Perempuan dan Perihal Ketidakpatuhan 

Sumber Gambar: freepik.com

Mengapa kebebasan cenderung berkata “tidak” kepada kekuasaan? 

Kalimat apik tersebut terambil dalam buku Erich Fromm Perihal Ketidakpatuhan (2020). Dalam benak kita, kepatuhan menjadi satu aspek sikap atau mindset seseorang dalam mengikuti aturan, perintah, dan tuntutan dari pemilik otoritas. Misalnya orang tua, suami, guru, atasan, atau hukum. Individu atau kelompok tertentu cenderung patuh kepada figur teranggap memiliki otoritas.

Kepatuhan erat kaitannya dengan beberapa hal, di antaranya hadiah dan penghargaan sebagai bentuk iming-iming seseorang agar meningkatkan kepatuhannya. Konformitas sebagai wujud lain agar mendapat kecocokan untuk mendapat penerimaan di lingkungan dan komunitas tertentu. Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kekuasaan maka semakin besar pula kemungkinan untuk patuh. Tertambah lagi relasi kuasa yang kuat kerap kali melemahkan objek di bawahnya. 

Mirisnya, mereka lupa bahwa kepatuhan dari perintah atau tekanan yang terberikan dapat memberikan efek psikologi. Mengarah pada objek-objek terpimpin seperti perasaan takut, khawatir, merasa bersalah atau empati yang dapat mempengaruhi keputusan untuk “terpaksa” mematuhi. Perasaan yang terus menerus mengalami tekanan pelan-pelan dapat membentuk gelombang pemberontakan yang besar terhadap pengendali kuasa. 

Kepatuhan adalah kebajikan yang utama dan ketidakpatuhan adalah keburukan yang nista. 

Kutipan tersebut seolah memberi pagar dan batasan kuat bahwa kepatuhan adalah kebajikan yang menjadi kebijakan otoriter. Pemerintah dan pemimpin membuat dan menerapkan dengan cara yang sangat terpusat dan tanpa banyak melibatkan partisipasi rakyat atau kelompok lain dalam pengambilan keputusan. Padahal, Fromm (2020) menekankan bahwa sejarah umat manusia berawal dari tindakan ketidakpatuhan.

Lelaku Tak Patuh

Adam dan Hawa sebagai manusia pertama melakukan tindakan ketidakpatuhan yang mengakibatkan mereka keluar dari alam Firdaus ke alam dunia. Itu terjadi begitu mereka melanggar perintah Tuhan. Namun, bukan berati sikap dan tindakan ketidakpatuhan adalah kebajikan dan semua sikap kepatuhan adalah keburukan. Bukan. 

Baca Lainya  Perempuan dan Iduladha

Oleh sebab itu, untuk meluruskan keduanya perlu penjabaran yang jelas perihal kepatuhan dan ketidakpatuhan. Kepatuhan terhadap seseorang terutama perempuan, intuisi, atau kekuasaan adalah bentuk penyerahan atau pelepasan otonomi diri atau penerimaan kehendak dari pihak luar dalam diri seseorang. Misalnya seorang perempuan yang mengikhlaskan pribadinya untuk mendapat aturan dan arahan untuk patuh terhadap kuasa laki-laki. Maka ia telah merelakan pribadinya untuk bersedia menjalankan segala yang ia kehendaki.

Begitu sebaliknya, kepatuhan terhadap akal budi, nalar, dan keyakinan diri sendiri menjadi hak mutlak otonomi dalam diri perempuan itu sendiri. Kepatuhan yang otonom pada diri sendiri bukan bentuk tindakan penyerahan diri melainkan penegasan diri. Meyakini bahwa penilaian terhadap sesuatu yang berkaitan dengan dirinya, otentik miliknya dan mempertimbangkan nalar kritisnya merupakan tindakan untuk menjadi diri sendiri.

Pertanyaannya, mengapa perempuan cenderung bersikap patuh dan manuttetapi sulit bersikap tidak patuh? Sederhananya, yang telah tertanam dalam diri (internalisasi) di benak perempuan bahwa kita bersedia membuatnya senang dan yang kita takut membuatnya murka. Kesadaran otoriter semacam inilah yang membuat perempuan menghamba pada kepatuhan dan meminimalisir ketidakpatuhan. 

Meninjau Kemerdekaan

Perempuan tidak lagi merdeka sebab keterikatan pikiran dan perasaannya pada penguasa menjadikan ia tak memiliki keberanian untuk memberontak atau sekadar menyampaikan gagasannya. Ketika perempuan melakukan ketidakpatuhan atau perlawanan mereka teranggap sebagai ancaman dan sesegera mungkin harus tersingkirkan.

Semakin kuat laki-laki merebut eksistensi kemanusiaan perempuan dan membuatnya terus menghamba dan manutsemakin pula ia merasa terpuaskan atas kekuasaan yang ia pimpin. Pada saat yang sama, perempuan juga berusaha mempertahankan diri sebisa mungkin atas klaim kebahagiaan yang tinggal secuil. Sehingga hubungan kepatuhan perempuan dan laki-laki yang semacam ini bersifat antagonis karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. 

Baca Lainya  Demam Suhita: Mengarungi Ketabahan Alina dan Ketangguhan Rengganis

Untuk bisa tidak patuh, perempuan harus memiliki keberanian untuk menyendiri. Namun tindakan ketidakpatuhan hanya bisa dilakukan bagi perempuan yang sepenuhnya matang, dengan demikian ia telah memenuhi kapasitas untuk berpikir dan merasa dirinya sendiri. Hanya dengan begini seseorang akan berani untuk mengatakan “tidak” pada kekuasaan, untuk tidak patuh. Maka ia akan menjadi pribadi yang bebas karena tindakan ketidakpatuhannya pada kekuasaan. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *