengan hal yang baik pula. Hal ini sama dengan menuang racun secara perlahan apabila tidak segera menyadari makna hidup dan betapa berharganya diri sendiri.
Perempuan secara umum dipandang memiliki sensitivitas emosional yang lebih tinggi secara biologis maupun sosial. Oleh karena itu, penting sekali membahas hubungan antara self-love dan kesehatan mental perempuan yang cenderung lebih perasa atau sensitif secara emosional. Self-love memiliki peran krusial sebagai fondasi mental esensial. Memungkinkan perempuan membangun ketahanan diri, menetapkan batasan sehat, dan menolak ekspektasi sosial yang merugikan. Dengan demikian, secara efektif dapat membantu perempuan mengelola emosi merekat.
Apresiasi Diri
Dampak negatif dari beban sosial yang ditanggung bisa diatasi dengan menerapkan self-love. Karena dengan ini, perempuan dapat belajar untuk menerima diri seutuhnya dan apa adanya. Menerima kelebihan, kekurangan, apapun kondisinya. Perempuan dapat menghargai diri sendiri dengan memahami nilai dan keberhargaan diri tanpa bergantung pada validasi atau pengakuan orang lain.
Self-love dapat dimulai dengan hal-hal kecil yang menyenangkan, seperti meluangkan waktu untuk liburan, memakan makanan enak, memakai baju favorit, atau hanya sekedar bersantai. Selain itu, diri juga butuh apresiasi. Hal ini sangat bermakna meskipun kadang terlihat sepele, seperti berterima kasih pada diri sendiri karena telah bekerja keras, memaafkan diri ketiga gagal mencapai sesuatu, meminta maaf pada diri sendiri apabila telalu memaksakan dan menyadari bahwa diri sendiri adalah yang paling berharga pantas untuk bahagia dengan cara kita sendiri.
Dengan demikian, self love menjadi langkah pertama dan paling pribadi yang dapat dilakukan seorang perempuan untuk memperbaiki dampak negatif dari beban sosial. Ini mengubah fokus dari “apa yang dunia inginkan dariku” menjadi “apa yang aku butuhkan untuk berkembang”. Ketika perempuan secara sadar menjadi kuat, bahagia, dam mampu membatasi ekspektasi, hal ini secara bertahap akan mengirimkan sinyal ke masyaraka bahwa standar lama tidak lagi berlaku, dan pada akhirnya dapa mengikis beban sosial tersebut dari waktu ke waktu.[]

