Mbak Ndhalem: Stigma Feodalisme Pesantren

Sumber Gambar: lendoot.com

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan banyak hal, termasuk ilmu hidup. Dalam kehidupan pesantren, kiai merupakan figur sentral yang orang percaya mampu memberikan banyak pengetahuan agama terhadap para santrinya. Selain tempat pendidikan agama yang moderat dan inklusif, pesantren juga berperan sebagai tempat untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi.

Dalam lingkup pesantren, kita tidak akan hanya mengaji ilmu agama saja, banyak ilmu lain, termasuk ilmu hidup pun terpraktikkan. Seperti halnya, pengelolaan keuangan, berbisnis, memasak dan lain sebagainya. Hal tersebut, juga merupakan upaya pembentukan karakter santri yang mencerminkan sikap religius.

Tak jarang kita menjumpai, bahwa pesantren menormalisasikan budaya berjalan menggunakan lutut, berhenti dan menunduk ketika berpapasan dengan kiai. Berbicara sambil menundukkan pandangan dan masih banyak hal lainnya yang mencerminkan adab santri terhadap gurunya.

Bahkan, di lingkup pesantren kita tidak asing dengan ā€santri ndhalemā€, sebutan bagi santri yang mengabdi kepada kiai. Selain mengaji, mereka juga membantu kiai dalam menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Seperti halnya, mencuci pakaian, menjadi sopir pribadi, dan membantu pekerjaan domestik lainnya dengan harapan mendapat berkah kiai.

Sedang, santri ndhalem perempuan (biasa terjuluki mbak ndhalem) mereka akan lebih berfokus pada pekerjaan domestik. Di antaranya membantu ibu nyai (istri dari kiai) untuk mengasuh anak, memasak, menyapu, mencuci dan lainnya. Lalu apakah konsep berkah itu benar demikian? Apakah tidak menimbulkan stigma feodalisme pesantren, atau bahkan patriarki?

Konsep Berkah

Surat Al-A’raf ayat 96 menjelaskan bahwa Allah akan melimpahkan berkah kepada orang-orang yang bertakwa. Kata berkah atau barokah dalam bahasa Arab tertulis “بركة”. Kata ini berarti nikmat, karunia Tuhan, atau kebaikan yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia. Sedangkan dawuh para kiai yang mengutip dari Imam Al-Ghazali, barokah berarti ziyadah (bertambah), yakni ā€bertambahnya kebaikanā€.

Baca Lainya  Pengaruh Lingkaran Teman terhadap Kesehatan Mental

Mengutip penelitian Imam Tabroni, konsep barokah memiliki makna transenden yang Allah berikan melalui perantara kiai. Responden penelitian yang tak lain santri berpendapat bahwa interpretasi barokah berimplikasi pada kehidupan sosial ketika mereka sudah boyong dari pondok. Sehingga santri memilih berkompetisi dalam mendapatkan barokah itu dengan tujuan mendapatkan kebaikan dalam kehidupannya kelak.

Sistem Relasi Patronasi

Selanjutnya, berkaitan dengan relasi santri dengan kiai apakah bisa termaknai sebagai relasi berbentuk patronasi? Istilah “patron” berasal dari bahasa Spanyol berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh. Sedangkan “klien” berarti bawahan atau orang yang mendapat perintah dan yang tersuruh.

Dalam hal ini, kiai (patron) sedangkan santri (klien), patron-klien. Namun, perlu menjadi sorotan bahwa hubungan patron di sini tidak berkaitan dengan status sosial-ekonomi. Melainkan berkaitan dengan nasab/silsilah keturunan dan juga penguasaan ilmu agama yang termiliki.

Relasi ini tentu membuat kultur baru dalam lingkup pesantren yang seolah sudah ternormalisasikan. Seperti halnya hubungan antara murid dan juga guru. Murid tidak akan pernah melawan gurunya dan akan selalu patuh pada apa yang gurunya perintahkan.

Namun, hal ini juga menjadi polemik baru, karena baru-baru ini kekerasan seksual yang terjadi di pesantren terulang kembali. Mengutip NU Online, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 sebanyak 36 persen. Atau 206 kasus terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Dengan rincian; madrasah sebanyak 16 persen atau 92 kasus dan pesantren sebanyak 20 persen atau 114 kasus.

Hal ini tentu tidak bisa dianggap remeh, mungkinkah hal ini implikasi dari sistem relasi patronasi agama, atau bahkan stigma feodalisme baru-baru ini?

Baca Lainya  Makna "Cantik" sebagai Citra Diri Perempuan

Stigma Feodalisme

Feodalisme pesantren baru-baru ini kembali mencuat dan menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, banyak poster bertebaran di media sosial terkait pro-kontra stigma feodalisme di pesantren. Sedikit menyinggung feodalisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) feodalisme merupakan sistem sosial/politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan. Sistem sosial di mana yang diagung-agungkan adalah jabatan bukan prestasi kerja. Sedangkan dalam bahasa sehari-hari yakni perilaku penguasa yang selalu ingin mendapat penghormatan.

Dalam lingkup pesantren, manifestasi dari sistem feodal di antaranya termasuk hubungan patronasi kiai dan santri. Di mana santri memiliki kedudukan lebih rendah alih-alih kiai. Hal ini juga terlihat dari adanya pembantu (baca: abdi ndhalem). Abdi ndhalem ini akan membantu kiai dalam dualismenya menjadi figur agama sekaligus sebagai manusia normal pada umunya.

Dengan adanya mbak ndhalem yang membantu pekerjaan domestik dan membantu kiai juga menimbulkan banyak polemik. Seperti halnya, ada beberapa kasus yakni mbak ndhalem yang mendapatkan kekerasan seksual yang terlakukan oleh kiai sendiri.

Rawan Diskriminasi

Jika menganalisis kembali, menjadi santri, khususnya mbak ndhalem, yang mereka semata hanya ingin mencari barokah terkadang juga dapat menjadi bumerang bagi pribadinya. Karena santri tidak memiliki power, bak kiai, baik dari segi sosial, ekonomi maupun pemahaman terhadap agama. Hal ini juga menjadi pembatas ruang gerak santri, karena mereka tidak akan pernah membantah kiai apapun itu dengan alasan takut kuwalat dan tidak mendapatkan barokah.

Padahal, ketika kiai, yang notabene, memiliki otoritas kuat ketika melakukan kesalahan seharusnya tetap salah dan tidak bisa mendapat benar. Kiai juga memiliki dosa sama seperti manusia pada umumnya. Yang membedakan lagi-lagi adalah status sosial dan penguasaan ilmu agama. Namun, perlu tersorot kembali, sangat banyak kiai melakukan penindasan terhadap mbak ndhalem dengan bungkus jubah agama.

Baca Lainya  Perempuan dalam Budaya Pesantren

Hal demikian sudah tidak heran kalal kasus kekerasan seksual, misalnya, terulang kembali kepada santrinya. Dengan demikian, sebagai seorang santri patut halnya untuk tetap asertif dan menggunakan akal dalam menyikapi ā€konsep barokahā€. Barokah bisa bisa kita dapat tanpa menyerahkan harga diri sebagai perempuan. Juga, perlu tergaris bawahi bahwa mencari barokah pada kiyai bukan hal yang salah dan sah-sah saja, tetapi juga perlu menggunakan akal dan pikirannya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *