Perempuan, Ruang Digital, dan Radikalisme Kapitalis

Sumber Gambar: istockphoto.com

Era digital telah membuka peluang yang luas bagi perempuan untuk hadir dan berkontribusi di berbagai ruang sosial, politik, dan ekonomi. Media sosial, platform daring, hingga ruang-ruang komunitas digital menjadi arena baru bagi perempuan untuk bersuara, berkarya, dan memperjuangkan hak-haknya. 

Namun, di balik keterbukaan ini, terdapat ancaman tersembunyi yang tak kalah serius: radikalisme kapitalis—sebuah bentuk eksploitasi perempuan yang terbungkus narasi kebebasan, tetapi sejatinya menjerat dalam logika pasar dan komodifikasi. Dalam konteks ini, ruang digital bukan hanya arena ekspresi, tetapi juga arena perlawanan, manipulasi, dan pertarungan nilai.

Ruang digital telah menjadi alat penting dalam pemberdayaan perempuan. Banyak perempuan kini menjadi pemimpin opini, kreator konten, pelaku UMKM digital, hingga aktivis sosial melalui platform daring. Kampanye-kampanye seperti #PerempuanBersuara, hingga advokasi anti-kekerasan berbasis gender mendapat gaung besar di dunia maya.

Namun, di balik peluang itu, perempuan juga menjadi sasaran utama kekerasan digital: body shaming, doxing, cyberstalking, bahkan pelecehan seksual secara daring. Tidak sedikit perempuan yang terpaksa menutup diri karena tekanan mental akibat ujaran kebencian atau serangan seksual dalam dunia maya. Di sinilah ruang digital menjadi pisau bermata dua—menyediakan ruang kebebasan sekaligus mengandung potensi kekerasan struktural dan kultural.

Objektifikasi Keuntungan

Istilah radikalisme kapitalis merujuk pada dominasi sistem ekonomi pasar yang mengobjektifikasi perempuan demi keuntungan. Dalam lanskap digital, tubuh dan identitas perempuan sering kali terkomodifikasi sebagai alat marketing, konten viral, dan bahkan simbol budaya pop. Melalui media sosial dan platform komersial, perempuan mendapat tuntutan tampil “sempurna”, “modis”, “cantik”, dan “menarik” sesuai standar kapitalisme digital yang algoritma, merek, dan tren pasar mendiktenya.

Fenomena ini terlihat dalam maraknya paksaan pemengaruh mempertahankan citra fisik tertentu demi engagement, endorsement, dan pemasukan. Perempuan yang menolak standar ini kerap teranggap tidak “menjual”, “ketinggalan zaman”, atau bahkan “tidak relevan”. Tanpa kita sadari, ruang digital menjadi cermin dari logika pasar yang mengorbankan agensi dan otonomi perempuan di balik narasi “kebebasan berekspresi”.

Baca Lainya  Ragam Perempuan

Untuk keluar dari jeratan radikalisme kapitalis, perempuan perlu membangun kesadaran kritis terhadap ruang digital. Ini bukan sekadar tentang memilih platform yang ramah gender, tetapi memahami cara kerja algoritma, budaya digital, dan bagaimana kapitalisme mengeksploitasi eksistensi perempuan.

Tubuh dan Identitas

Perempuan perlu merebut kembali makna tubuh dan identitasnya dari standar komersial yang pasar tentukan. Tubuh bukan barang dagangan, melainkan ruang ekspresi otonom. Membangun komunitas perempuan yang saling mendukung, saling menguatkan, dan melindungi satu sama lain dari kekerasan daring adalah bentuk resistensi kolektif. Perempuan dapat mengisi ruang digital dengan narasi alternatif: edukatif, membebaskan, dan membongkar mitos-mitos kecantikan atau kesuksesan yang dikonstruksi kapitalisme.

Ruang digital menawarkan janji kebebasan, tetapi juga menyimpan ancaman terselubung dari sistem kapitalisme yang telah berevolusi menjadi radikal dalam mengeksploitasi identitas, khususnya perempuan. Perempuan bukan hanya pengguna media, tetapi subjek aktif yang mampu membongkar struktur kekuasaan di balik algoritma dan pasar. 

Dengan membangun kesadaran kritis dan solidaritas digital, perempuan tidak hanya menjaga dirinya dari kekerasan dan eksploitasi, tetapi juga mengambil peran utama dalam membentuk masa depan ruang digital yang adil, manusiawi, dan membebaskan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *