Menelusuri jejak kepemimpinan perempuan di Jepara tidak melulu soal R.A Kartini dan Ratu Kalinyamat. Tetapi jauh sebelum keduanya memimpin, telah hadir lebih dulu pemimpin perempuan tangguh yang ikut serta menjadi pejuang perempuan khususnya di Jepara, yakni Ratu Shima.
Ratu Shima memimpin pada tahun 674-695 Masehi yang kala itu hampir seluruh dunia mengenalnya. Ia memerintah kerajaan Kalingga untuk menggantikan suaminya, raja Kartikeyasinga, yang wafat pada 674 Masehi. Ketegasannya dalam memimpin menjadikan Kerajaan Kalingga mencapai puncak keemasan.
Kerajaan Kalingga sendiri terletak di pesisir pantai utara Jawa, yang kita kenal dengan dearah Jepara. Mengutip catatan perjalanan musafir Tiongkok bernama I-Tsing meyakini bahwa kerajaan Kalingga berada di daerah Jepara tepatnya di Keling. Kerajaan Kalingga (disebut juga Keling atau Holing) adalah kerajaan Hindu yang pernah menjadi salah satu pemerintahan terbesar di Jawa.
Ratu Shima merupakan anak dari seorang pemuka agama Hindu-Syiwa. Ia lahir pada 611 M di Sumatera bagian selatan dan baru pindah ke Jepara setelah menikah dengan pangeran dari Kalingga, Kartikeyasinga, yang kemudian menjadi raja dari tahun 648 hingga wafat pada 674 M.
Dalam catatan sejarah, pola kepemimpinan bentukan Ratu Shima yakni dengan menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan. Serta mendorong agar rakyatnya senantiasa berlaku jujur. Namun, dengan pola tersebut tidak lantas rakyatnya membenci atau menjaga jarak dengannya, justru lewat kepemimpinannya itu rakyat mengaguminya.
Kepemimpinan dan Ketegasan
Cerita ketegasan Ratu Shima kala itu terdengar hingga Timur Tengah. Suatu hari, seorang raja bernama Ta-Shih penasaran dengan kepemimpinan Ratu Shima yang terkenal adil, tegas, dan tidak pandang bulu. Rasa penasarannya kemudian membawa Raja tersebut berlayar untuk mendatangi langsung Kerajaan Kalingga.
Ia menguji dengan cara meletakkan sekantung emas di persimpangan jalan. Tujuannya adalah seberapa tinggi kejujuran rakyatnya dengan tidak mengambil barang yang bukan milik mereka. Berbulan-bulan kantong tersebut masih utuh di persimpangan jalan karena tidak ada yang berani mengambil atau menyentuh barang tersebut.
Hingga pada suatu hari, putra dari Ratu Shima pangeran Narayan tidak sengaja menyentuh kantong tersebut dan terdengar oleh ibunya. Mengetahui informasi tersebut, Sang Ratu marah kemudian hendak menghukumnya dengan hukuman mati.
Ia tidak mau menjadi pemimpin yang tidak adil, sehingga siapapun yang melanggar aturannya harus menerima hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sekalipun yang melanggar adalah anaknya sendiri. Akan tetapi, berkat permohonan pejabat dan punggawa kerajaan, akhirnya Ratu Shima meringankan hukuman sang pangeran. Hukuman mati diganti dengan hukuman potong kaki, karena pengeran Narayana menyentuh kantong tersebut dengan kakinya.
Begitulah ketegasan menjadi prinsip memimpin Ratu Shima. Ia menjunjung tinggi kejujuran, dan ia tak akan segan memberikan hukuman kepada rakyatnya jika melakukan perbuatan yang tidak jujur. Hingga akhirnya raja raja Ta-Shih mengakui ketegasan dan keadilan Ratu Shima dalam memimpin.
Perdagangan dan Pertanian
Ratu Shima dianggap sebagai sosok pemimpin yang cenderung tegas serta keras. Ia bukan hanya mencerminkan sifatnya tersebut pada kasus pencurian melainkan juga di hal-hal lain. Pada masa kepemimpinannya, Kerajaan Kalingga mencapai puncak keemasan.
Mengutip dari Ismawati (2006) bahwa kerjaan Kalingga pada saat itu mengambil-alih peran bandar dagang teramai yang mulanya dikuasai oleh kerajaan Tarumanegara. Tidak hanya itu, Kalingga juga menjalin kerja sama dengan kekaisaran Cina sejak abad ke-5 M. Selain berhasil dalam sektor perdagangan, Kalingga juga berhasil mengembangkan sektor pertanian serta kerjinan tangan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar.
Ratu Shima yang berhasil membawa kerajaan Kalingga hingga mencapai kejayaan, membuktikan bahwa zaman dahulu Perempuan telah berperan dalam memajukan berbagai sektor. Peran perempuan seperti Ratu Shima tidak redup meski hidup di masa kerajaan yang didominasi laki-laki.
Justru sebaliknya, kehidupan yang mewah mampu ia manfaatkan sebagai pemimpin yang tangguh untuk mengatur strategi dan memberikan kontribusi bagi rakyatnya. Ia membuktikan bahwa selepas kepergian suaminya, kerajaan Kalingga justru lebih tersohor dari sebelumnya, dengan pola kepemimpinan yang tegas dan keras dapat memajukan serta menyejahterakan rakyatnya.