Sumber Gambar: nursyamcentre.com
Tidak semua individu memiliki beban hidup yang sama. Ada beberapa orang yang hidupnya tertopang seluruhnya oleh keluarga. Ada juga individu yang berjuang secara mandiri untuk menggapai harapannya. Belakangan ini, kanal media sosial banyak membincangkan tentang individu yang tidak sekedar mandiri untuk menggapai cita-citanya tetapi juga menanggung kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Individu yang demikian ternamai sebagai sandwich generation.
Sandwich generation mengacu pada individu yang rentang usia 30-40 tahun. Di mana dalam usia tersebut sudah mengemban tanggung jawab penuh untuk atas keberlangsungan hidup keseharian keluarganya. Mulai dari merawat orang tua yang berusia lanjut, memenuhi sandang, pangan, papan keluarga. Bahkan juga menanggung biaya pendidikan saudara-saudara kandung mereka. Sehingga sandwich generation ini terhubungkan pada tulang punggung utama keluarga mereka.
Tak jarang pula, sandwich generation ini terjadi pada pasangan keluarga muda. Membina rumah tangga sekaligus menjadi tumpuan ekonomi keluarga sekunder mereka. Fenomena ini menciptakan beban ganda, di mana tanggung jawab finansial, fisik, dan emosional tersebar ke dua arah. Orang tua yang semakin membutuhkan perhatian lebih karena mengalami penuaan, dan anak-anak yang masih memerlukan perawatan intensif.
Kombinasi dari tuntutan ini dapat memicu stres dan rasa kewalahan signifikan, terutama bagi individu belum mencapai kestabilan hidup mereka sendiri. Hal inilah yang menyebabkan quarter life crisis pada generasi sandwich menjadi fenomena yang sangat unik dan kompleks.
Salah satu aspek signifikan dari quarter life crisis pada generasi sandwich adalah tekanan finansial yang individu dalam kelompok ini hadapi. Mereka tidak hanya terhadapkan pada tuntutan memenuhi kebutuhan hidup pribadi. Namun, juga tanggung jawab ekonomi terhadap orang tua yang semakin bergantung. Pun, anak-anak yang masih memerlukan pendidikan, perawatan kesehatan, serta kebutuhan sehari-hari. Situasi ini menimbulkan beban besar, terutama bagi mereka yang belum mencapai stabilitas karir atau finansial.
Perempuan sebagai Sandwich Generation
Dorothy A. Miller (1981), profesor Universitas Kentucky, pada 1981 dalam jurnal berjudul āThe āSandwichā Generation: Adult Childern of the Agingā mengenalkan ini. Generasi sandwich menunjuk pada sebuah generasi yang berada pada posisi āterhimpitā di antara dua generasi yang berbeda. Yakni orang tua mereka yang mulai menua dan keberadaan anak-anak mereka. Ataupun saudara mereka yang masih membutuhkan bantuan dengan umur berkisar antara delapan belas tahun atau lebih.
Generasi sandwich ini bisa teralami oleh perempuan dan laki laki, tetapi terdapat banyak perbedaan gender untuk memenuhi kebutuhan yang mendasari perbedaan peran dalam lingkungan sosial. Melansir data Badan Pusat Statistik pada tahun 2021, mengungkap adanya peningkatan partisipasi angkatan kerja yang terjadi dalam lima tahun terakhir.
Peningkatan tersebut terikuti dengan partisipasi angkatan kerja perempuan dari 53,13% menjadi 54,03%. Peningkatan partisipasi perempuan untuk bekerja khususnya bagi generasi sandwich terjadi karena adanya dorongan yang muncul dari dalam diri maupun lingkungannya.
Namun, sebagian besar penyebab terbentuknya sandwich generation adalah persoalan tekanan ekonomi. Kebanyakan fenomena generasi sandwich terjadi di keluarga dengan pendapatan rendah, di mana ia sendiri membutuhkan sumber penghasilan yang cukup agar memenuhi kebutuhan anggota keluarga mereka.
Fenomena Sekitar
Di sekeliling saya, banyak saya jumpai fenomena perempuan muda yang menjadi tumpuan utama ekonomi keluarga. Latar belakang sebagai keluarga sederhana dan ekonomi yang pas-pasan, menjadikan perempuan harus menguras keringat lebih kuat. Belum lagi, jika perempuan tersebut merupakan anak tunggal. Ketika orang tuanya memiliki keterbatasan fisik, mau tidak mau ia harus mencukupi kebutuhan mereka.
Di sisi lain, fenomena perempuan generasi sandwich juga ada di kalangan perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak. Kondisi ini jauh membutuhkan tenaga ekstra, mempunyai dua keluarga yang sama-sama harus terhidupi secara bersamaan.
Memiliki anak yang harus ia besarkan dengan penuh perhatian dan tanggung jawab, di bilik lain juga harus mengurus segala keperluan orang tuanya. Hal tersebut yang menjadikan perempuan dalam golongan ini seringkali merasa cemas dan tertekan. Terdapat perasaan khawatir jika tidak bisa memberikan kasih sayang yang cukup untuk orang-orang di sekitarnya karena tuntutan hidup yang mereka hadapi.
