Bagi pegiat kesetaraan gender, membahas mengenai Husein Muhammad atau akrab dengan sebutan Buya Husein menjadi hal yang menarik untuk terulas. Karakteristik dan keunggulan yang ulama kharismatik ini miliki adalah bidang pemikiran dan pergerakannya mengenai feminisme.
Tidak heran apabila banyak sekali yang menulis dan menyebutnya sebagai ulama feminis Indonesia. Karya dan gerakannya berfokus pada isu-isu perempuan, mengenai kesetaraan, pemberdayaan, dan memperjuangkan semua paradigma baru mengenai kemanusiaan, khususnya perempuan.
Riwayat Buya Husein
Tokoh yang aktif dalam mengkampanyekan pesan-pesan kesetaraan gender dalam Islam ini lahir di Cirebon pada tanggal 9 Mei 1953, putera pasangan Kiai Muhammad Asyarofuddin dan Ibu Nyai Ummu Salma Syatori. Beliau adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Secara berurutan mereka adalah: (1) Hasan Thuba Muhammad, (2) Husein Muhammad, (3) Ahsin Sakho Muhammad, (4) Ubaidah Muhammad, (5) Mahsun Muhammad, (6) Azzah Nurlaila Muhammad, (7) Salman al-Faries, (8) Elok Faiqoh.
Buya Husein Muhammad menikah dengan Lilik Nihayah Fuad Amin, dan terkaruniai lima orang buah hati. Yakni Hilya Auliya, Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najla Hammada, dan Fazla Muhammad. Selain itu, Husein Muhammad juga memiliki 3 orang cucu, 2 perempuan dan 1 laki-laki (Mubarok, 2023).
Beliau menamatkan pendidikan dasar pada tahun 1966, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Arjawinangun dan lulus pada tahun 1969. Sembari belajar di lembaga formal, sebagaimana tradisi anak kiai pada umumnya, beliau belajar dasar-dasar agama dari keluarganya sendiri. Ayahandanya, Kiai Asyrofuddin adalah pengasuh salah satu pesantren di Cirebon, Pesantren Dar al-Tauhid. Beliau kemudian berkelana ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Kediri. Beliau masuk pesantren yang memiliki tradisi akademik bagus, Pesantren Lirboyo Kediri. Di pesantren ini Buya Husein belajar selama tiga tahun, tepatnya dari tahun 1969 sampai 1973 (Fahasbu, 2021).
Titik Perjuangan
Awal mula perjuangan feminisme pertama kali ia gagas pada bulan November tahun 2000. Melalui dedikasinya, Buya Husein mendirikan Fahmina Institute. Kemudian pada tahun yang sama beliau juga ikut serta merealisasikan berdirinya pesantren pemberdayaan kaum perempuan Puan Amal Hayati bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohammad Sobari.
Tidak berhenti di situ, perjuangan Buya Husein dalam upaya memberdayakan perempuan terwujudkan dengan berdirinya Rahima Institute serta Forum Lintas Iman. Kemudian, dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Buya Husein berperan sebagai tokoh inti dalam pergerakan tersebut. Kang Faqih menyampaikan bahwa Buya Muhammad merupakan jangkar dari semua gerakan tersebut, ia juga magnet yang dapat menarik semua pihak dari berbagai kalangan.
Sehingga tidak heran, berkat dedikasi dan kualitas pemikirannya Buya Husein banyak mendapat penghargaan dan apresiasi dari berbagai pihak. Seperti menerima Heroes to End Modern-Day Slavery, tahun 2006. Namanya juga pernah tercatat sebagai “The 500 Most Influential Muslims” yang terterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center, Amman, Yordania selama beberapa tahun. Yang terbaru beliau menerima penghargaan berupa doktor kehormatan (Honoris Causa) dari UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah.
Di tangan seorang aktivis gender, akademisi yang sekaligus berperan sebagai ulama, Buya Husein mengemas kesetaraan gender dengan unsur islami yang berdasar dari al quran, hadis dan kitab-kitab klasik yang telah ia pelajarin semasa kuliah. Dengan demikian, gerakan feminisme dapat terterima oleh semua kalangan. Pembacaan teks-teks keagamaan yang terbimbing oleh visi ketuhanan dan tujuan agama (maqasid al-syariah) melalui pendekatan kontekstual, rasional, dan empiris merupakan cara penting untuk memahami teks-teks tersebut secara proporsional, dinamis, dan memberi kemanfaatan.