Perempuan, Demonstrasi, dan MBG

Demonstrasi MBG Sumber Gambar: jogja.suara.com

Pemerintah agaknya lalai terkait dengan pengawasan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejak awal program yang teranggap bagus dan terdukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia memang terkesan seperti pengumpulan tugas yang mepet deadline. Artinya, penerapan MBG ini memiliki narasi yang luar biasa namun nihil dalam implementasi. 

Mulai dari makanan basi, menu yang terefisiensi, sampai banyaknya kasus keracunan massal. Semua ini mungkin tidak akan terjadi jika sejak awal sudah ada manajemen yang baik terkait pengelolaan dan pengawasan yang ketat. Tentu perlu adanya transparansi terkait proses produksi, pengemasan, sampai pendistribusian hingga ke tangan murid. Namun, seringkali banyak pihak lalai terkait hal tersebut hingga adanya kasus keracunan masal.

Suara Penolakan

Kasus demo ibu-ibu di Yogyakarta pada 26 September 2025 lalu bertajuk Kenduri Suara Ibu Indonesia menjadi cerminan betapa orang tua sudah muak akan program pemerintah yang asal asalan. Aksi tersebut bertempat di sisi timur Bundaran UGM. Kalis Mardiasih, Penggiat Suara Ibu Indonesia, mengatakan bahwa MBG harus dihentikan dan dievaluasi dengan baik. 

Aksi demo terwarnai dengan bunyi panci yang oleh ibu-ibu pukul sebagai bentuk protes terhadap MBG. Panci terpakai sebagai simbol barang yang  biasa ibu-ibu gunakan untuk memasak. Selain itu, juga sebagai sindiran akan ketidakkompetenan para pegawai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam memasak makanan. Aksi ini menunjukkan bahwa perempuan juga bisa melawan. Perempuan terutama sebagai simbol seorang ibu yang memiliki perasaan emosional kuat bagi anaknya. Tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya keracunan bahkan jatuh sakit. 

Wasingatu Zakiya, koordiantor aksi, mengatakan bahwa “Jangan karena janji politik, kita mengorbankan banyak anggaran, anak bangsa, hanya karena janji politik. Bahkan, stop adalah cara terbaik untuk kemudian mengevaluasi ini secara besar-besaran”. Tentunya pernyataan ini muncul karena orang tua tidak mau kejadian keracunan MBG terulang kembali. Para demonstran menginginkan agar masalah makan siang terserahkan ke orang tua anak. 

Baca Lainya  Penjenamaan Pribadi Perempuan: Strategi dan Tantangan di Media Sosial

Negasi Pertanggungjawaban

Sri Sultan Hamenkubuwono X turut berkomentar terkait keracunan MBG ini. Beliau menyarankan agar tidak memasak sayur saat jam setengah tiga pagi jika pendistribusiannya siang hari. Beliau juga menceritakan pengalamannya membersamai masyarakat yang bekerja di dapur umum kala ada musibah berupa bencana alam. Terjelaskan bahwa memang sayur hendaknya termasak mendekati waktu makan sehingga mengurangi risiko basi. Para petugas SPPG harusnya sudah hapal dengan hal-hal semacam itu dan sudah menjadi rahasia umum.

Namun, agaknya ada faktor lain dari para pegawai SPPG yang menginginkan pulang cepat sehingga makanan termasak lebih awal dari jam seharusnya. Hal-hal kecil seperti inilah yang bisa menjadi boomerang dalam hal kelayakan MBG. Kita tidak bisa tutup mata bahwa dalam prosesnya, MBG memang sangat memerlukan evaluasi. Jika tidak, hal ini hanya akan menyebabkan pemborosan dana dan tenaga. 

Ini patutnya menjadi refleksi bagi pemerintah. Dana sudah tergerus sedemikian rupa, tapi belum ada hasil nyata yang tampak. Jika kita tarik ke belakang presiden Prabowo pernah mengatakan kala awal pelaksanaan MBG bahwa kasus keracunan yang sampai rawat inap “hanya” lima orang saja. Hal ini terkesan menunjukkan adanya sikap abai dari presiden bahwa ada masalah dalam pelaksanaan MBG ini. Meski dari segi kuantitas lima orang sedikit, tapi dampak selanjutnya yang seharusnya lebih terperhatikan lagi. 

Perjuangan Keadilan Keluarga

Aksi serupa sempat terjadi lagi pada 1 Oktober 2025, bertempat di seberang Istana Negara. Melalui unggahan akun Instagram @sahabaticw berkolaborasi dengan beberapa koalisi perempuan Indonesia, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bergabung dalam Gerak Warga Peduli Tolak MBG. Hal ini menunjukkan bahwa isu ini masih hangat menjadi perbincangan sampai saat ini. Aksi demo ini berbeda dari biasanya, pasalnya turunnya perempuan ke jalan menjadi bukti bahwa pemerintah telah kelewat batas. Mereka, para perempuan dengan ketulusannya sedang memperjuangkan keadilan untuk anaknya.

Baca Lainya  Ibu: Sosok Luar Biasa dalam Hidup Kita

Tindakan ibu-ibu yang melakukan demo bisa menjadi refleksi bahwa posisi perempuan yang sebelumnya teranggap hanya bisa melakukan pekerjaan domestik mulai berubah. Apalagi sekarang sudah marak terkait dengan isu keadilan gender. perempuan juga berhak bersuara, menyampaikan aspirasi, dan menentang apa yang menurut mereka kurang sesuai.

Berbeda kala masa orde baru yang kian mengikis peran politik perempuan. Dalam buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli (1999), termaktub bahwa peran perempuan hanya memiliki lima fungsi: sebagai istri, pengatur rumah tangga, yang melahirkan anak, pendidik, dan yang terakhir baru sebagai warga negara. 

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan berada pada posisi subordinat. Namun, hadirnya Suara Ibu Peduli pada tahun 1998 memunculkan anggapan lain. Peduli yang dimaksud di sini bukan hanya merawat atau mengayomi anak saja. Namun, berubah haluan menjadi penggerak warga untuk melakukan sesuatu bahkan ikut turun ke jalan menyampaikan aspirasi. Kenduri Suara Ibu Indonesia dan Gerak Warga Peduli Tolak MBG juga bisa menjadi cerminan semangat demokrasi para ibu-ibu dalam memperjuangkan keadilan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *