Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
“Keluarganya, masyarakat sesukunya. Apalagi bagi seorang pria. Harus kau mengerti ini, Manen. Keluarga, orang tua adalah darah daging sang suami. Istrinya cuma seorang pendatang, yang dapat disuruh pergi.” (Raumanen, 2006: 45)
Buku yang sempat memenangi penghargaan sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975 ini menceritakan biografi perempuan, bernama Raumanen, lengkap dengan segala problematika yang mesti ia hadapi.
Dengan narator yang berasal-berpusat pada dua insan, Raumanen dan Monang, Marianne Katoppo membalut rajutan asmara mereka seiring dengan selebrasi sebuah bangsa yang, baru saja bebas-merdeka dari belenggu penjajah(an) dan masih berupaya melonggarkan sekat-sekat etnisitas yang kuat melekat.
Melalui latar di Jakarta tahun 1960-an, buku ini mengajak pembaca untuk melampau ke masa lalu, menjenguk kembali ingatan yang mungkin terecer atau kadung tersimpan rapi di laci sejarah, khususnya perihal perempuan, gaya hidup, bahasa, tanggung jawab sosial dan kultural. Pembaca masa kini pun niscaya melakukan tamasya (gaya) bahasa dan struktur naratif–yang mencandrakan identitas zaman. Sebuah era di mana republik masih begitu muda.
Bentang cerita yang Marianne Katoppo tawarkan ini agaknya dapatlah menjadi dokumen sejarah tertulis, perihal masa-masa pascarevolusi. Sebagai sebuah roman, tentunya teks ini tidak bisa lepas dari latar spasial dan temporal di mana teks sastra tersebut berangkat.
Maka, buku dengan gaya bahasa linguistik-sastrawi ini memperkaya wawasan dan menambah deretan sejarah alternatif sebagai pelengkap–biar nggak menyebutnya “tandingan”–sejarah resmi bikinan pemerintah.
Republik Muda
Masa-masa awal Indonesia pascakolonial terselimuti oleh bayangan–sekaligus perayaan–untuk menjadi satu, sebuah nasion. Namun, di tengah fajar persatuan yang memayungi ini, ada pula padangan negatif yang belum surut. Marianne Katoppo membuat gambaran sekaligus renungan soal kondisi tersebut:
Sekarang, hampir 20 tahun sesudah Revolusi, sesudah dua windu lebih penduduk Nusantara berpengalaman hidup sebagai “warga Indonesia”, ternyata beban prasangka serta wasangka terhadap suku lain masih belum dapat dilepaskan dengan begitu mudah. (hlm. 22)
Kutipan di atas menjadi cermin representatif yang menandaskan identitas lokal masih kentara. Setiap darinya tentu punya atribusi dan watak masing-masing. Syak wasangka dan rasa cemas kemudian acapkali muncul di benak kala menjumpai yang-liyan. Wajar saja bila pertanyaan tentang asal-usul maupun latar belakang seseorang terlontar saat perkenalan–yang agaknya masih langgeng sampai sekarang. Dengan menulis fragmen ini, Marianne Katoppo sesungguhnya melontarkan tanya dan menjungkirbalikkan apa itu “manusia Indonesia”.
Menanggapi sekat-sekat etnisitas, tokoh Raumanen punya gagasan yang kosmopolit dan benar-benar menerima pluralitas. Sudut pandang ini bisa terlihat sebagai ide yang Marianne Katoppo punya.
Bagi Manen dan keluarganya, soal kesukuan itu sudah kadaluwarsa. Dari kelima kakaknya, cuma seorang yang menyunting gadis sesukunya.
“Bhinneka Tunggal Ika!” kata ayahnya bangga, menghimpun anak-anak mantu di sekelilingnya…
Bagi mereka Indonesia itu bukan cuma suatu istilah kosong saja, yang dapat sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada peninggalan leluhur Minahasa. (hlm. 23)
Penggalan ini mempertegas bahwa hal-hal yang berkait dengan kesukuan, yang mengkotak-kotakan kelompok sosial dan memperlambat pergaulan sebangsa–bagi pandangan Manen dan sekeluarga–itu sudah kadaluwarsa. Ayah Raumanen pun berseru sembari mengumpulkan para mantu, yang tentunya berasal dari beragam daerah dan suku. Adegan tersebut bisa terlihat sebagai sebuah toleransi/penerimaan meski masih dalam konteks keluarga (besar).