Mendapatkan pendidikan mental dan fisik dari kedua orang tuanya sejak kecil tidak menjadikan ia sepenuhnya kuat dalam menghadapi lika-liku kehidupan saat dewasa. Seringkali, di fase ini merasa tidak fokus saat mengurus orang tua dan anaknya karena kegelisahan yang teralami. Tak terelakkan pula mengalami kesulitan dalam membagi waktu dan perhatiannya di sela-sela pekerjaannya. Belum lagi, jika perempuan yang seperti ini memiiki suami yang mempunyai sifat patriarki. Segala tindak perilakunya harus patuh dan terkendalikan suami.
Menambah beban mental yang mendalam untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Budaya patriarki berdampak pada berbagai tanggungan dan tuntutan pengasuhan ini lebih banyak terasakan perempuan. Budaya masyarakat Indonesia yang menampatkan perempuan dengan tugas gender sebagai pemberi pengasuhan merupakan salah satu penyebab banyaknya perempuan yang mengalami caregiver burden lebih tinggi.
Hal tersebut terkonfirmasi penelitian longitidunal oleh BPS (2018) bahwa 33% perempuan pekerja mengalami penurunan jam kerja. Kusumaningrum, secara spesifik menyebutkan dalam penelitiannya “Generasi Sandwich: Beban Pengasuhan dan Dukungan Sosial pada Wanita Bekerja” (2018), memuat hasil, perempuan lebih banyak terlaporkan mengalami peningkatan beban pengasuhan yang tidak hanya ke anak tapi juga ke orang tua yang lanjut usia.
Selain itu, sebagain besar lansia menginginkan mendapat perawatan oleh anak perempuannya dengan pengharapan mereka akan mendapat perawatan. Serta mendapat bantuan finansial dan pelayanan kesehatan yang bisa oleh anak mereka penuhi.
Kelelahan Emosional
Apa yang terjadi pada diri perempuan generasi sandwich ini memicu banyak kasus kelelahan emosional negatif akibat perannya sebagai sandwich generation, yang terlibat dalam perawatan multigenerasi karena meningkatnya tekanan dan tuntutan yang ditanggung ketika menanggung beban ganda dua generasi.
Masalah-masalah umum lain yang terjadi pada perempuan generasi sandwich, kurangnya mendapatk dorongan atau dukungan seperti umpan balik yang tepat oleh keluarganya. Sehingga memunculkan berbagai kekhawatiran terkait dengan karir, kesehatan, dan hilangnya pendapatan. Hal tersebut juga mengakibatkan masalah kesehatan fisik dan mental. Karena kekhawatiran tersebut mempengaruhi pola pikir, kepercayaan diri, dan kinerja pekerjaan.
Penyebab minimnya dukungan dari lingkungan sekitar juga didukung oleh karakter perempuan yang lebih suka memendam segala beban hidupnya. Tipe ini memang memiliki karakteristik enggan bercerita tentang kegelisahannya selama ini. Perasaan tidak enak hati seringkali menyelimuti emosi para perempuan yang tumbuh sebagai generasi sandwich. Ada perasaan khawatir kepada lawan bicaranya akan merasa terbebani dengan itu. Terdapat juga kegelisahan jika bercerita akan memunculkan anggapan akan merepotkan orang lain ketika menceritakan masalah yang sedang dialami.
Hal tersebut yang menjadikan kesejahteraan psikologi pada perempuan sandwich mudah terguncang dan terganggu karena kurang mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat. Kondisi ini yang memunculkan fenomena quarter life crisis.
Meminjam ulasan dari penelitian Shallcross tentang quarter life crisis (2016), perempuan sandwich yang mengalami quarter life crisis dipicu adanya tekanan social dan perbandingan sosial. Ciri yang muncul dari kondisi ini ialah seringkali merasa cemas dan stres sehingga tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Ketidakstabilan ekonomi rumah tangga juga turut andil mempengaruhi perilaku para perempuan sandwich generation.
Konflik Peran
Meminjam pendapat Laurie Chassin, salah seorang professor psikologi dari Arizona State University, terdapat konflik peran yang dialami oleh perempuan sandwich, yang pada akhirnya dapat mengganggu kesejahteraan psikologis. Hal ini akan diperburuk oleh keterbatasan waktu dan sumber yang dimiliki untuk menjalankan peran dengan seimbang. Studi Chassin juga mengungkapkan bahwa terjadinya konflik peran tersebut berkaitan dengan penurunan kesehatan mental, penurunan kualitas hubungan interpersonal, serta tingkat stres yang lebih tinggi.
Kesejahteraan psikologis merujuk pada kondisi mental di mana individu merasa puas, bahagia, dan memiliki kontrol atas hidupnya. Itu dapat terganggu akibat stres kronis dan perasaan tidak cukup mampu menjalankan berbagai peran yang ada. Kesejahteraan psikologis meliputi beberapa dimensi seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada individu yang mengalami konflik peran sebagai sandwich generation, intervensi psikologis seperti konseling, pengembangan strategi coping, dan dukungan sosial sangat dibutuhkan. Dukungan dari keluarga, lingkungan kerja, serta akses terhadap sumber daya sosial dapat membantu individu menghadapi tekanan peran yang ada. Intervensi berbasis mindfulness, keterampilan manajemen waktu, serta pelatihan ketangguhan psikologis juga dapat berperan penting dalam membantu individu mengelola stres dan konflik peran secara lebih adaptif.[]