Sumber Gambar: tribunnews.com
Ahsa menghirup napas dalam-dalam, memandangi suasana kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu neon berkilau terang di tengah malam, membawa suasana yang sama sekali berbeda dari desanya yang sunyi. Ia berangkat ke negeri ini dengan tekad dan iman kuat, siap menimba ilmu dan membawa pulang ilmu terbaik, walau ia tahu ujian besar menantinya di negara yang penuh kebebasan dan tantangan.
Namun, seiring berjalannya waktu, cobaan demi cobaan datang. Lingkungan sekitarnya penuh pergaulan yang bebas, seks bebas, narkoba hampir ada di mana saja. Ia berusaha keras menjaga jarak, berpegang teguh pada nilai-nilai yang telah gurunya ajarkan. Ahsa sering melewati hari-hari penuh kesendirian, berdoa agar Allah memberinya kekuatan. Tapi, makin lama tekanan itu makin kuat.
Suatu hari, sebut saja Ben, teman sekampus yang ia kenall sejak awal masuk kuliah, mengajak Ahsa ikut pesta malam itu.
“Ayolah, Ahsa,” ujar Ben sambil tertawa kecil. “Kamu harus menikmati hidup ini! Lagipula, apa salahnya mencoba sedikit kesenangan?”
Ahsa menggeleng halus, senyumnya sedikit kaku. “Aku tidak bisa, Ben. Kamu sendiri kan tahu prinsipku.”
“Namun Ben tak mau menyerah. Di setiap kesempatan, ia terus mendorong Ahsa untuk ikut menikmati ‘kesenangan’ yang menurutnya wajar. Perlahan-lahan, Ahsa mulai merasa lelah, tetapi ia tetap berusaha kuat.”
Hingga pada suatu malam, Ben dan teman-temannya kembali mengajak Ahsa, Ben bilang dia hendak belajar dan menanyakan suatu persoalan yang sukar terjawab. Karena itulah, Ahsa mempercayainya. Kali ini dengan desakan lebih. Tetapi entah bagaimana Ben dan teman-temannya mulai mengepungnya dengan minuman dan obat-obatan.
“Coba saja sekali, Ahsa. Tak akan terjadi apa-apa,” bisik Ben sambil menyodorkan segelas minuman.
Ahsa menolak, tapi kali ini temannya mendesak kuat. Saat Ahsa mencoba bangkit untuk pergi, ia merasa pusing, kepalanya berputar. Perlahan ia mulai kehilangan kesadarannya.
Keesokan harinya, Ahsa terbangun di kamar rumah sakit. Di sampingnya, Azril duduk menggenggam tangan Ahsa dan berdoa agar dia cepat sadar.
“Alhamdulillah kamu sadar, Ahsa. Aku cemas sekali semalam,” ucap Azril.
Ahsa merasa lelah, bukan hanya fisik, tapi juga batinnya. Kepalanya penuh rasa malu dan kecewa pada pribadinya sendiri. Sesaat, ia teringat semua perjuangannya dan seluruh doanya. Namun kali ini, ia merasa telah jatuh terlalu dalam.
“Azril, aku merasa tidak pantas lagi. Aku sudah gagal. Rasanya… aku ingin Allah segera mengambilku” kata Ahsa dengan suara lirih, air mata mengalir di pipinya.
Namun Azril menggeleng, “Jangan berpikir begitu, Ahsa. Ini ujian, kamu masih punya kesempatan untuk bangkit dan bertaubat, lagian inikan bukan salah kamu.”
Beberapa hari kemudian, Ahsa kembali ke kampus, namun hatinya masih rapuh. Ketika ia berjalan di koridor, ia berpapasan dengan Prof. John, dosennya yang selama ini tegas nan bijak. Sang Profesor menatapnya dengan pandangan penuh arti dan kemudian memintanya untuk berbicara di ruangannya.
“Aku tahu kamu mengalami kesulitan, Ahsa,” ujar Prof. John dengan nada lembut yang mengejutkan Ahsa.
“Bagaimana Anda tahu, Profesor?” tanyanya heran.
Prof. John tersenyum, “Aku sudah lama memperhatikanmu, Ahsa. Keteguhanmu, kesungguhanmu dalam beribadah, itu semua menginspirasiku. Kau tahu, selama ini aku merasa ada kekosongan dalam hidupku. Melihat tekadmu, aku mulai mencari, membaca tentang Islam. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk masuk Islam.”
Ahsa terdiam, hatinya bergetar mendengar pengakuan sang profesor.
“Kau adalah salah satu alasan aku menemukan jalan ini. Dan percayalah, Ahsa, aku pun harus berjuang melawan godaan dan tekanan. Tetapi ketahuilah, ujian adalah jalan untuk menguji iman mendekatkan diri pada Tuhan. Jangan pernah berpikir untuk menyerah,” lanjut Prof. John dengan penuh kesungguhan.
“Kata-kata itu meresap ke dalam hati Ahsa, mengalirkan kekuatan yang baru. Ia menyadari bahwa Allah memberikan ujian bukan untuk menghancurkannya, tetapi untuk menguatkan iman pribadinya. Di saat dia merasa paling lemah, ternyata ada orang lain yang terinspirasi oleh keteguhan hatinya.”
Sejak saat itu, Ahsa tak lagi merasa sendiri. Bersama Azril dan Prof. John, ia belajar untuk bangkit kembali. Walau godaan dan tantangan masih ada, Ahsa tetap berpegang pada iman yang terkuatkan oleh doa dan dukungan sahabat. Kini, ia mengerti bahwa setiap cobaan adalah bagian dari perjalanan menuju cinta Allah, dan tak ada perjuangan yang sia-sia.