Posisi Perempuan
Selain menyerukan nasionalisme, perempuan yang lahir di Tomohon, Sulawesi Utara 9 Juni 1943 ini juga menyinggung soalan perempuan sebagai tema pokok–seperti yang sudah saya singgung di muka. Marianne Katoppo menempatkan posisi perempuan yang acapkali rawan. Keadaan ini benar-benar membuat mereka tersisih dan terasing–seumpama yang teralami Raumanen.
Suatu waktu, usai melewati masa-masa bersama, Raumanen menghadapi masalah asmara dengan Monang. Keluarga Monang (Batak) enggan menerima Raumanen (Minahasa) sebagai menantu–padahal mereka sudah “mencicipi cawan cinta”.
Problem pun tak lagi bisa rampung dengan kepala dingin. Konflik pada akhirnya memuncak sampai berteriak menyalahkan. Raumanen menuduh bahwa Monang lebih baik sejak dulu tak usah bergaul dengan suku bangsa lain.
“Kalau orang tuamu begitu ingin mempertahankan kemurnian adat,” kata Manen sinis, “mengapa mereka tak menyimpanmu dalam lemari kaca sejak kecil? Mengapa engkau tak ditahan saja di Tarutung sana, tetapi dikirim ke Jakarta, ke Bandung, untuk bersekolah? Sebaiknya mereka tetap mengurungmu di bawah tempurung kesukuan” (hlm. 116)
Kemarahan Raumanen ini tentunya berangkat dari pandangan Monang–yang masih saja terikat kuat dengan akar di mana dia tumbuh & berkembang. Gugatan ini sebenarnya bukan hanya tertuju pada Monang, melainkan pula pada Ibu Monang, yang berkuasa penuh atas segala keputusan termasuk siapa pendamping hidup (baca: istri) Monang.
Pengalaman Raga
Bukan hanya soalan posisi dalam relasinya dengan laki-laki, buku ini mengulik bagaimana pengalaman unik nan tipikal kaum perempuan. Satu di antara hal tersebut adalah melahirkan. Sebuah proses yang sangat emosional dan menguras tenaga, mengesahkan diri sebagai ibu. Tak jarang pula persalinan jadi pertaruhan, sebab nyawa baik sang ibu ataupun bayi bisa melayang pergi.
Terang saja, pengalaman melahirkan ini hanya termiliki oleh perempuan. Kaum laki-laki tiada punya rahim & vagina sehingga tak ada kemungkinan sekecil pun untuk merasai pengalaman yang sama. Narator membikin perbandingan antara laki-laki dan perempuan kemudian menunjukkan rasa–yang sebenar-benarnya teralami betul oleh perempuan. Seperti kutipan di bawah ini:
Monang memang bisa bergembira bersiul-siul. Tubuhnya takkan berubah, sekalipun anaknya sampai lusinan. Tetapi aku akan bengkak, luka…
Nasib wanita memang penuh penderitaan. Melahirkan dalam kesakitan. Berdiri di ambang pintu maut waktu hendak mendorong manusia baru ke ambang pintu kehidupan. (hlm. 101)
Monang mula-mula terceritakan tanpa beban dan masih bisa bersiul-siul. Sebagai laki-laki, dia tidak kena pengaruh sekalipun anaknya sampai lusinan. Kondisi ini amat kontras dengan Raumanen yang berdiri di ambang pintu maut. Melalui perbandingan dampak fisik, yang mana tokoh laki-laki tubuhnya takkan berubah, perempuan dalam konteks ini seolah jadi mesin (re)produksi di tengah kontrol patriarki.
Tubuh perempuan agaknya memang amat rentan kala melahirkan seorang anak manusia. Pembaca, pada akhirnya diajak bersimpati. Dengan menuliskan tokoh perempuan dengan segenap pengalaman ragawi dan batiniahnya, Marianne Katoppo tak pelak memainkan peran yang kajian sastra menyebutnya “woman as a writer”. Sehampar kisah Raumanen kemudian mendapat telaah sebagai gagasan si penggubah teks sekaligus seruan untuk memihak yang selama ini terabaikan.
Buku yang memanggul cap “maestro sastra modern” ini pun sepantasnya terbaca sebagai teks yang tak hanya menggugat narasi sebuah bangsa, melainkan pula pelantang keberpihakan pada perempuan, saat dominasi maskulinitas masih menggejala di ranah publik maupun personal, sampai sekarang.[]