Idulfitri: perempuan “diistimewakan” dengan tidak mau meminta maaf karena merasa tidak punya salah.
Iduladha: perempuan kembali “diistimewakan” dengan tidak mau berkurban.
Dua kalimat di atas yang hingga sekarang masih tetap popular di kalangan laki-laki yang kerap menjadikan senjata, jargon, sindiran, dan meme yang penuh ironi bagi perempuan. Seolah perempuan tidak akan melakukan dua hal tersebut, tertambah momen Iduladha pascapelaksanaan kurban. Sindiran dan meme tersebut kembali ke permukaan seperti mengingatkan bahwa hewan kurban saja lebih banyak jantan alih-alih betina.
Padahal bila menilik ke hukum berkurban, adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu untuk melakukan kurban. Bahkan mendapat anjuran bagi mereka yang telah mampu untuk menyembelih kambing, kerbau, sapi, atau unta (bila ada). Pemilihan hewan kurban pun tidak sebatas terukur dari jenisnya, jantan maupun betina, sebab sejatinya semua orang hanya menginginkan untuk dapat melaksanakan keutamaan Iduladha, yaitu berkurban.
Rujukan Memilah
Sejalan dengan Imam An-Nawawi dalam kitab karanganya Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzzab menjelaskan bahwa jenis kelamin hewan kurban teranalogikan dengan hadis yang menjelaskan kebolehan untuk memilih jenis kelamin jantan maupun betina untuk akikah.
“Dan diperbolehkan dalam berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Sebagaimana mengacu pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kuraz dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersabda “(aqiqah) untuk anak laki-laki adalah dua kambing dan untuk perempuan satu kambing. Baik berjenis kelamin jantan atau betina, tidak masalah.” (An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut: Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392)
Dalam konteks ini, pemilihan hewan kurban tidak hanya fokus dan khusus hewan jantan saja, tetapi betina juga boleh. Oleh karena itu, tidak ada keutamaan dalam memilih jenis kelamin untuk hewan kurban, baik jantan maupun betina, tidak ada yang lebih utama. Karena yang paling penting adalah kesesuaian hewan-hewan sesuai syarat-syarat sahnya hewan kurban.
Beberapa faktor yang menjadikan hewan betina tidak terpilih karena hewan ruminansia atau hewan produktif. Produktif termaknai sebagai penghasil susu dan anak, terlebih khawatirkan apabila hewan betina sedang mengandung dan menyusui maka tidak boleh menjadi hewan kurban karena tidak memenuhi syarat.
Melansir dari detik.com bahwa daging hewan jantan lebih enak dari daging betina, sedangkan daging betina lebih lembab. Namun dengan begitu, para ulama meng-qiyas-kan kasus jenis kelamin hewan kurban sama halnya dengan hewan untuk aqiqah, tidak pandang jenis kelamin, jantan maupun betina,
Kalimat Menyinggung
Kalimat-kalimat satire mengenai hewan kurban dan perempuan juga meramaikan perbincangan media sosial. Seperti meme yang tergambar pada akun Facebook milik Munawir Hatim yang menuliskan, “Kenapa hewan kurban selalu jantan? Karena kalo betina jangankan berkurban, salah aja tetep harus benar”. Atau di aplikasi CapCut milik Nurfa.Diary (AM) yang membuat video dengan tulisan yang sama berupa “Tau ga kenapa hewan qurban itu jantan? Ya, kalau betina jangan berQurban disalahin aja GA MAU.”
Meninjau kembali ulasan di atas, sajian pernyataan terlampau gamblang dalam memojokkan dan mendiskriminasi perempuan. Bahasan mengenai pemilihan hewan kurban jantan tidak lantas kemudian laki-laki meramu fenomena tersebut menjadi sebuah stigma yang tersamakan bahwa perempuan layaknya hewan betina yang tidak akan pernah ingin berkorban atau menjadi korban. Apalagi mengingat banyaknya berjenis jantan yang mendominasi hewan kurban.
Artinya, fenomena hewan kurban saja sudah menciptakan konstruksi tersendiri bagi kaum laki-laki. Pelestarian patriarki masih terpegang erat bahwa perempuan hanya bisa menuntut, tidak mau bekerja, tidak melakukan apapun, apalagi berkorban. Sehingga dengan hadirnya momen semacam itu, kaum laki-laki berbondong menyalahkan dan menyindir kaum perempuan, seolah perasaan itu terwakilkan.
Figur Kisah
Padahal, bila kita mau menengok sejarah “sebelum” penyembelihan Ismail, dua perempuan Siti Sarah dengan keluhuran hatinya yang bersedia dipoligami. Sedang Siti Hajar yang penuh keikhlasan merelakan Nabi Ibrahim menyembelih Ismail secara gamblang telah menunjukkan bukti pengorbanan para perempuan. Lebih lagi, berkat pengorbanan tersebut, hasilnya bisa kita nikmati sampai saat ini.
Perihal berkurban, semua muslim yang telah mampu hukumnya wajib baik laki-laki maupun perempuan. Namun, pernyataan atas perempuan yang tidak mau berkoban merupakan wujud konstruksi sosial atas realitas yang terbentuk dari proses sosial melalui tindakan dan interaksi. Di mana individu atau sekelompok individu khususnya kaum laki-laki, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang mereka miliki dan alami bersama secara subjektif. Sehingga, akan terus memandang bahwa perempuan hanyalah manusia lemah, tidak memiliki apa-apa untuk dikorbankan apalagi sekadar berkorban.