Nyi Sadikem: Gowok dan Simbol Perlawanan

Nyi Sadikem Sumber Gambar: marjinkiri.id

Artie Ahmad mengawali alur kisah dalam novelnya Nyi Sadikem (2025) dengan menampilkan nuansa kolonial yang erat kaitannya dengan jual-beli perempuan untuk dijadikan sebagai gundik. Ekonomi yang sulit, mendorong para orang tua untuk menjual anak perempuannya kepada para Landha. Dari sebuah desa, terkisahkan seorang bapak melarat menjual anaknya seharga sekian ratus gulden.

Ia hanya gadis muda, cukup cantik, dan menarik tetapi demikian melarat hingga akrab dengan kelaparan. Tak memiliki daya untuk menolak ketika seorang lelaki Belanda bernama Isaak Van Kirk memboyongnya untuk dijadikan perempuan pemuas nafsu di atas ranjang, juga babu di luar kamar tidur. Ia menjadi gundik yang tidak memiliki daya menakjubkan layaknya perempuan berpendidikan tinggi, hingga melahirkan seorang anak perempuan bernama Elizabeth Van Kirk. 

Elizabeth inilah yang kemudian Artie Ahmad transformasikan sebagai Nyi Sadikem. Memiliki alur hidup yang pelik dan penuh perjuangan, ia terlahir sebagai perempuan ayu keturunan Indo-Belanda. Ayahnya memanggilnya dengan sebutan Pop yang berarti boneka dalam Bahasa Belanda. Kecantikanya inilah yang nanti menjadikan ia sebagai primadona. Namun, di balik kecantikannya sebagai seorang landha, justru mengantarkannya pada banyak tragedi. Ritme hidup yang tak pasti melemparnya ke dalam jurang kehidupan yang kelam. 

Runtunan Konflik 

Pengisahan Artie Ahmad penuh dengan ketangkasan, khususnya dalam pemunculan konflik beruntun. Ia memunculkan beberapa tokoh antagonis yang mengusik dan kian memperparah kehidupan Elizabet. Theodora, misalnya, istri sah Isaak Van Kirk yang berupaya menyingkirkan keduanya. Mulai dari ibunya gantung diri karena tuduhannya, percobaan pembunuhan melalui pembuangan yang ibu tiri lakukan padanya ke sungai, hingga penemuannya dalam keadaan hampir meninggal.

Bagian-bagian dalam cerita juga tergantikan secara kilat. Pascapenemuannya oleh seorang pemuda bernama Bondan dari pembuangan, Bondan menyerahkannya kepada perempuan tua. Perempuan tua yang merawatnya itu bernama Mak Miat. Sejak itulah, nama Elizabeth Van Kirk ia anggap telah mati dan berganti dengan nama Moerni pemberian Mak Miat.

Rentenan konflik tersebut tidak berlangsung lama, tersusul kembali dengan konflik yang muncul, berupa kekersan seksual yang Bondan Sasono lakukan. Ia menjadi korban kekerasan seksual, yang dengan penuh amarah meredam identitas Belandanya untuk menonjolkan kejawaannya. Ia mendapat rudapaksa dan berakhir dengan kehamilan yang tak pernah ia harapkan.  

Baca Lainya  Peran Sosial Perempuan yang Tidak Terlihat

Setelah mengandung dan melahirkan, ia temui kembali konflik batin yang makin mencuat berupa kehilangan anak laki-lakinya, Goentoer, yang baru berusia tiga bulan. Lalu menyusul Mak Miat meninggalkannya.

Sepeninggal Mak Miat, ketergantungan yang Moerni lakukan ialah mengubah hidupnya untuk kembali mandiri. Dalam keterbatasan ekonomi yang kian sulit, ia menerima tawaran Juragan Tomblok untuk menjadi wanita yang bertugas menemani laki-laki. Pertemuannya mengantar ia pada tokoh Martomo, laki-laki yang jatuh cinta kepadanya, hingga mereka hidup bersama dua tahun lamanya tanpa ikatan pernikahan.

