Peran Sosial Perempuan yang Tidak Terlihat

Banyak persoalan menarik jua penting manakala kata “perempuan” tercerita-obrolkan. Sekian deretan perjuangan dan problematika kian mewarnai khazanah perempuan. Konstruksi sosial mengenai perempuan masih sangat terdominasi ideologi yang bermuara pada ketidakadilan; terkhusus ketidakadilan gender.

Satu sisi, perempuan kerap terpandang tabu untuk terbincangkan, sehingga tak heran jika khalayak, termasuk kalangan pelajar, masih belum paham apa sebenarnya yang perempuan perjuangkan. Akibatnya, pelbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terjadi di sekitar kita.

Dalam diskursus ketuhanan, Allah Swt. menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi seorang hamba. Perbedaan keduanya cukup kentara, yaitu pada kodrat masing-masingnya. Sudah sepantasnya relasi perempuan dan lelaki berjalan dalam dimensi kesalingan. Menjalankan tugas sesuai kewajiban dan kodratnya masing-masing.

Dengan konsep tersebut, segala bentuk budaya patriarki yang meliputi subordinasi, marjinalisasi, dan stigma negatif terhadap perempuan harus terhapuskan dalam domain kehidupan. Cara itu bisa tertempuh perempuan melalui perubahan-perubahan di pelbagai bidang. Tujuannya tak lain agar gerakan ini mengikis pengasingan perempuan dan segregasi gender yang masih melekat.

Faqihuddin Abdul Qodir dalam buku Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam (2019) mengatakan bahwa lelaki dan perempuan harus memiliki sikap mubadalah (kesalingan) antar keduanya, sehingga tidak ada pihak yang merasa berkuasa (superior) dan tak ada pihak yang terkuasi (inferior).

Pada akhirnya, segala bentuk ajaran atau doktrin agama yang bermuara pada peminggiran, penomorduaan dan penilaian negatif terhadap seseorang khususnya perempuan perlu pengkajian ulang atau bahkan terluruskan. Kerap terjumpai seseorang berdalih patriarki berlandas agama sebagai pembenaran. Dengan agak sembrono ia mungkin hanya memaknai ayat atau hadis secara tekstual, mengeyampingkan interpretasi makna secara kontekstual.

Maka dalam buku Setara Semartabat (2020) tertulis bahwa antara laki-laki dan perempuan harus membentuk sebuah inklusi sosial. Yaitu sebuah proses membangun hubungan sosial dan menghormati antarindividu. Dari proses itu memberi kesempatan bagi mereka yang teranggap marjinal dan mengalami prasaka untuk berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses kontrol yang sama.

Baca Lainya  Papa Dali: Teladan Kesalingan Rumah Tangga

Gender dan Budaya

Pada dasarnya gender ialah perbedaan perempuan dan laki-laki di luar kodrat yang ada di masyarakat. Sementara gender berpangkal dan berkembang secara konstruksi sosial masyarakat. Laki-laki harus seperti ini dan perempuan harus seperti itu merupakan pakem gender yang terjadi dan membudaya di masyarakat. Kata “harus” itu bentukan dan anggapan masyarakat terhadap laku perempuan dan lelaki selama ini. Maka tatkala perempuan atau lelaki keluar daru suatu “keharusan” tersebut, masyarakat menganggapnya menjadi sebuah pelanggaran atau kesalahan.

Di titik inilah perempuan kerap menjadi korban ketidakadilan gender. Perempuan selalu terkungkung oleh konstruksi masyarakat sehingga sulit keluar dari pusaran gender tertentu untuk melakukan gebrakan sosial. Bila sekelompok perempuan berhasil membuat suatu gerakan berbeda yang tidak searah dengan konstruksi budaya tersebut, masyarakat awam terutama penganut ideologi patriarki, pasti akan memandang ini dengan sebuah pemberontakan.

Pemuja patriarki tidak mau posisi superiornya terberangus oleh gerakan-gerakan kesetaraan ini, maka mereka kerap membuat dogma patriarki dengan dalil-dalil agama. Bahkan sejak dulu, simulasi mengenai perempuan kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian lelaki. Konon, semua lingkup pekerjaan dan kesempatan sudah terpetakan antara lelaki dan perempuan. Buntutnya, perempuan tidak boleh merampas lingkup pekerjaan dan kesempatan lelaki. Cara pandang seperti inilah yang melahirkan berbagai ketidakadilan yang semakin beranak-pinak.

Ruang untuk Perempuan

Kita mencoba berpikir secara sehat menyikapi problematika ini. Dalam konteks peradaban dan kemajuan, tid,ak ada yang namanya pilah-pilih dalam menentukan siapa yang pantas; baik lelaki atau perempuan. Perempuan yang mempunyai kredibilitas dan kemampuan cukup dalam mempimpin seringkali tidak digubris dan mendapat pengakuan.

Padahal semua ruang dan lini kehidupan menjadi hak mutlak bagi siapapun; baik lelaki maupun perempuan. Saya teringat perkataan almarhum B.J. Habibie  “Siapapun itu, baik laki-laki atau perempuan, kalau pintar, ya pintar…”. Habibie secara tegas mendaraskan bahwa pendidikan menjadi hak mutlak siapapun, bukan hanya milik lelaki saja. Maka konsep kesalingan antara lelaki-perempuan yang Faqihuddin tawarkan rasanya sangat cocok untuk kehidupan bermasyarakat.

Baca Lainya  Setitik Harapan Caleg Perempuan

Laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam semua lini kehidupan. Hanya saja dalam sebuah kesepakatan, perempuan dan laki-laki kadang membuat pembagian tugas demi efisiensi. Keduanya sangat berjasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka sangat pantas manakala diantara keduanya berjasa dianggap sebagai pahlawan.

Sebagai contoh ialah para Srikandi Kerajaan Majapahit yang berperan dalam membesarkan kerajaan menjadi besar dan harum di nusantara. Mereka adalah Gayatri Rajapatmi, Tribhuwana Wijayatunggadewi, serta Ratu Suhita. Mereka merupakan ratu yang berpengaruh pada Era keemasan Majapahit. Kurang pas bila orang hanya mengenal ikon Majapahit lewat Hayam Wuruk dan Gajah Mada saja, padahal di belakangnya ada tiga srikandi hebat yang jauh lebih berjasa untuk Majapahit.

Alhasil, perjuangan perempuan hingga sekarang sebetulnya bukan dalam rangka untuk mengimbangi lalu menjatuhkan wibawa laki-laki. Namun, perjuangan ini lebih didasari pada ruang martabat perempuan yang harus sama seperti laki-laki. Dengan demikian, segala hak dan kewajiban laki-laki, sejatinya berlaku pula untuk perempuan. Islam pun sesungguhnya secara ideal-normatif tidak memebedakan antara laki-laki dan perempuan, apalagi mendiskriminasikan perempuan. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *