Sumber Gambar: mubadalah.id
Mereka yang menaruh perhatian lebih terhadap isu-isu yang—boleh terbilang nyaris—tak tampak ujungnya, selalulah mengagumkan. Tentang anak, perempuan (berpoligami, misalnya), kemanusiaan, kemiskinan, kiranya empat dari sekian banyak opsi yang bisa terpilih untuk mengulitinya terus-menerus. Sebab itu, sebelum melanjutkan tulisan ini, angkat topi bukanlah tindakan yang hina-dina bagi mereka.
Di kalangan praktisi hukum, khususnya lingkungan peradilan agama, isu perlindungan perempuan dan anak menjadi porsi khusus yang tak henti-hentinya terbahas. Lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang mengakomodir spirit visioner perlindungan perempuan dan anak membuktikan negara—melalui lembaga yudikatif—hadir serius untuk itu. Sekalipun, secara faktual, sejumlah problematika yang kian rumit turut pula mengikutinya.
Tulisan menarik hal ihwal isu perempuan yang melatarbelakangi esai ini lahir tak lain berasal dari esai M. Baha Uddin di portal Mubadalah.id berjudul “Bermula Utang, Berujung Poligami”. Di sana, Baha menanggapi suatu putusan perkara izin poligami Nomor: 783/Pdt.G/2022/PA.Sr yang oleh Pengadilan Agama Sragen keluarkan. Pada pokoknya, permohonan izin poligami itu datang dari seorang suami bernama Amir (begitu Baha menyamarkan nama aslinya). Dalam surat permohonan, Amir hanya mencatumkan sebiji alasan untuk beristri lebih dari seorang.
Demikian bunyinya: “… karena Pemohon dengan calon istri kedua saling suka dan mengerti, serta Pemohon mempunyai motif untuk membantu masalah hutang yang dialami bapak/ibu calon istri kedua, dan melunasi semua hutang-hutangnya, sehingga bapak/ibu dari calon istri kedua menghendaki untuk menikah dengan Pemohon dan tidak ada unsur paksaan satu sama lain. Oleh karenanya Pemohon sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila Pemohon tidak melakukan poligami”.
Pada ujungnya, hakim mengabulkan permohonan izin poligami Amir dengan segala pertimbangan hukum yang termuat pula dalam putusan itu. Kemudian oleh Baha terbicarakan ulang melalui esainya tersebut.
Menilik Aturan
Tentu perlu mengetengahkan lebih dahulu bahwa syarat beristri lebih dari seorang sudah teratur dalam Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. BAB VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. BAB IX Kompilasi Hukum Islam. Dari ketiga aturan itu, alasan sah berpoligami terletak pada 3 (tiga) kondisi istri. Yakni istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di samping beralasan, syarat lain yang wajib oleh suami penuhi terdiri dari 3 (tiga) hal pula. Yaitu adanya persetujuan dari istri/istri-istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.
Sebenarnya alasan poligami di atas bersifat fakultatif. Maksudnya apabila satu saja dipenuhi, maka telah cukup dikatakan sebagai alasan yang sah secara hukum (Sarmin Syukur, 2024:72). Sedangkan mengenai syarat-syaratnya, bersifat wajib tanpa kecuali.
Cara Kerja Hakim
Dalam sistem acara perdata, hakim memang hanya berkewajiban mencari kebenaran formil. Dalam kaidah fikih terkenal dengan istilah nahnu nahkumu bi dzawahir. Namun demikian, hukum tak melarang pula apabila hakim hendak mencari kebenaran materil jika memungkinkan. Dalam hal di depan persidangan telah ternyata bahwa istri pertama Amir tidak keberatan suaminya berpoligami.
Amir menyatakan kesiapan mejamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya. Serta komitmen Amir berperilaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, tetap saja syarat-syarat itu harus melekat dengan alasan-alasan yang terakui oleh hukum. Cilaka, dari ketiga jenis alasan berpoligami, tak ada satu pun yang oleh Amir dalilkan.
Sejatinya, hakim mendapat kemandirian seluas-luasnya dalam memeriksa serta memutus perkara. Bahkan jika terdapat suatu kondisi di mana aturan tertulis dipandang tak mampu lagi memberi keadilan bagi masyarakat, maka makin boleh menyimpangi aturan tersebut (contra legem). Seperti halnya paham populer di kalangan penganut hukum progresif macam Satjipto Rahardjo.
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menegaskan, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law). Rasa keadilan itu tumbuh dari keyakinan hati dan pikiran seorang Hakim, lalu tertuang dalam suatu putusan/penetapan.
Motif Lain
Seperti yang telah terkemuka sebelumnya, Amir hanya mendalilkan satu alasan yaitu adanya kehendak orang tua calon istri kedua. Yakni menikahkan anaknya dengan Amir lantaran Amir punya motif membantu melunasi utang mereka. Amir pun menambahkan, bahwa ia sangat khawatir akan melakukan perbuatan terlarang apabila tidak melakukan poligami.
Sejak mula membaca posita permohonan Amir bahwa alasan itu tidak tergolong sebagai alasan yang sah sebagaimana Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Kompilasi Hukum Islam menentukannya. Pun dalam pertimbangan hukum, hakim tidak mengetengahkan suatu dasar yang sekurang-kurangnya sepadan, baik dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Kompilasi Hukum Islam. Seandainya memang hakim menyandarkan putusan pada kaidah dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashalih (menghindar dari bencana harus didahulukan dari meraih kebaikan), tentu harus berbunyi dalam pertimbangannya.
Pada keadaan ini, tidak menutup kemungkinan bakal ada pembelaan terhadap Amir yang sudah beritikad baik yaitu sudi repot-repot bermohon izin berpoligami ke pengadilan alih-alih orang-orang yang poligami diam-diam. Ya, bagi penulis, pendapat inilah yang turut menyumbang angka ketidakpatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan hukum, utamanya hukum perdata (apalagi tidak ada sanksi pidana bagi pelanggarnya). Maka normalisasi terhadap “yang seharusnya” (das sollen) perlu jadi panduan bagi kita, tanpa mendang-mending, tanpa tawar-menawar.
Dan soal Amir, secara pribadi urusannya telah selesai. Bisa jadi ia telah melangsungkan pernikahannya, beranak-pinak, hidup rukun dan sentosa dalam keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Sementara itu di tempat lain, di antah-berantah sana, riwayat permohonan izin berpoligami yang mulus ini sedang terperbincangkan setidaknya untuk dua keperluan: jadi kajian atau panduan(?). Itu dia.