Keumalahayati: Prajurit Perempuan Aceh

Indonesia adalah negara kepulauan dengan laut yang sangat luas, menjadikannya negara maritim. Kegiatan kemaritiman telah mendukung kehidupan masyarakatnya sejak zaman dulu. Seperti halnya Malaka sebagai jalur perdagangan rempah yang masyur pada berabad-abad silam. Membahas maritim, tak lengkap jika tidak membicarakan angkatan laut yang menjadi basis keamanan negara. Angkatan laut biasanya dipimpin oleh seorang laksamana atau admiral. Admiral lekat dengan cerita-cerita heroik dalam sejarah dan sastra. 

Admiral tak ubahnya seperti pahlawan yang mampu menghadapi tantangan besar dan mengatasi situasi yang tampaknya mustahil. Kisah-kisah mereka sering kali terabadikan dalam buku, film, dan acara televisi, yang menggambarkan bagaimana mereka memimpin dengan keberanian dan kecerdikan. Misalnya, admiral masyhur dalam serial animasi bertajuk One Piece. Di dalamnya ada karakter-karakter berpengaruh seperti Aokiji (Kura-kura Biru), Akainu (Anjing Merah), dan Kizaru (Monyet Kuning). 

Jabatan admiral lazimnya terpegang oleh seorang laki-laki, namun bagaimana jika perempuan menjadi admiral? Agaknya kita selama ini menganggap bahwa perempuan hanya sebatas mengurus dapur, kasur, dan sumur. Dalam arti lain, tidak memiliki kedudukan seperti halnya laki-laki. Padahal perempuan berperan penting dalam pelbagai aspek, ikut andil dalam sejarah Nusantara, serta terlibat dalam politik, sosial, akademisi, bahkan kemiliteran. Untuk lebih memahami hal ini, perlu kita telusuri sejarah Nusantara, terutama di wilayah baratnya.

Konflik Panjang

Pada abad XV hingga XVII, wilayah barat Nusantara mendapati landaan konflik berkepanjangan antara Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Johor, dan Portugis, yang bersaing memperebutkan kendali atas Malaka, pelabuhan penting dalam perdagangan internasional. Hingga pada abad XVII, Aceh muncul sebagai kekuatan utama di wilayah tersebut di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Keberhasilan Aceh terletak pada kekuatan militernya yang luar biasa. Armada laut mereka terdiri dari kapal-kapal besar yang mampu mengangkut 600 hingga 800 prajurit. Pasukan kavaleri mereka terlengkapi kuda-kuda Persia, satuan gajah perang, artileri yang banyak, serta pasukan infanteri yang tangguh. (Ricklefs, 2008: 84). 

Baca Lainya  Opu Daeng Risadju: Sang Renta Ksatria Politik

Di balik pencapaian gemilang itu, terselip jejak kehadiran perempuan dengan keanggunan dan ketangguhannya. Sejarah Aceh mencatat sekitar abad ke XV hidup seorang wanita perkasa yang gagah berani melawan kolonialisme. Perempuan tersebut bernama Keumalahayati.

Keumalahayati akrab dengan sebutan Laksamana Malahayati, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah maritim Indonesia, khususnya Aceh.Sebagai seorang perempuan yang berhasil mencapai pangkat tinggi dalam militer yakni Laksamana (admiral). Bahkan menurut catatan-catatan sejarah ia merupakan Laksamana wanita pertama di dunia. Malahayati menjadi simbol keberanian, kepemimpinan, dan semangat juang perempuan Aceh dalam melawan penjajahan asing.

Keumalahayati merupakan puteri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Muhammad Said Syah, yang merupakan putera dari Salahudin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1530-1539, juga merupakan seorang Laksamana yang gagah dan berani. Sultan Salahudin Syah adalah anak dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), yang mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam. Dengan silsilah tersebut, maka tak heran jika Malahayati mewarisi darah bangsawan dan darah pelaut yang hebat (Atmosiswantoputra,2018: 45). 

Menempuh Pendidikan

Menginjak usia remaja Malahayati mengikuti pendidikan militer di Mahad Baitul Makdis di Kerajaan Aceh Darussalam, sebuah Akademi Militer yang terdiri dari angkatan darat dan laut. Rupanya ia terinspirasi oleh sang ayah dan ingin mengikuti jejaknya sebagai seorang pemimpin armada laut. Sehingga seusai menyelesaikan pendidikan agama di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, Ia melanjutkan pendidikannya di akademi militer Mahad Baitul Makdis dan mengambil jurusan angkatan laut.

Malahayati merupakan gadis yang cerdik dan tangkas sehingga ia pun bisa menjadi siswa di akademi militer tersebut. Seusai pendidikannya rampung, pada rentang tahun 1585 hingga 1604, ia menjabat sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana, Panglima Rahasia, serta Panglima Protokol Pemerintah di bawah pemerintahan Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Baca Lainya  Personal Branding ala Susi Pudjiastuti

Syaifudin (2012) menceritakan pada waktu Sultan Alaidin Riayat Syah AL Mukamil (Kakek dari Sultan Iskandar Muda) memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589-1604) terjadilah pertempuran sengit di Teluk Aru, antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis. Akibat pertempuran ini, armada Portugis berhasil hancur, namun sekitar 1000 prajurit dan dua laksamana Aceh gugur. Salah satu laksamana yang gugur tersebut adalah suami dari Malahayati. Suaminya yang gugur, membuat Malahayati geram dan meminta kepada sultan untuk membentuk sebuah armada yang prajuritnya terdiri dari janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran di Teluk Aru. 

Permintaan tersebut akhinya terkabulkan oleh sultan dan Malahayati memimpin pasukan yang mendapat pemberian nama Inong Balee (Armada Wanita Janda) yang terdiri dari 2.000 pajurit wanita. Armada ini terbentuk setelah suaminya, Laksamana Zainal Abidin yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis. Dengan keberanian dan kecerdikannya, Malahayati berhasil tampil memimpin pasukan Inong Balee dalam berbagai pertempuran melawan penjajah, terutama Portugis dan Belanda.

Sosok Inspiratif

Membaca buku berjudul “De Atjeh Oorlog 1873-1890” garapan Juftazani (2020), kita akan memahami Malahayati sebagai seorang jenderal militer laut yang menginspirasi kebangkitan perempuan Aceh. Malahayati menjadi penguasa laut yang sangat kuat dan tersegani oleh teman maupun musuh di seluruh laut Andaman (India Selatan), laut Aceh, Selat Malaka, hingga pantai barat Sumatera. Keumalahayati berhasil mengalahkan kekuatan Portugis dan Spanyol di seluruh perairan Aceh. 

Salah satu prestasi terbesarnya adalah ketika ia berhasil mengalahkan Cornelis de Houtman, seorang penjelajah Belanda, dalam sebuah pertempuran laut pada 21 Juli 1599. Saat itu Cornelis de Houtman dan Fedrick de Houtman belabuh di Aceh kemudian Malahayati menyerang ke dua kapal mereka, hingga berhasil membunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya serta menawan Fedrick de Houtman.

Baca Lainya  Nur Rofiah: Pegiat Dakwah Keadilan Gender Islam

Kemenangan ini tidak hanya memperkuat posisi Aceh sebagai kekuatan maritim, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara. Malahayati dapat menginspirasi dan membuktikan bahwa perempuan mampu meraih prestasi besar dalam bidang yang mungkin sebelumnya teranggap hanya untuk laki-laki. Keberadaannya memberikan contoh yang membangkitkan semangat dan mengubah pandangan tentang peran gender dalam sejarah dan masyarakat. 

Pada episode-episode sejarah setelahnya, Aceh banyak melahirkan perempuan-perempuan pejuang yang hebat, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Meurah Intan, dan sebagainya yang gigih melawan kolonialisme di Nusantara. Malahayati patut menjadi lakon inspiratif bagi puan-puan modern ketimbang mengidolakan K-POP dan Drakor yang faktanya telah banyak menggerus budaya Nusantara.

Malahayati makamnya berada di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Sebagai penghormatan, namanya terabadikan dalam kapal perang Indonesia yakni KRI Malahayati dan di berbagai tempat seperti jalan, rumah sakit, kampus dan lainnya. Ia resmi mendapat gelar Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 pada tanggal 6 November 2017.

One thought on “Keumalahayati: Prajurit Perempuan Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *