Jika kita tahu bahwa RA Kartini adalah seorang wanita yang mengedepankan emansipasi. Pun Dewi Sartika adalah seorang tokoh pendidikan perempuan. Maka sangat tepat untuk menjuluki RA Lasminingrat sebagai perempuan intelektual pertama di Bumi Parahyangan bahkan di Indonesia. Karena pemikiran kritis dan modernnya mendahului zamannya.
Lasminingrat adalah perempuan Sunda yang sepertinya luput dari perhatian khazanah sejarah Indonesia. Padahal, tokoh ini banyak menulis inspirasinya jauh sebelum Kartini (1879) dan Dewi Sartika (1884) lahir. Nama lengkapnya Raden Ayu Lasminingrat dan nama aslinya Soehara, ia lahir pada tahun 1843 sebagai putri Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan penyair Sunda Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria.
Di era kolonialisme, pendidikan moral dan politik bagi masyarakat pribumi bukanlah hak dasar warga negara Indonesia, khususnya perempuan .Berdasarkan pemahaman akan pentingnya pendidikan, sang ayah Raden Haji Muhamad Musa mendirikan Sekolah Eropa (Bijzondere Europeesche School) dan mempekerjakan dua orang guru asal Eropa.
Di sekolah orang Eropa (Belanda) ini, bisa bersekolah dengan anak-anak setempat, laki-laki dan perempuan bercampur, ia mendapat didikan di sekolah Belanda di daerah Sumedang. Adapun guru Lasminingrat, nama gurunya adalah Konir Levisan atau Levyson Norman, yang merupakan sekretaris jenderal pemerintah Hindia Belanda, dan dia mengenal ayahnya yang melatih Lasminingrat untuk mahir menulis dan berbicara bahasa Belanda. Lasminingrat tercatat sebagai satu-satunya perempuan pribumi yang fasih berbahasa Belanda baik lisan maupun tulisan.
Membangun Pendidikan
Pada tahun 1875 ia menerbitkan uku berjudul Carita Erman, sebuah terjemahan buku berbahasa Belanda ke bahasa sunda karya dari Christoph von Schmid. Buku tersebut tercetak dalam bahasa Jawa sebanyak 6.015 eksemplar. Kemudian tercetak ulang dalam bahasa Jawa pada tahun 1911 dan bahasa Latin pada tahun 1922.
Setelah karya ini selesai, dongeng Warnasari atau Roepa-Roepa jilid pertama terbit dalam aksara Jawa pada tahun 1876. Buku ini merupakan terjemahan dari karya Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid kedua buku tersebut terbit setahun kemudian. Teiikuti beberapa kali cetak ulang dalam aksara Jawa dan Latin pada tahun 1887, 1909, dan 1912, dalam aksara Jawa dan Latin.
Pada tahun 1879, Lasminingrat mendidik anak-anak dengan membaca buku-buku berbahasa Sunda, yang berisikan tentang pendidikan moral, agama, ilmu alam, psikologi dan sosiologi. Ia menyisipkan cerita-cerita yang ia adaptasi dari bahasa asing, menyesuaikan dengan budaya Sunda, dalam bahasa yang sederhana.
Salah satu langkah nyata yang ia lakukan, pada tahun 1907, mendirikan Sakolah Kautamaan Istri di lokasi Ruang Gamelan, di Pendopo Garut pada sekitar tahun 1907. Semula hanya terbuka untuk lingkungan priyayi atau bangsawan lokal, tema-tema yang terberdayakan berupa membaca, menulis dan perempuan.
Asmara
Kemudian Lasminingrat menikah dengan Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut. Lasminingrat menghentikan aktivitas menulisnya. Ia kemudian fokus pada pendidikan perempuan Sunda. Lalu pada tahun 1911, sekolah tersebut pindah ke Jalan Ranggalawe. Tidak menyangka, pada 1911 sekolahnya sangat berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas terbangun di sebelah pendopo.
Sekolah tersebut akhirnya tersetujui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913 melalui Akta No. 12 tanggal 12 Februari 1913. Pada tahun 1934, sekolah cabang Keutamaan Istri berdiri di kota Wetan Garut, Bayongbong dan Cikajang. Pada tahun 1912 Lasminingrat membangun kembali Sakola Istri untuk kaum perempuan, tempat dan bangunan tersebut sekarang tergunakan oleh SMA Negeri 1 Garut di sisi timur alun-alun.
Pemerintah kolonial percaya bahwa jasa dan peran Lasminingrat dalam membangun pendidikan bagi penduduk setempat sangat besar, sehingga ia menerima penghargaan dan penghasilan tetap setiap bulan selama mengajar. Dengan perubahan nama dari Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut pada tahun 1913. Dua tahun setelah perubahan nama, suami Lasminingrat yaitu RAA Wiratanudatar VIII pensiun setelah menjabat sebagai bupati sejak tahun 1871. Jabatan Bupati Garut kemudian terduduki oleh RAA Suria Kartalegawa yang masih terhitung sebagai keponakannya.
