Baru-baru ini kita heboh dengan pemberitaan pemerkosaan (kekerasan seksual) yang bocah SD lakukan kepada anak TK berusia 6 tahun. Bukankah ini menjadi peritiwa miris? Lagi-lagi edukasi seks menjadi hal penting untuk diterapkan di dalam pendidikan anak sejak dini.
Bagi kebanyakan orang, seksualitas adalah hal tabu untuk diajarkan kepada anak. Selayaknya orang tua yang menaruh rasa khawatir kepada anak agar selalu menjaga tubuhnya untuk tidak berhubungan langsung dengan lawan jenis. Namun secara edukasi anak belum memahami secara rinci apa yang menjadi privasi dalam pribadinya untuk selalu terjaga di bawah kendalinya.
Padahal sejak dini anak perlu mendapatkan pengetahuan dan pendidikan yang mengarahkan kepada keamanan diri anak itu sendiri. Akibatnya anak bisa menjadi pelaku atau bahkan korban yang tidak paham mengenai situasi dan kondisi menimpanya.
Sensasi Pertumbuhan
Di satu sisi, kita kerap kali bertanya dalam benak kita bahwa “Mengapa anak bisa jadi pelaku kekerasan seksual?”. Hal tersebut bisa terjawab ketika anak menjadi pelaku belum tentu dia benar-benar paham dan berorientasi kepada aktivitas seksualnya. Dalam pada itu, bisa saja anak ingin mendapatkan sensasi yang menyenangkan dan nyaman dari tindakan yang ia lakukan.
Artinya, setiap anak belum mampu membedakan baik buruknya aktivitas tersebut. Meskipun tidak dapat mungkir bahwa mereka sudah mulai ada perasaan tertarik, nyaman terhadap aktivitas seksual. Hal tersebut berbeda dengan orang dewasa yang sudah memiliki kebutuhan beraktivitas secara seksual.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730.
Menurut penelitian yang Durex Indonesia lakukan tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan 84 persen remaja berusia 12-17 tahun belum mendapatkan edukasi seks. Menurut riset tersebut, edukasi seksual mulai memperkenalkannya pada usia 14-18 tahun. Padahal, para ahli menyebut edukasi seks tidak perlu menunggu anak masuk usia pubertas dan bisa kita lakukan sejak dini.
Pendidikan Seks
Masih banyak orang tua yang menganggap pembicaraan tentang pendidikan seks hanya seputar aktivitas seksual saja. Hal ini membuat orang tua enggan untuk membicarakannya di depan anak-anaknya, juga sebaliknya membuat anak-anak malu untuk bertanya pada orang tuanya.
Padahal dari kasus tersebut, secara tidak sadar telah mengingatkan kita untuk lebih jeli dalam mendidik anak sejak usia dini. Banyak hal yang bisa diajarkan kepada anak tentang hal-hal yang sifatnya positif, termasuk edukasi seksual sejak anak masih kecil. Yakni dengan mulai pembicaraan terkait cara kerja organ reproduksi, perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh ketika memasuki masa pubertas, bagaimana menjaga diri dari kejahatan seksual dan sebagainya.
Orang tua memiliki peran penting dalam pendidikan seks anak. orang tua sudah bisa memberikan pendidikan seputar seks sejak anak berusia 3 tahun dengan memperkenalkan nama-nama anggota tubuh, termasuk organ kelamin yang laki-laki dan perempuan miliki.
Selain itu, hal paling sederhana sebagai orang tua yang tengah mengajarkan pendidikan seksual terhadap anak dari kecil yakni dengan cara meminta izin membuka popok/pampers, atau celana yang dikenakan si anak. Jadi perlunya mengenalkan anggota tubuh ataupun anggota privasi dinilai sangat penting. Hal ini berkaitan dengan kendali atas tubuh si anak yang menjadi bagian penting dalam dirinya. Poin tersebut menjadi modal bagi anak untuk memahami adanya area-area yang sifatnya sensitif dan privat untuk bisa dikendalikan dalam menjaga tubuhnya.
Apa tujuan dari hal tersebut? Menurut Counterman & Kirkwood dalam Mubadalah.id, pendidikan seks pada anak usia tersebut hakikatnya adalah mengenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya baik dari sisi kesehatan, kebersihan, keamanan serta keselamatan berdasarkan tingkat perkembangan anak. Orang tua juga perlu mengajarkan anak untuk menutupi tubuhnya, seperti menggunakan handuk saat keluar kamar mandi atau menggunakan pakaian lengkap saat keluar rumah.