Sumber Gambar: kharchoufa.com
Hadis adalah sumber hukum Islam yang paling penting setelah Al-Qur’an dalam sejarah perkembangan agama. Untuk menjaga keaslian ajaran Rasulullah saw., proses pelestarian hadis melalui periwayatan secara lisan sebelum masa kodifikasi (tadwīn) sangat penting. Peran perempuan, terutama para sahabiyah, sangat penting dalam proses ini. Mereka bukan hanya pelaku pasif, tetapi mereka juga menjaga, menyebarkan, dan menjadi rujukan utama dalam transmisi hadis nabi saw.
Pada masa Nabi Muhammad saw., perempuan memiliki akses langsung ke ajaran beliau. Ini karena Rasulullah saw. tidak membatasi kaum perempuan dalam mencari pengetahuan. Bahkan memberikan waktu dan ruang khusus untuk menyampaikan nasihat dan ajaran kepada mereka. Para perempuan pada masa itu, terutama para istri nabi dan Sahabat lainnya, menjadi penerima, dan penyampai langsung sabda nabi.
Riwayat Pedoman
Sebagai contoh, istri nabi yang sangat cerdas Ummu Salamah ra. juga meriwayatkan banyak hadis. Terutama yang berkaitan dengan fikih perempuan dan kehidupan rumah tangga. Selain itu, perempuan seperti Hafsah binti Umar, Asma binti Abu Bakar, dan Ummu ‘Atiyyah al-Anshariyyah turut berperan dalam menyebarkan ilmu keislaman kepada generasi berikutnya.
Aisyah binti Abu Bakar ra. adalah salah satu figur paling penting dalam rantai transmisi hadis. Ia terkenal sebagai istri Rasululllah saw. dan memiliki banyak hadis. Aisyah meriwayatkan lebih dari 2.000 hadis, menurut al-Zurqani dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Hadis-hadis ini sebagian besar berkaitan dengan aspek pribadi kehidupan Rasulullah SAW, ibadah, akhlak, dan fikih perempuan.
Contoh hadis yang terkenal diriwayatkan oleh Aisyah ra. adalah:
“Adalah Rasulullah saw. apabila diberi pilihan antara dua perkara, beliau akan memilih yang paling mudah selama itu bukan dosa…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini berfungsi sebagai referensi penting dalam kaidah fiqih, terutama dalam hal memilih agama yang mudah (yusr). Aisyah ra. sangat kredibel karena kedekatannya dengan nabi dan kemampuan intelektualnya untuk memahami, menghapal, dan memberikan penjelasan kritis tentang hadis. Ia sering menggunakan nama sahabat terkenal seperti Abu Hurairah dan Ibn Umar sebagai referensi.
Jalan Periwayatan
Para Sahabat menjaga hadis dengan cara yang unik. Salah satu pendekatan utamanya adalah al-samā’ (mendengar langsung), di mana mereka hadir dalam majelis nabi atau mengajukan pertanyaan secara pribadi kepadanya. Setelah itu, mereka menggunakan teknik tahfizh (penghafalan) dan ta’līm (pengajaran) untuk mengajar keluarga dan orang-orang di sekitar mereka.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa banyak hadis yang berkaitan dengan fikih perempuan hanya dapat diriwayatkan secara autentik oleh perempuan karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar mengalami situasi tersebut. Misalnya, Aisyah dan Ummu Salamah memiliki banyak hadis tentang haid, nifas, dan adab rumah tangga. Para ulama muhadditsin mengakui kebenaran sanad hadis yang berasal dari perempuan dalam aspek-aspek ini.
Perempuan memainkan peran penting dalam membangun otoritas keilmuan Islam selain berperan dalam periwayatan. Dalam karyanya Al-Muhaddithat, Muhammad Akram Nadwi menyatakan bahwa ribuan perempuan berpartisipasi dalam pekerjaan muhadditsah (ahli hadis) dari masa Sahabat hingga masa klasik Islam. Mereka tidak hanya meriwayatkan hadis, tetapi mereka juga mengajar di masjid, madrasah, dan bahkan di lingkungan istana.
Perempuan seperti Karima al-Marwaziyya dan Fatimah binti Sa’d al-Khayr pada abad ke-6 H menjadi guru utama dalam periwayatan Sahih al-Bukhari dan mendapatkan izin ijazah dari banyak murid lelaki dan perempuan. Para sahabiyah memulai tradisi ilmiah ini.
Dalam wacana sejarah Islam, peran perempuan dalam rantai transmisi hadis pra-kodifikasi sering terabaikan. Tokoh seperti Aisyah ra. bukan hanya perawi, tetapi juga pengajar, kritikus, dan pelindung sunah Rasulullah saw. Keterlibatan perempuan dalam menyampaikan hadis secara langsung dari Rasulullah saw. dan ketelitian mereka dalam menjaga cerita tersebut menunjukkan peran penting perempuan dalam sejarah intelektual Islam.
Mengakui dan menggali peran ini bukan hanya memberikan penghargaan terhadap jasa perempuan dalam sejarah Islam, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa Islam sejak awal mengakui kemampuan intelektual perempuan. Kajian ini sangat penting dalam konteks kontemporer untuk menegaskan bahwa perempuan memiliki legitimasi sejarah yang kuat untuk akses ke ilmu dan otoritas keagamaan. Pada abad ke-6 H, perempuan seperti Karima al-Marwaziyya dan Fatimah binti Sa’d al-Khayr menjadi guru utama dalam periwayatan Sahih al-Bukhari dan mendapatkan izin ijazah dari banyak murid lelaki dan perempuan. Tradisi ilmiah ini berasal dari para sahabiyah.[]