Akhirnya Raden Ayu Lasmingrat pindah dari rumah dinas (pendopo) ke sebuah rumah di Regensweg (sekarang Jalan Siliwangi). Rumah besar ini sekarang menjadi department store Yogya. Lasminingrat masih aktif hingga usia 80 tahun, meskipun tidak langsung terjun ke dunia pendidikan. Pada masa pendudukan Jepang, Sakola Kautamaan Istri berganti nama menjadi Sekolah Dasar (SR) dan mulai menerima siswa laki-laki. Sejak tahun 1950, SR tersebut menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang terkelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat II Kabupaten Garut. Pada tahun 1990-an sampai sekarang berubah lagi menjadi SDN Regol VII dan X.
Lasminingrat sering mendapat sebutan tokoh intelektual perempuan pertama di Indonesia. Ada dua bidang yang ia minati, yaitu dunia kepenulisan/kepengarangan dan pendidikan perempuan. Ia sangat peduli dengan nasib perempuan, khususnya perempuan Sunda.
Pejuang Keadilan
Lasminingrat terkenal sebagai sosok yang peduli terhadap sesama. Dalam catatan sejarah, ia merupakan salah satu tokoh yang membantu Dewi Sartika dalam perjuangannya membangun sekolah perempuan pada tahun 1904. Berawal dari perjuangan Dewi Sartika meminta izin kepada Bupati Bandung RAA Martanagara untuk mendirikan sekolah. Sang bupati selalu menolak niat Dewi Sartika.
Bukan tanpa alasan, Bupati Bandung Dewi menolak permintaan Sartika, karena menurut sejarawan Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis, dalam bukunya Kehidupan Menak Priangan, ayah Dewi Sartika terasingkan ke Ternate dengan tuduhan terlibat percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung dan pejabat Belanda di Bandung. ketika dia baru berusia sembilan tahun.
Akibat kejadian itu, Bupati Bandung memandang Dewi Sartika sebagai putri musuh politiknya. Oleh karena itu, permohonan untuk mendirikan sekolah tetap mendapat penolakan. Melihat hal itu, Lasminingrat turun tangan dengan bantuan suaminya. Dia meminta suaminya menasihati Bupati Bandung agar niat Dewi Sartika membangun sekolah bisa terwujud. Usai berdiskusi dengan RAA Wiratanudatar VIII, Bupati Bandung memberikan izin kepada Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah.
Pada Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya mendirikan Sakola Istri di Bandung. Lasminingrat dan Dewi Sartika memang sering kali berhubungan layaknya seorang ibu kepada anak. Mereka terutama saling memberikan dukungan perjuangan untuk memajukan kaum perempuan. Lasminingrat mendapat karunia usia yang sangat panjang. Ia meninggal dunia pada 10 April 1948 dalam usia 105 tahun setelah sebelumnya dalam perang kemerdekaan ia mengungsi ke Waaspojok pada 1946. Ia sempat tinggal di sana beberapa lama. Hingga akhirnya ia sakit dan mengembuskan napas terakhir di tanah kelahirannya, Garut.
Akhirnya, pada Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan sekolah perempuan di Bandung. Lasminingrat dan Dewi Sartika kerap menjalin hubungan layaknya seorang ibu dengan anaknya. Mereka saling mendukung khususnya dalam memperjuangkan kemajuan perempuan. Dia meninggal pada 10 April 1948, dalam usia 105 tahun. Dalam pengusiannya masa perang kemerdekaan 1946 ia tinggal di Waaspojok selama beberapa waktu, hingga akhirnya ia jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya di tanah kelahirannya Garut, Jawa Barat.
Intelektual Sunda
Jika kita tahu bahwa RA Kartini adalah seorang wanita yang mengedepankan emansipasi dan kita kenal bahwa Dewi Sartika adalah seorang tokoh pendidikan perempuan, maka sangat tepat untuk menjuluki RA Lasminingrat sebagai perempuan intelektual pertama di Bumi Parahiyangan bahkan di Indonesia, karena pemikiran kritis dan modernnya mendahului zamannya.
Lasminingrat adalah perempuan Sunda yang sepertinya luput dari perhatian khazanah sejarah Indonesia. Padahal, tokoh ini banyak menulis inspirasinya jauh sebelum Kartini (1879) dan Dewi Sartika (1884) lahir. Nama lengkapnya Raden Ayu Lasminingrat dan nama aslinya Soehara, ia lahir pada tahun 1843 sebagai putri Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan penyair Sunda Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria.
Di era kolonialisme, pendidikan moral dan politik bagi masyarakat pribumi bukanlah hak dasar warga negara Indonesia, khususnya perempuan .Berdasarkan pemahaman akan pentingnya pendidikan, sang ayah Raden Haji Muhamad Musa mendirikan Sekolah Eropa (Bijzondere Europeesche School) dan mempekerjakan dua orang guru asal Eropa.