Sumber Gambar: iqra.id
Sejak awal, agama Islam telah memberikan penghargaan dan perlindungan khusus kepada perempuan. Kita dapat menemukan panduan lengkap tentang bagaimana Islam melihat perempuan sebagai bagian penting dari keluarga dan masyarakat melalui berbagi hadis Rasulullah saw. Sayangnya, selama era modernisasi, pemahaman tentang hadis-hadis berkaitan dengan perempuan seringkali terganggu oleh interpretasi sempit yang terpengaruhi budaya patriarki dan kurangnya pemahaman kontekstual.
Dalam banyak sabdanya, Rasulullah saw. menempatkan perempuan di tempat mulia dan terhormat. Dari peran sebagai anak perempuan yang membawa berkah, sebagai istri yang harus mendapat penghormatan, hingga sebagai ibu, yang surga berada di telapak kakinya. Peran-peran ini menunjukkan betapa Islam sangat memuliakan perempuan. Sayangnya, masih ada banyak praktik diskriminatif terhadap perempuan yang menjadi anggapan bagian dari Islam, meskipun bertentangan dengan inti dari hadis nabi.
Kita bakal melihat bukti teks dari sabda nabi yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap perempuan dan meluruskan beberapa kesalahpahaman umum tentang beberapa hadis. Jika kita bisa memahami secara menyeluruh dan kontekstual, kita mampu melihat kembali kedudukan perempuan dalam Islam sebagaimana Rasulullah saw. ajarkan. Yakni penuh kehormatan, perlindungan, dan kesetaraan nilai di hadapan Allah Swt.
Individu Mulia
Melalui sabda-sabdanya, Rasulullah saw. menanamkan prinsip dasar kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan. Deklarasi Abu Dawud, “Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki” mengubah perspektif masyarakat Arab pada saat itu. Ini lebih dari sekadar pernyataan retoris. Pernyataan nabi ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki sumber kemanusiaan yang sama, memiliki hak dasar yang setara, dan memiliki kemungkinan untuk mencapai derajat spiritual yang sama (AM, 2023).
Penegasan Rasulullah saw. semakin jelas ketika mengaitkannya dengan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Hujurat: 13, sebagaimana telah tersampaikan oleh Fitrah Sugiarto, dkk (2021), menyatakan bahwa ketakwaan, bukan status sosial, suku, atau jenis kelamin, menentukan kemuliaan seseorang di sisi Allah Swt.
Prinsip ini mengubah masyarakat yang sebelumnya menganggap perempuan sebagai makhluk yang lebih lemah. Nabi Muhammad saw. tidak hanya menyatakan kesetaraan secara teoritis, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, memberikan hak waris, menghormati istri-istrinya, dan mengakui kemampuan intelektual perempuan.
Namun, penting untuk memahami bahwa konsep kesetaraan Islam bukan berarti keseragaman mutlak di semua aspek. Meskipun Islam mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda, itu tidak menghilangkan prinsip dasar kesetaraan martabat manusia. Perbedaan ini menunjukkan kebijaksanaan syariat dalam menerima setiap orang sesuai dengan alam tanpa merendahkan satu pun dari mereka. Oleh karena itu, hadis nabi tentang kesetaraan gender harus terpahami secara menyeluruh dengan mempertimbangkan konteks sosial budaya dan prinsip keadilan Islam yang universal.
Kemuliaan Perempuan dalam Keluarga
Rasulullah SAW menempatkan perempuan pada posisi mulia dalam keluarga melalui sabda-sabdanya. Kedudukannya sebagai ibu begitu mulia hingga surga terjanjikan bagi anak yang berbakti padanya. Sebagai istri, nabi mengatakan bahwa suami yang paling baik akan memperlakukan pasangannya dengan cara terbaik. Rasulullah, ketika dia masih anak perempuan, menjanjikan kedekatan di akhirat bagi orang tua yang merawat dan mendidiknya dengan kasih sayang.
Ketiga peran ini menunjukkan betapa pentingnya perempuan dalam Islam sebagai bagian penting dari keluarga. Tidak ada dikotomi antara tugas domestik dan spiritual, karena seluruh peran perempuan dalam keluarga bernilai ibadah. Hadis-hadis nabi ini sekaligus menjadi koreksi terhadap tradisi patriarkal yang sering merendahkan peran perempuan.
Rasulullah SAW memberi perempuan ruang yang luas untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan intelektual. Sosok Aisyah RA, yang menjadi istri Nabi dan kemudian berkembang menjadi ulama perempuan terkemuka, merupakan contoh nyata. Kemampuannya meriwayatkan ratusan hadis sekaligus menunjukkan bahwa agama Islam mengakui sepenuhnya kemampuan intelektual perempuan.
Dalam hal ekonomi, Nabi Muhammad SAW mengizinkan perempuan bekerja selama mereka mempertahankan prinsip syariat. Dalam beberapa riwayat sahih, perempuan aktif bekerja di zaman Nabi, mulai dari perdagangan hingga kerajinan tangan. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi perempuan hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga; sebaliknya, memberikan mereka kebebasan yang memungkinkan mereka untuk berkontribusi pada kehidupan masyarakat.
Pandangan progresif Rasulullah ini menunjukkan bahwa agama Islam sejak awal telah mendorong pemberdayaan perempuan secara seimbang, tanpa meninggalkan kewanitaan mereka yang alami atau membatasi potensi mereka untuk berkembang. Pandangan Islam tentang peran perempuan di ruang publik terindikatori oleh keseimbangan ini.
Koreksi atas Hadis
Salah satu contoh hadis Nabi tentang perempuan adalah riwayat yang menyebutkan perempuan memiliki “kurangnya akal dan agama”. Penafsiran yang merendahkan martabat perempuan telah terproduksi dari pemahaman teks hadis ini tanpa mempertimbangkan latar belakang dan maksud sebenarnya. Padahal, ketika mempelajari dengan cermat, Rasulullah saw. justru sangat mengapresiasi ketakwaan dan kecerdasan banyak Sahabiyah.
Menurut penjelasan yang lebih akurat, hadis tersebut berbicara tentang kesaksian hukum dan beberapa aspek ibadah tertentu, bukan sebagai pernyataan umum tentang kemampuan intelektual atau spiritual perempuan. Faktanya, dalam sejarah Islam, banyak perempuan yang memiliki pengetahuan yang luas dan pemikiran yang tajam, seperti Aisyah ra., yang menjadi rujukan para sahabat dalam masalah hukum.
Untuk menghindari kesimpulan yang merugikan perempuan, penting untuk memahami hadis-hadis ini dengan cara yang seimbang. Dalam kehidupan sehari-harinya, Nabi Muhammad saw. selalu memperlakukan perempuan dengan hormat dan mengakui potensi mereka. Oleh karena itu, ketika seseorang menafsirkan hadis, mereka harus selalu mempertimbangkan konteks masa lalu, tujuan syariat, dan ajaran Islam secara keseluruhan yang memuliakan perempuan.
Relevansi Ajaran Nabi
Hadis-hadis Rasulullah saw. tentang perempuan justru memberikan perspektif seimbang yang masih relevan di tengah dinamika wacana kesetaraan gender modern. Ajaran Nabi tidak terlalu ekstrem: mereka tidak membatasi perempuan secara berlebihan atau mengabaikan sifat kewanitaan mereka. Konsep ini terlihat dari bagaimana Islam memberikan hak perempuan untuk berkembang secara intelektual, sosial, dan ekonomi sambil mempertahankan nilai-nilai keluarga, yang merupakan dasar masyarakat.
Hadis-hadis Nabi tentang perempuan sebenarnya telah memperkirakan berbagai masalah saat ini dengan memberikan prinsip-prinsip dasar yang fleksibel. Rasulullah menunjukkan cara menghormati potensi perempuan tanpa menyeragamkan peran gender secara rigid. Islam menolak diskriminasi terhadap perempuan, tetapi juga menjaga peran dan tanggung jawab masing-masing gender.
Dengan perspektif moderat ini, ajaran Islam tentang perempuan tetap relevan sepanjang zaman. Hadis-hadis nabi tidak hanya menjadi peninggalan sejarah, tetapi juga menjadi pedoman hidup yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan zaman sekarang tanpa bertentangan dengan fitrah manusia. Konsep Islam tentang perempuan selalu relevan karena didasarkan pada keadilan yang sebenarnya, bukan kesetaraan yang sama.
Hadis-hadis tentang perempuan sejatinya dari Rasulullah saw. adalah cahaya yang menerangi jalan menuju kemuliaan hakiki. Melalui sabda nabi, perempuan diposisikan dengan hormat sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Untuk memastikan bahwa kemuliaan perempuan benar-benar terwujud sebagaimana diajarkan Rasulullah saw., kita perlu memahami hadis-hadis tersebut secara lengkap, kontekstual, dan tanpa bias budaya.[]