Akhir-akhir ini kasus kekerasan seksual kerap muncul di beberapa media sosial. Yang sangat mengejutkan adalah pada Januari lalu sempat ramai kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu TK di Pekanbaru. Salah satu influencer, Kalis Mardiasih, juga sempat mengangkat konten tentang berita ini. Menurut penjelasannya baik korban atau pelaku sama-sama menjadi korban. Setelah diusut ternyata pelaku melakukan hal tersebut karena melihat konten dari ponsel bapaknya.
Lalu mengapa hal yang mengarah papa kekerasan seksual ini bisa terjadi? Sebab pada usia anak sejatinya sudah muncul beberapa fase seksualitas. Di mulai umur dua sampai enam tahun disebut fase phallic, yakni anak mulai mengenal sensasi seksual pada kelaminnya.
Selain itu, mereka semakin sadar akan tubuhnya, menunjukan ketertarikan pada alat kelaminnya sendiri sehingga melakukan aktivitas memainkan atau menggesek-gesekannya. Ini merupakan hal normal dan bukan sebuah ungkapan hasrat seksual. Pada fase ini juga mereka sudah bisa membedakan antara lawan jenis serta memiliki ketertarikan.
Pendidikan Seks
Idealnya pada fase tersebut orang tua atau pendidik harus mampu mengedukasi anaknya tentang seks. Seperti fungsi alat kelamin, pengenalan anatomi tubuh, hal mana saja yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain. Serta mengajarkan rasa malu untuk tidak sembarang membuka baju atau kencing di ruang publik, di pinggir jalan bagi laki-laki misalnya.
Sex education inilah yang menurut hemat penulis kalangaan masyarakat belum bisa mentransformasikan secara luas. Sebab anggapan tabu atau “saru” masih melekat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seksual. Namun, jika kesadaran tak lekas teratasi anak akan mendapat, melakukan, atau bahkan mengalami kekerasan seksual. Itu terjadi karena pengetahuan yang mereka terima salah. Sebagai contoh kasus di atas memperoleh pengetahuan seksual sendiri dari video yang tidak senonoh.
Jika melihat data kasus kekerasan seksual dari Komnas Perempuan selama tahun 2015-2021 ada 67 kasus aduan kekerasan seksual di dunia pendidikan. Data menerangkan persentase level universitas menduduki urutan kasus tertinggi yaitu 35%, SMA 15% , SMP 7%, dan 3% kasus. Cukup miris mengingat lembaga pendidikan layaknya sebagai wadah pencetak manusia terdidik namun nyatanya tidak 100% menjadi tempat yang aman dari ancaman kekerasan seksual.
Lalu bagaimana jalan keluar untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dalam dunia pendidikan? Jawabannya ialah menerapkan dengan aktif dan masif kurikulum perspektif gender dalam tiap lembaga pendidikan. Sebab, pengalaman penulis sendiri selama mengenyam pendidikan pengajaran isu ini tidak pernah ada, pencegahan kekerasan seksual, serta pengertian lainnya mengenai membangun kesadaran kesetaraan tanpa diskriminasi. Itulah mengapa kasus bullying bahkan kekerasan seksual masih marak di dunia sekolah.
Wajah Kurikulum
Beberapa waktu lalu penulis pernah melakukan pengamatan terkait apakah kurikulum yang berlaku sekarang, kurikulum merdeka, sudah cukup berkeadilan gender? Nyatanya dalam panduan penilaian rapor nasional pendidikan instrumen-instrumen tentang pendidikan kesetaraan gender ini sudah ada dan tertulis secara eksplisit salah satunya tentang asesmen Iklim Kesetaraan Gender.
Di mana sekolah harus mampu membangun lingkungan yang setara dan berkeadilan tanpa adanya kekerasan atau diskriminasi. Selain itu dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan tentang keragaman gender dan kebinekaan Indonesia pada bab 4 kelas 7 atau kelas 1 SLTP semester 2, di situ pendidik harus memiliki indikator pencapaian memahamkan siswa tentang bab tersebut.
Namun setelah penulis amati dari beberapa materi keragaman gender dan kebinekaan Indonesia di beberapa akun YouTube milik guru esensi pemberian materi belum mampu sampai memberikan pemahaman tentang keadilan keberagaman gender yang sebagaimana mestinya. Maka menurut hemat penulis kurikulum merdeka perlu memiliki panduan khusus tentang pengajaran keadilan gender yang merujuk dari beberapa tokoh.
Pendapat Pakar
Sebagai contoh keadilan gender perspektif Mansour Fakih, Gus Dur, Musdah Mulia atau tokoh lainnya. Kenapa penulis menyarankan hal tersebut, sebab materi dalam mapel PKN tentang bab keragaman gender dan kebinekaan Indonesia belum bisa mewakili untuk membangun kesadaran keadilan gender yang seutuhnya.
Ketika kembali membahas dasar pemahaman tentang kurikulum, adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pembelajaran serta penggunaan cara sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum mencakup berbagai aspek, termasuk tujuan pendidikan, materi pembelajaran, metode pengajaran, penilaian, dan evaluasi.
Kurikulum juga dapat mencakup aspek-aspek lain seperti pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Oleh karena itu, guna mencapai lembaga pendidikan yang ramah pada semua siswa apapun itu jenis kelaminnya mesti memiliki keberpihakan pada asas keadilan dan kesetaraan gender.
Pengajaran keadilan gender membangun kesadaran untuk memberikan opsi pengetahuan tersebut bisa ditransformasikan melalui kegiatan siswa di luar jam belajar. Sebagai contoh, memberikan sosialisasi tentang pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual melalui kegiatan rohani Islam (rohis) saat para siswa melakukan salat Jumat.
Misalnya pengurus OSIS menjalin kerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tiap wilayah masing-masing atau kegiatan gender camp. Pemberian pendidikan seks usia dini mengenalkan anatomi tubuh, mengenalkan bagian-bagian sensitif, dan bagaimana menjaganya untuk level PAUD dan TK merupakan ikhtiar dalam membangun instansi pendidikan yang aman, ramah, serta berkeadilan gender.