Sumber Gambar: greennetwork.id
Pembangunan ekonomi di Indonesia sering kali mengabaikan perempuan sebagai subjek aktif dalam pengelolaan lingkungan dan ekonomi. Ketidaksetaraan gender dalam paradigma pembangunan telah menciptakan ketimpangan yang merugikan perempuan dan lingkungan. Dominasi laki-laki dalam kebijakan pembangunan menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, dengan dampak yang sangat terasa di wilayah-wilayah konservasi seperti Kepulauan Karimunjawa.
Kepulauan Karimunjawa, yang terdiri dari 27 pulau di Laut Jawa, memiliki ekosistem yang kaya dan beragam. Sebagai wilayah yang telah tertetapkan sebagai Taman Nasional Laut sejak 1988, Karimunjawa seharusnya dikelola dengan prinsip keberlanjutan. Namun, berbagai kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan perspektif gender telah memperburuk kondisi lingkungan di wilayah ini. Artikel ini akan membahas dampak paradigma pembangunan yang mengabaikan perempuan terhadap lingkungan di Kepulauan Karimunjawa serta solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Mengelola SDA
Perempuan di Karimunjawa memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga, tetapi juga memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem pesisir dan kelautan. Perempuan terlibat dalam berbagai aktivitas seperti pengolahan hasil laut, penanaman mangrove, dan pertanian pesisir yang berkelanjutan. Mereka memahami siklus kehidupan ikan, teknik penangkapan yang ramah lingkungan, serta cara menjaga keseimbangan ekosistem lokal.
Sayangnya, peran ini sering kali tidak terakui dalam kebijakan pembangunan. Pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya alam lebih banyak terdominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, kebijakan yang terterapkan cenderung mengabaikan pendekatan berbasis kearifan lokal yang terkelola perempuan. Akibatnya, banyak proyek pembangunan di Karimunjawa justru merusak keseimbangan lingkungan dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat, terutama perempuan.
Pembangunan Tidak Responsif Gender
Salah satu dampak utama dari kebijakan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek gender adalah meningkatnya eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan. Praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bom dan potasium, telah menyebabkan degradasi terumbu karang dan berkurangnya populasi ikan. Hal ini berdampak langsung pada perempuan yang bergantung pada sumber daya laut untuk mata pencaharian mereka, seperti pengolahan ikan asin dan produksi hasil laut lainnya.
Selain itu, privatisasi pantai dan ekspansi industri pariwisata yang tidak terkendali telah membatasi akses perempuan terhadap sumber daya alam yang sebelumnya menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Banyak pantai yang dulunya menjadi tempat bagi perempuan untuk mengumpulkan hasil laut kini telah terkomersialisasi untuk kepentingan pariwisata eksklusif. Dengan begitu, menghilangkan ruang bagi perempuan untuk bekerja dan berpartisipasi dalam ekonomi lokal.
Pembangunan infrastruktur yang tidak inklusif juga memperburuk ketimpangan gender. Misalnya, proyek-proyek pembangunan sering kali tidak menyediakan fasilitas yang mendukung perempuan, seperti akses air bersih dan pasar yang dapat menunjang kegiatan ekonomi berbasis rumah tangga. Akibatnya, perempuan semakin terpinggirkan dalam dinamika pembangunan di Karimunjawa.
Pemberdayaan Perempuan
Untuk menciptakan model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif, perspektif gender harus terintegrasikan dalam kebijakan dan praktik pembangunan di Karimunjawa. Langkah pertama yang harus terlakukan adalah mengakui peran perempuan sebagai pengelola sumber daya alam. Serta memastikan bahwa mereka memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, informasi, dan pengambilan keputusan.
Pemberdayaan perempuan dapat terlakukan melalui berbagai strategi, di antaranya: pertama, pendidikan dan pelatihan; memberikan pendidikan dan pelatihan kepada perempuan tentang teknik konservasi lingkungan, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta keterampilan ekonomi berbasis ekowisata. Kedua, partisipasi dalam pengambilan keputusan; mendorong keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan dan pengambilan kebijakan terkait pembangunan dan pengelolaan lingkungan.
Ketiga, dukungan ekonomi; mengembangkan program ekonomi berbasis komunitas yang melibatkan perempuan, seperti usaha kecil berbasis kelautan dan ekowisata yang ramah lingkungan. Dan, keempat, revitalisasi pengetahuan tradisional; mengintegrasikan pengetahuan tradisional perempuan dalam kebijakan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam.
Dengan menerapkan pendekatan ini, perempuan dapat berperan lebih aktif dalam menciptakan sistem pengelolaan lingkungan yang lebih adil dan berkelanjutan. Pemberdayaan perempuan bukan hanya tentang kesetaraan gender, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam bagi generasi mendatang.
Paradigma pembangunan yang mengabaikan perempuan telah menyebabkan ketimpangan gender dan merusak lingkungan, terutama di wilayah konservasi seperti Kepulauan Karimunjawa. Meskipun perempuan memiliki pengetahuan dan peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, mereka sering kali terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan.
Untuk menciptakan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, perspektif gender harus diintegrasikan dalam setiap aspek kebijakan dan praktik pembangunan. Pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dapat menjadi solusi utama untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan sosial di Karimunjawa. Dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan, kita dapat menciptakan model pembangunan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat setempat.[]