Sumber Gambar: kompasiana.com
Beberapa waktu yang lalu, di sekian wahana media sosial banyak warganet membahas sebuah grup musik bergenre dangdut hip-hop. Pembahasan tersebut tak lepas dari pernyataan salah satu personelnya di sela perpindahan lagu saat mereka konser di penutupan acara Pekan Olahraga dan Seni Universitas Gadjah Mada yang berlangsung pada 24 November 2024.
Pernyataan yang muncul seperti berikut: “Alasannya lembur kerja, alasannya ngerjain skripsi, padahal kenyataannya dia lagi check in di hotel sama friendly-nya. Jangan ya, dek, ya. Emang boleh se-friendly itu? Friendly apa murahan?”
Tanggapan dari para warganet beragam, namun ada titik temu dengan terwakili beberapa kata: marah, mengecam, dan kecewa. Kalimat tersebut terakui banyak pihak bermakna merendahkan, secara spesifik terhadap keberadaan perempuan. Selain itu, yang kemudian tersesalkan pula, peristiwa tersebut terjadi di ruang akademis—kampus.
Telaah Kata
Ada satu kata yang kiranya penting untuk mendapat telaah dari struktur kalimat tersebut. Kata itu berupa murahan. Pelajaran bahasa Indonesia menjelaskan itu sebagai bagian dari morfologi, tepatnya adalah kata imbuhan. Murahan merupakan satu contoh bentuk kata yang mendapat imbuhan “-an” pada akhiran (sufiks).
Lema mendasar yang membentuk adalah murah, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi VI Daring, kita dapatkan keterangan: (1) lebih rendah daripada harga yang dianggap berlaku di pasaran, (2) suka memberi atau menolong (tentang kebaikan), (3) berlebih-lebih; banyak, dan (4) gampang (mudah).”
Pada konteks kalimat tertulis di atas, murah mengacu pada konsep barang—yang demikian rupa membentuk beban makna saat tergunakan pada subjek perempuan. Fenomena ini tiada lain adalah objektifikasi kepada perempuan, yang tentu menegaskan adanya perendahan martabat.
Betapa pun kita paham, sebermula kata-kata adalah hal yang netral dan bebas nilai. Ia berkemungkinan memikul beban makna (konotasi) saat proses penuturan. Apa yang terjadi pada kata murahan? Celakanya, kata tersebut telah mendapat definisi yang membabarkan ketidakadilan gender dalam representasinya sebagaimana terbukti yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Daring.
Pengertian murahan, salah satunya tertulis: “gampang terbujuk atau gampang diajak berzina dan sebagainya”, dengan contoh yang tersebutkan yaitu: “agaknya ia memang perempuan murahan.” Pengertian dan contoh itu terakomodasi sejak KBBI Edisi III (2001) dan bertahan hingga sekarang. Amat tersayangkan, kamus turut mengesahkan dan menyusupkan perubahan makna yang tersebabkan konstruksi dominasi maskulin.
Bahasa Indonesia yang kerap mendapat anjuran anggapan baik dan benar dengan setia pada kamus rupanya belum cukup mampu menjadi ruang yang adil gender. Keberadaannya masih menimbulkan bias dan memikul beban viriarki. Objektifikasi dan perendahan akan bisa terus berlangsung jika pengalaman tidak menjadi evaluasi dan pembelajaran dalam upaya memikirkan bahasa yang mengutamakan keadilan.