Banyak referensi karya bertema feminis yang sebenarnya cukup menarik untuk dibahas guna menjadi asupan intelektual. Namun, kali ini penulis akan mengulas buku berjudul Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan (2020). Buku tersebut cukup menarik sebagai bagian dari khazanah kajian para intelektual di bidang feminisme termasuk menjadi bacaan wajib para feminis dalam berbagai sektor.
Sepanjang perjalanan membaca buku ini, sepanjang itu pula penulis ikut merenungi, merasakan, apa yang penulis tulis dalam buku ini.
Nampaknya, buku ini memiliki magnet yang mampu membuat pembaca terus menerus membuka lembarannya detik demi detik. Seakan-akan, kita selalu memfokuskan pandangan ke luar diri hingga terperangkap dalam harapan tidak terdefinisi dari masyarakat yang bersifat patriarki.
Bahkan dengan sadar, kita sering kali mengikuti dan mendukung budaya tersebut. Namun ironisnya hal ini membuat kita lupa dan enggan menyelami kedalaman dalam diri kita sendiri.
Buku ini terdiri dari tiga bab dengan masing-masing membawa tema yang unik. Setiap goresan tinta penulis mempersembahkan pengalaman dan wawasan yang berbeda, membentuk kisah yang kaya dan berlapis-lapis.
Ester Lianawati mencoba meyakinkan perempuan dengan berbagai bukti dan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahwa budaya patriarki yang tumbuh subur di masyarakat ini merupakan hasil proses panjang yang selama berabad-abad menjadikan perempuan sebagai pihak subordinat yang dirugikan.
Bahkan, saat penulis tinggal di Prancis sejak 2012 dan menjadi peneliti di Hypatia, Pusat Kajian Psikologi dan Feminisme di Prancis, semakin banyak ditemukan kasus dan peristiwa pahit saat dunia hari ini menjadikan kesetaraan gender sebagai program berkelanjutan dunia.
Teori Psikolog
Bab pertama membahas secara mendalam tentang beberapa teori seorang psikolog cukup popular di kalangan mahasiswa. Sebut saja Sigmund Freud, Erikson, Carl Jung, dan sebagainya. Pembahasan mendalam ini melibatkan banyak unsur, termasuk latar belakang penelitian, subjek yang diteliti, hasil penelitian hingga mazhab yang dianut oleh para psikolog tersebut.
Menariknya, setelah teori A muncul, Ester menjelaskan secara rinci bahwa ada bantahan teori dari peneliti lain yang melahirkan teori B. Sehingga, pada akhirnya kita tidak terkungkung pada teori usang yang sudah dibantahkan bahwa teori tersebut sudah tidak relevan akhir-akhir ini.
Contoh yang menarik adalah teori “Penis Envy” cetusan Sigmund Freud. Teori ini tercetus dalam Three Essays on The Theory of Sexuality yakni seksualitas manusia berkembang dari sejak ia lahir. Penis Envy adalah kecemburuan terhadap penis oleh perempuan kepada laki-laki.
Sejak menyusui, laki-laki dan perempuan belum bisa mencerna perasaan cemburu satu terhadap yang lain, karena laki-laki dan perempuan sama sama merasa terkucilkan oleh orang tuanya. Namun setelah beranjak dewasa, perempuan menyadari bahwa vagina yang ia miliki tidak tumbuh menjadi penis, dan dari sinilah kecemburuan terhadap kepemilikan penis itu muncul. Penis menjadi simbol aktivitas positif yang tidak bisa teraih oleh perempuan. Perempuan hanyalah makhluk lemah yang tunduk pada hukum ayah.
Laufer dan Young-Breuhl berpendapat bahwa Freud membuat seolah-olah perempuan adalah anak laki-laki yang tidak sempurna. Sama halnya, Laufer juga mengatakan bahwa saat membahas teori psikoanalisis, agaknya setiap pembaca dan peneliti harus benar-benar mengetahui latar belakang dan setiap unsur yang meliputi psikolog tersebut agar terjadi dialektika yang baik karena memang per hari ini, teori Freud tidak relevan, satu satunya alasan yang masuk akal mengapa penis envy popular pada zaman itu adalah karena kondisi masyarakatnya demikian. Dan faktanya, kondisi masyarakat akan terus berubah menyesuaikan perkembangan zaman. Pun untuk teori psikoanalisis itu sendiri.
Ejawantah Realita
Bab II ini, Ester lebih banyak membenturkan realita yang terjadi di lapangan (budaya patriarki) dengan tindakan perempuan. Sebut saja urusan kecantikan, stigmatisasi dan stereotipe, bahkan dengan kemunculan istilah perempuan “penyihir”.
Bab ini menjadi sangat hidup, karena Ester mencantumkan beberapa gerakan perempuan di seluruh dunia, terutama negara-negara Global South. Tulisan dalam resensi ini saja tak cukup menjelaska seberapa banyak stereotipe dan ketidakadilan yang teralami perempuan. Namun Ester berhasil membawa narasi ketidakadilan itu menjadi narasi yang mendorong perempuan untuk bertindak lebih berani, contohnya dengan menanamkan sifat seperti serigala betina.
Louve sebutannya dalam Bahasa Prancis yang berarti Serigala Betina. Panggilan sayang dalam bentuk nama Binatang ini sangat awam di kalangan masyarakat Prancis, namun pemilihan Serigala sebagai bentuk panggilannya adalah sesuatu yang unik. Serigala betina selama ini mengarah pada binatang buas. Padahal pada faktanya, Serigala betina adalah binatang penyayang dan pelindung. Ia mencurahkan kasih sayang penuh kepada anak-anaknya dan tidak membiarkan siapapun melukai mereka.
Ester mendorong setiap perempuan untuk mulai menumbuhkan sifat liar. Liar di sini berarti berani menjadi berbeda dan tidak takut menerima penolakan sosial hanya karena memilih arus yang berbeda dengan masyarakat yang patriarki. Sifat ini seperti halnya Serigala Betina, penuh dengan kehangatan, kelembutan, namun menjadi beringas tatkala ada pihak yang mengganggu berbagai prinsipnya. Menumbuhkan sikap liar tersebut, tentunya butuh proses yang tidak sebentar, karena perempuan tidak terbiasa menilik dan bertanya tentang keinginan mereka.
Kekerasan Seksual
Bab III, sampailah pada penghujung bab dengan tema “kekerasan seksual”. Bab yang menurut penulis paling emosional, karena banyak perempuan di luar sana yang tidak mendapat keadilan yang diinginkan saat berbenturan dengan hukum positif yang negara ini anut. Kekerasan menjadi topik yang paling sentimental, buat para perempuan, korban serta penyintas. Kasus kekerasan seksual tidak bisa tersembuhkan hanya dengan menghukum pelaku dengan penjara atau denda. Namun, trauma yang teralami korban bisa lebih lama daripada proses penghukuman kepada pelaku tersebut.
Tagar #balancetonporc yang berasal dari Bahasa Prancis memiliki makna lemparan/buang/bebaskan dirimu dari babimu. Konotasi babi ini mengacu pada seseorang yang kotor berdasarkan penampilan fisik, sikap, perilaku, moral, intelektual dan mental yang menimbulkan kejijikan. Maka, para pelaku kekerasan seksual, lumrah jika dipanggil dengan sebutan babi.
Maka, setiap peristiwa yang tertulis dalam buku ini kiranya dapat membuat siapapun dari kita merasa tergerak. Tergerak untuk berbenah, tergerak untuk menjadi lebih berani, tergerak untuk melakukan perlawanan, dan tergerak untuk melindungi kawan perempuan kita yang rentan. Hadirnya buku ini, selain menambah ilmu pengetahuan, juga sebagai rujukan bahwa ketidakadilan belum sepenuhnya perempuan dapatkan. Maka, perjuangan tidak seharusnya terhentikan. Lanjutkan!
Penulis : Ester Lianawati Penerbit : Buku Mojok Group Cetakan : 12, Oktober 2022 Tebal : xii + 292 halaman ISBN : 978-623-94979-0-3