Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Gunung menyediakan segudang sumber daya alam melimpah; air bersih dan bahan makanan. Kala hujan mengguyur, tanahnya menyerap air menampung banyak cadangan mata air. Bahan makanan pun tak kalah absen dari penghadiran gunung. Gunung menyedia makanan untuk semua makhluk hidup. Untuk manusia, pun hewan.
Kehidupan masyarakat di lereng gunung senyatanya amat makmur. Air seyakinnya tercukupi, begitupun dengan makanan. Tetumbuhan yang hidup di sana bisa tersulap menjadi hidangan. Atau, bisa pula menukarnya dengan sekian lembar uang. Uangnya untuk membeli kebutuhan pangan lain.
Segala yang tumbuh di sana pun bisa termanfaatkan sebagai pakan ternak. Dedaunan, rerumputan. Ternak bisa menghasil susu dan daging. Dari sana, masyarakat kembali mendapat peruntungan ekonomi. Sebuah siklus amat sederhana antara alam dan manusia.
Pada sisi berbeda, sekian gunung meruang sebagai wisata. Orang datang mencari ketenangan. Wisatawan mendatangan baris rezeki bagi masyarakat sekitar. Mereka biasa menawarkan jasa, menjual kebutuhan, dan menyewakan penginapan. Gunung di sana-sini jelas-jelas memakmurkan umat manusia yang hidup di telatahnya.
Lelaku di Lereng Merapi
Pada suatu pagi, kala mentari baru saja merangkak naik sekira 30 derajat, saya dan beberapa teman tiba di Kalitalang, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah. Faktanya, Kalitalang menjadi desa ujung yang berjarak kira-kira lima kilometer dari puncak Gunung Merapi. Sekian penduduk gegas bermotor membarengi kami menanjak di jalur pendakian. Di belakangnya terikat sebilah parang dan karung.
Kami terus bejalan, bertemu satu persatu pemotor itu. Mereka rupanya tengah merumput. Saya tak heran, di perjalanan menuju pos awal pendakian, beberapa kendang sapi terjumpai. Rumput-rumput itu mereka cari untuk memenuhi rasa lapar ternak-ternak mereka. Dua orang perempuan tengah mengangkat sebuah karung besar berisi rumput ke motor.
Di jalur pendakian, sesekali saya memotret para perumput lelaki dan perempuan yang turun. Tatapan fokus melihat medan curam. Mereka amat was-was membawa segunduk rumput tertali di belakang motornya. Kami, para wisatawan, tentu mengalah jika mesti berpepasan dengan perumput. Bagi kami, itu sebaris tata krama terhadap warga setempat.
Aktivitas tersebut, kiranya mirip dengan apa yang pernah saya saksikan di Kaliadem, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta. Namun, latarnya masih sama, di bawah lereng Gunung Merapi. Di Cangkringan, saya mendapati segerombol ibu-ibu menggenggam parang sembari mencangkong keranjang. ereka juga para pencari rumput.
Para ibu perumput di Cangkringan berjalan kaki menuju padang ilalang. Sebagian ada pula yang berbeda arah jalan. Mereka hanya berbekal seutas stagen untuk membawa kayu bakar hasil buruannya dari hutan. Segerombol berbeda membawa palu, sekop, dan cangkul. Rupanya mereka bakal menambang pasir Merapi.
Peran Produktif
Bagi saya, perempuan-perempuan di lereng Merapi bukan saja memiliki peran reproduktif melain juga produktif. Mereka pun bekerja keras mencari nafkah bagi keluarganya, atau sekadar membantu celah keterbatasan lelaki, sang suami. Merumput, mencari kayu bakar, berladang, mean menambang menjadi hal wajib bagi kelangsungan hidup mereka.
Manakala mencari perempuan berkarakter yang selama ini tersangkakan budaya patriarki—seperti lemah-lembut, lamban, tak inisiatif, dsb—kiranya sulit tertemukan di sini. Mereka bukan saja mandiri dan tangguh, tapi memanggul tanggung jawab keluarga bersama suaminya.
Belum selesai, usai melangsungkan kerja-kerja itu, mereka (para perempuan) juga menuntaskan pekerjaan di rumah. Walau masih bias, apakah pekerjaan rumah ini tanggung jawab bersama atau hanya membebankan perempuan, tapi pembagian itu saya yakin tak lepas dari kesepakatan bersama.
Memasak, mengurus anak, atau membuka warung (bagi yang punya) adalah lanjutan dari kerja-kerja para perempuan di lereng Merapi. Sementara, kerja-kerja tersebut sebenarnya tak menjanjikan apa-apa selain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka senyatanya tekah menerapkan konsep hidup berkecukupan sesuai kebutuhan, bukan melulu mengegokan keinginan.Â
Hidup bersandingan dengan alam tak membikin mereka serakah. Mengambil apa-apa yang alam sediakan dengan sewajarnya. Tak merusak alam, sama berarti dengan turut menjaganya. Dengan demikian, mereka sejatinya masih mendapat harapan akan penghidupan keturunan-keturunannya. Mengambil secukupnya. Menjadi manusia yang mandiri. Adalah tak lain pelajaran yang alam semesta (gunung) berikan pada mereka para perempuan.