Satu nama yang pantas diingat sebagai pejuang pemberdayaan perempuan ialah Saparinah Sadli. Gerak-geriknya selama Orde Baru membuatnya tetap teguh, tegar, dan totalitas mengawal aktivisme gerakan perempuan. Ibu Sap, sapaan akrab Saparinah, melancarkan politik negosiasi pasca rezim Orde Baru runtuh kepada Presiden BJ. Habibie.
Tumbangnya rezim Orde Baru, menyisakan sekian derita dan peristiwa bagi bangsa Indonesia. Ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan, hukum, dan hak asasi manusia masih di ambang renjana kala itu. Namun, perlahan Presiden BJ. Habibie sebagai nahkoda menata kembali puing-puing yang berserakan itu. Bahkan tak segan membangun pelbagai komponen ketika memang sangat butuh.
Peristiwa Reformasi ini tak begitu saja terjadi, namun melahirkan pelbagai peristiwa-peristiwa kelam rakyat atas kegeramannya terhadap rezim ini. Peristiwa Mei 1998 menjadi bukti nyata bahwa kelompok etnis Tionghoa menjadi sasaran masyarakat saat itu. Toko dan pusat perbelanjaan milik mereka dibakar dan isinya dijarah. Tak kurang dari 1000 orang meninggal karena terbakar dan pemerkosaan terhadap 85 perempuan etnis Tionghoa.
Dalam buku Rekam Juang Komnas Perempuan: 16 Tahun Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan (2014) terbeberkan bahwa pada situasi inilah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) lahir sebagai respon atas peristiwa kasus perkosaan yang menimpa perempuan etnis Tionghoa dan atas desakan dari masyarakat yang mengorganisir diri dengan nama Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Audiensi Rakyat
Pascakerusuhan itu, audiensi antara Presiden Habibie dengan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan cuku intens. Sehingga Presiden Habibie meminta usulan dari Saparinah Sadli mengenai peristiwa ini. Kemudiam, Sarinah memberi usulan agar presiden membentuk komisi nasional ang bergerak dalam isu perempuan di Indonesia. Maka lahirlah sebuah lembaga bernama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan ini.
Komnas Perempuan adalah lembaga negara independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk pada 9 Oktober 1998 melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.
Tujuan Komnas Perempuan secera sederhana memuat dua poin, yakni: pertama, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia. Kedua, meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.
Adalah Saparinah Sadli, seorang akademisi, pendidik, dan pejuang hak asasi manusia yang konsen utamanya pada isu gender dan pemberdayaan perempuan. Perempuan yang lahir di Tegalsari, Jawa Tengah pada 24 Agustus 1926 ini merupakan salah satu penggagas sekaligus Ketua Komnas Perempuan pertama (1998-2004).
Peranannya dalam kerja-kerja kemanusiaan dan perlindungan perempuan pasca peristiwa Kerusuhan Mei 1998, membuat Ibu Sap, begitu sapaan Saparinah Sadli, harus membuat sebuah lembaga melalui politik gerakan perlindungan perempuan.
Henry Irawati di Jurnal Perempuan No. 48 Tahun 2006 menulis artikel berjudul “Saparinah Sadli: Women’s Stuides Indonesia”. Tulisan itu sedikit banyak membeberkan mengenai gerak langkap Ibu Sap yang semangat membidani lahirnya kajian wanita atau semangat bangkitnya perjuangan kaum perempuan. Maka tak aneh manakala Ibu Sap memiliki peran penting dalam menggerakan politik gerakan perempuan baik dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan pembangunan. Misi politik Ibu Sap untuk memajukan semangat perempuan-perempuan untuk memperoleh haknya adalah sebagai jawaban atas keseriuan aktivismenya pada bidang gender dan pemberdayan perempuan.
Gerak Langkah
Jiwa kepemimpinan dan aktivisme Ibu Sap tak berhenti hanya memegang kendali Komnas Perempuan saja. Ibu Sap juga pernah bergelut di lembaga kemanusiaan seperti menjadi Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 1996-2000. Ia pun menjadi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang fokus utamanya pada kekerasan seksual.
Kiprahnya sebagai akademisi membawa Ibu Sap pada pelbagai penghargaan. Di antaranya Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas, The Asia Special Lifetime Achievement Award, Anugerah Hamengkubuwono IX dari UGM, dan Rooseni Award. Bahkan pada 2022, kawan-kawannya mencatut namanya sebagai penghargaan bernama “Anugerah Saparinah Sadli” bagi perempuan yang berkontribusi besar dalam bidangnya.
Sedari menjadi pengajar di Universitas Indonesia, Ibu Sap sebetulnya telah menegosiasi kampus-kampus untuk mengadakan sebuah program Kajian Wanita. Bahwa maksud kajian ini menegaskan bukan untuk terasosiasi sebagai sarjana feminis. Maka sejatinya negosiasi politik Ibu Sap dalam menyebarkan kajian ini bukan hal mudah. Apalagi misalnya ketika para pimpinan kampus mayoritas laki-laki, maka ujung-ujungnya Ibu Sap malah menerima kritik dan usulannya ditolak secara skeptis.
Dengan demikian, penegasan arah gerak politik Ibu Sap ialah mengenai isu perdamaian agar tercipta dengan menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Ibu Sap pun menekankan bahwa damai yang harus terwujudkan ialah damai positif, yakni meningkatkan sumber daya manusia dan keamanan manusia. Pemerintah memberikan HAK berupa akses pendidikan, kesehatan, keamaan dan kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing.
Pada akhirnya, segala gerakan politik Ibu Sap ujungnya bermuara pada tatanan relasi seimbang, aman, dan saling percaya. Sebab, absen-absennya unsur-unsur tersebur, perempuan akan hidup di bawah ketakutan, ancaman, bahkan korban seperti dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998.