Narasi yang oleh Artie ulas, sekali lagi saya akui begitu taktis, tanpa bertele-tele dan tidak membuat pembaca jengkel karena terkesan mengulur-ulur. Ia memberikan ketegasan dan kecepatan dengan memunculkan kembali pergulatan batin yang Moerni alami dari beragam konflik. 

Sialnya, anak keduanya, perempuan dari Martomo yang bernama Rahajeng kembali Martomo renggut. Ia ciptakan strategi dengan mengarang cerita dengan mengatakan masih bujang tetapi ternyata memiliki seorang istri yang mandul. Maka, dengan culas, ia membawa Rahajeng ke Belanda dan meninggalkan Moerti. Moerti tak memiliki kekuatan, sebab ia tak terikat dengan pernikahan yang sah. Ia Kembali menemui nasib nelangsa akibat dua laki-laki. 

Dunia Pergowokan 

Pascakehampaannya, Juragan Tomblok kembali hadir dengan menawarkan Moerni sebagai seorang Gowok. Gowok merupakan pekerjaan yang seorang perempuan lakukan untuk mengajari seorang pemuda bagaimana melakukan peran sebagai suami. Gowok bisa dibilang adalah istri bayangan, dalam hal ini berperan untuk membangun hasrat dan pengetahuan mengenai seluk-beluk rumah tangga, termasuk pengajaran di dalamnya mengenai ranjang.

Mbok Emprit, tokoh yang Artie hadirkan berperan sebagai pengarah dan pendidik untuk Moerni. Ia yang menjejali Moerni mengenai seluk-beluk dunia pergowokan. Bagaimana seharusnya memperlakukan para perjaka yang hendak melepas masa remaja dan dewasa. Bagaimana cara agar kelak mengasuh para cantrik agar lebih jantan dari sebelumnya. Bertanggung jawab dan menjadi lelananging jagad. 

Cantrik, sebutan untuk murid Gowok, laki-laki yang masih hijau berkisar umur 17-20 tahun yang sengaja orang tua meminta pada seorang Gowok untuk mengajarinya. Tujuannya satu, agar kelak ketika mereka menikah dan berumah tangga, ia tidak mempermalukan keluarganya. Melalui pengajaran Gowok, para perjaka mendapat didikan menjadi selaiknya laki-laki sejati. Pernikahan ketika zaman itu adalah pernikahan politik, perjodohan antara anak sesama gubernur maupun bupati.

Baca Lainya  Dominasi dan Pesona Kulit Putih

Dunia Gowok memegang prinsip bahwa pekerjaan yang mereka lakukan haruslah jauh dari perasaan atau cinta. Komitmen yang seorang Gowok lakukan haram untuk jatuh cinta atau mengikat salah satu cantriknya, sebab dapat mendatangkan kekacauan. Begitu pekerjaan selesai, maka selesai pula tugas seorang guru terhadap cantriknya. Apabila cantriknya yang sebaliknya, maka hal demikian di luar tanggung jawab Gowok. 

Nah, dalam hal ini, Artie memantik kontradiktif yang termunculkan dalam pengisahannya. Seorang Gowok terlarang jatuh cinta atau menaruh rasa kepada cantriknya. Mereka mengajarkan ihwal rumah tangga hingga ranjang tetapi pengajarnya berstatus belum menikah, atau bahkan tidak menikah.

Transformasi Moerni ke Nyi Sadikem 

Perubahan nama Moerni menjadi Nyi Sadikem berlatar oleh bertemunya ia dengan pribumi berdarah ningrat, Ndara Poerbaningrat. Ia mengisahkan pamongnya (baca: pengasuh) yang dulu merawatnya sedari kecil bernama Sadikem. Perempuan yang terlihat rapuh tetapi setegar karang, perempuan yang tampak dingin tak membutuhkan sentuhan namun sesungguhnya mendamba kehangatan.

Sejak itulah, Moerni terinspirasi dan mengubah namanya menjadi Sadikem, penambahan Nyi untuk menandai perempuan yang sudah dewasa dan menambah kesan wibawa. Nyi Sadikem bertekad menghidupkan sosok Sadikem yang pemberani dan sosok wanita dewasa, bukan remaja atau kanak-kanak. 

