Sumber Gambar: istockphoto.com
Di kehidupan sehari-hari, kita banyak menjalin berbagai relasi baik antarindividu atau kelompok. Relasi yang kerap teranggap sebagai sesuatu alamiah dan tak perlu mempertanyakannya lagi. Sebab, memang sudah selayaknya manusia sebagai makhluk sosial.
Namun, di balik relasi ini terdapat otoritas yang tak banyak orang sadari. Padahal, otoritas merupakan salah satu kunci dalam hubungan relasi. Otoritas memainkan peran yang begitu penting dalam membentuk perilaku, nilai dan cara pandang seseorang. Dalam relasi, otoritas tidak hanya menyoal hal-hal besar dan formal dalam struktur sosial, tapi juga hadir pada setiap relasi Individu mauapun kelompok, seperti relasi paling intim sekaligus yakni keluarga.
Dengan menyadari otoritas suatu keluarga, apakah ada kaitannya dengan budaya patrarki hari ini, sistem yang terus-menenus teramini banyak keluarga. Padahal, patriarki jelas-jelas merugikan salah satu gender di kehidupan sehari-hari. Tulisan ini akan membahas bagaimana otoritas hadir dan bekerja dalam relasi sosial, terlebih dalam keluarga patriarki, serta bagaimana nilai-nilai patriarki terus terwarisi di dalamnya.
Keberagaman Otoritas
Otoritas dapat terpahami sebagai hak atau legitimasi untuk dapat bertindak, memberi perintah, dan keputusan kepada orang lain. Tak hanya semata terpahami secara sempit dalam bentuk legal formal siapa yang memegang kekuasaan tertinggi. Namun, otoritas juga perlu termengerti secara beragam dan luas.
Sebagaimana, sosiolog Max Weber (1931) membagi otoritas menjadi tiga bentuk yakni: tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Otoritas tradisional misalnya, kekuasaan diterima berdasarkan adat istiadat atau kebiasaan, dengan anggapan “sesuatu yang sudah seharusnya” dan dilakukan secara turun-temurun. Berbeda dengan otoritas rasional-legal yang berbasis aturan formal, atau otoritas kharismatik yang berasal dari daya tarik dan pengaruh personal seseorang.
Bahkan, perbedaan otoritas ini, menurut Erich From (1936) dalam Studies on Authorithy and the Family: Sociopsychological Dimensions, menyebutkan bahwa jenis otoritas begitu beragam dan membingungkan untuk menjadi objek dalam penyelidikan. Hal ini menunjukkan otoritas tidak pernah benar-benar absen dari kehidupan sosial kita. Ia hadir dalam berupa bentuk dan kadar yang berbeda-beda sebagai penentu seberapa pengaruhnya pada setiap relasi.
Pengaruh Otoritas
Dalam struktur keluarga, relasi terjalin dengan begitu intens dan awal alih-alih bentuk relasi sosial lainnya. Hal ini membawa kosekuensi bahwa keluarga menjadi ruang awal terbentuknya otoritas yang menciptakan pengaruh yang signifikan bagi individu.
Meskipun dalam lingkup keluarga, terbentuknya otoritas tidaklah terlepaskan dari konstruksi budaya. Masih menurut Erich Fromm, keluarga tidak berdiri sebagai entitas yang terlepas dari masyarakat, melainkan merupakan cerminan dari nilai-nilai dan struktur sosial yang berlaku (Fromm, 1936). Begitupun dalam proses terbentuknya otoritas dalam keluarga.
Karena masyarakat luas telah lama menjunjung tinggi sistem patriarki, banyak keluarga kemudian menerapkan sistem tersebut secara turun-temurun dan membentuk pola keluarga patriarkal. Dalam keluarga patriarki, laki-laki teranggap lebih superior secara sosial dan kultural, sehingga posisi otoritas tertinggi umumnya tersemat kepada ayah atau laki-laki sebagai kepala keluarga.
Kelompok Superego
Membahas otoritas dalam keluarga patriarki bukan hanya soal struktur sosial, tetapi juga soal pembentukan batin manusia sejak dini. Sigmund Freud menganalisis dalam konteks psikologi. Ia mengaitkan suatu kelompok dengan “superego”. Ia menyebutkan superego dalam bukunya The Ego and the Id (1923). Superego merupakan salah satu dari ketiga struktur kepribadian manusia yang ia ungkapkan yakni “id”, “ego”, dan “superego”.
Ketiga struktur kepribadian manusia tersebut perlu mendapat pemahaman singkat. “Id” mewakili dorongan naluriah yang primitif dan tidak terkendali. “Ego” adalah sebagai penengah yang mempertimbangkan realitas sosial. Dan, “superego” menjadi bagian yang menyimpan nilai moral, aturan sosial, serta perasaan bersalah.
Superego memiliki kaitan erat dengan Suatu kelompok dan pimpinannya sebagai otoritas. Sigmund Freud dalam Group Psychology and the Anlysis of the Ego (1921) menyebutkan bahwa sejumlah Individu dalam kelompok menjadikan satu objek yang sama yakni pemimpin sebagai ego yang ideal atau supergo dan mengindentifikasi diri dengan ego tersebut.
Narasi Patriarkal
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, dalam keluarga petriarki, otoritas termiliki oleh ayah. Maka, ayah sebagai pemimpin dalam keluarga patriaki menjadi “superego” bagi anggota keluarga lainnya, terlebih bagi anak. Melalui keberadaaan ayah “superego” anak kecil terbentuk. Anak kecil mengindetifikasi pribadinya dengan ayah di atas semua hubungan dan menjadi yang pertama dan paling penting. Ia menyebutnya sebagai identifikasi primer.
Dengan mekanisme ini, ayah menjadi kunci dalam perkembangan anak. Dan dalam konteks keluarga petriarki, ayah memainkan peran menjadi suporiortas dengan “superego” patriarki. Sehingga, anak kecil juga akan mengindentifikasi pribadinya sebagaimana sistem patriarki bekerja. serta terus mereproduksi patriarki ini pada kehidupan masyarakat luas.
Karena “superego” sudah muncul pada tahun awal anak, pengalaman ini menjadikannya lebih penting daripada perkembangan tahun berikutnya. Pengalaman masa kecil mampu memperlamban dalam menghadapi perubahan dengan melawan keadaan yang jenis superego yang berbeda, walaupun nyatanya ini lebih baik. Hal ini berarti pengalaman masa kecil menghasilkan superego yang kuat dan bersifat jangka panjang.
Oleh karena itu, memahami otoritas dalam keluarga patriarki bukan hanya soal struktur sosial tetapi juga tertanam secara psikologis sejak masa anak. Jika “superego” dibentuk oleh figur ayah yang patriarkal, maka perubahan menuju masyarakat yang egaliter dapat dicapai melalui narasi dan pendekatan secara inklusif. Kita perlu membayangkan ulang otoritas yang lebih adil agar tidak terus mereproduksi sistem patriarki dari generasi ke generasi.[]