Perubahan tersebut membawa pada kemasyhurannya di desa, beberapa orang tua sengaja mengirimkan anak perempuannya untuk dilatih sebagai seorang Gowok. “Pada zaman itu, ketika seorang perempuan menjadi Gowok maka ia akan jauh dari kata melarat,” tegas Artie dalam beda novelnya ini pada Minggu, 12 Juli 2025 di Oemah Buku Bahagia Solo.  

Selanjutnya, setelah Artie secara jelas mendeskripsikan tugas-tugas seorang Gowok, termasuk di dalamnya menegaskan bertugas demikian tidak melulu soal seks. Lebih dari itu, narasi yang ia bangun pada kesalingan dalam rumah tangga. Misalnya dalam dialog ketika salah satu cantriknya berkeinginan untuk melakukan intim yang terus menerus. Nyi Sadikem dalam dialognya dengan tegas menepis ajakan tersebut. Ia menjelaskan bahwa pernikahan tak melulu seks, tak melulu di ranjang.

Maka, laki-laki juga harus berperan dalam tugas rumah tangga. Serupa mencuci baju, memasak, mengantar istri ke pasar, dan pekerjaan-pekerjaan domestik yang kerap kali perempuan lakukan. Ia dengan Tangguh menyuarakan bahwa di dunia ini, jika ada kesalahan atau kehancuran perihal hubungan laki-laki dan perempuan, maka perempuanlah yang bersalah. 

Baca Lainya  Kesalingan dalam Relasi Suami-Istri selama Kehamilan

“…Aku tak ingin kaum perempuan selalu menjadi tempat salah. Kaum lelaki jugalah yang harus menanggung segala kerusakan. Mereka tak bisa cuci tangan seolah tak ada dosa yang mereka sebabkan. Kesalahan dua belah pihak harus ditanggung kedua belah pihak, terlebih ketika derajat diri disangkutpautkan…” 

Suaka Ruang Perempuan

Menyoal kemanusiaan, Nyi Sadikem tak pernah memaksa gadis-gadis di desanya untuk menjadi seorang Gowok. Hal tersebut murni keinginan dari mereka, ia berupaya untuk melindungi para gadis dari kejamnya menjadi seorang gundik dan menghentikan transaksi jual-beli manusia, khususnya perempuan. Ia jadikan rumahnya sebagai suaka bagi perempuan, bukan satu dua perempuan untuk meminta perlindungan, melainkan banyak.

Di rumah Nyi Sadikem keadaan jauh lebih beradab. Sebagian orang menyebut sekolah perempuan penghibur, tapi sejatinya tempat nan jauh lebih manusiawi alih-alih kantor-kantor pamong masyarakat. Perempuan yang terluka akibat KDRT, dirawatnya hingga sembuh. Ia juga menyuarakan perlawanan bahwa orang-orang tak menaruh peduli soal KDRT karena urusan rumah tangga dianggap urusan pribadi. Maka, percuma melaporkan KDRT ke kantor polisi, tak ada ujung pangkalnya tak ada perlindungan bagi kaum Wanita. Malahan kemudian digarap sendiri orang oleh Sebagian para polisi bebal. Tangkasnya. 

Di akhir cerita, Artie menutup dengan komitmen yang Nyi Sadikem lakukan untuk tidak jatuh cinta atau menikah. Meski saya sebagai pembaca agaknya kecewa karena Nyi Sadikem tidak menjatuhkan hati pada laki-laki yang mencoba melamarnya hingga 100 kali. Namun, narasi Artie kemudian memberikan pemahaman bahwa traumatik yang dialami seseorang tidak semudah itu dilupakan. Memilih untuk tidak menikah menjadi jalan yang paling baik menurut Nyi Sadikem dan begitulah seharusnya ia menjalankan laku. “Dia tak benar-benar ingin berbagi hati, terlebih pada seorang lelaki. Perempuan seperti dirinya, tak diperuntukkan untuk dimiliki seorang lelaki,” jelasnya. 

Judul               : Nyi Sadikem 

Pengarang       : Artie Ahmad 

Tahun terbit     : 2025

Penerbit           : Majin Kiri 

Tebal       : iv + 220 halaman 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *