Jika kita menyusuri lorong waktu politik Indonesia, suara perempuan kerap terdengar sayup-sayup. Ada kontribusi tapi seringkali tenggelam dalam narasi besar yang terdominasi laki-laki. Padahal, sejak era kerajaan hingga masa pergerakan, perempuan tidak benar-benar absen. Mereka bergerak di belakang layar, memimpin perlawanan, bahkan memerintah kerajaan. Namun, mengapa sampai hari ini, gelanggang politik masih begitu terasa sempit untuk para perempuan?
Kita punya aturan kuota 30% calon legislatif perempuan seharusnya menjadi sebuah terobosan semestinya menjadi pintu masuk menuju keterwakilan lebih adil. Namun, di lapangan angka 20,5% di DPR RI pascapemilu 2019 justru bercerita lain. Bahwa yang kita hadapi bukan hanya soal regulasi, melainkan juga tembok budaya dan mental yang masih kokoh.Â
Jika menengok ke khazanah sastra dan sejarah, kita justru menemukan cerita-cerita heroik tentang perempuan yang memimpin dengan caranya sendiri. Lewat Mangir (2000)-nya Pramoedya Ananta Toer, kita diajak melihat bagaimana perempuan tak cuma jadi pelengkap, tetapi juga aktor politik yang cerdas dan berjejaring. Dalam kisah lain, Ratu Shima yang memimpin dengan ketegasan dan keadilan, serta Ratu Ageng yang menjadi penopang kekuatan politik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mereka adalah bukti bahwa kepemimpinan perempuan bukan hal baru, hanya saja sering terlupakan.
Menempa Pemimpin Perempuan
Mengapa hari ini pemimpin perempuan sulit terjumpai? Persoalannya berlapis, mulai dari partai politik yang masih setengah hati menempatkan perempuan di posisi âlayak menangâ, hingga stereotipe masyarakat yang ngotot memandang politik sebagai âdunia laki-lakiâ. Belum lagi beban ganda yang harus perempuan pikul sebagai politisi sekaligus penjaga domestik yang kerap membuat langkahnya terasa berat.Â
Di balik tantangan itu, harapan tetap ada dan sedang tumbuh perlahan. Kuncinya ada pada pendidikan yang membebaskan. Bukan sekadar pendidikan formal, tapi pendidikan politik inklusif, yang mengajarkan sejak dini bahwa suara perempuan sama berharganya.
Data menunjukan, perempuan yang melek politik dan gender cenderung lebih percaya diri dan vokal menyuarakan pendapat. Selain itu, organisasi kemahasiswaan perempuan seperti Kopri, Kohati dan Sarinah menjadi âkandang jawaraâ tempat calon-calon pemimpin perempuan ditempa. Di sanalah mereka belajar memimpin, berjejaring, dan saling menguatkan sebelum akhirnya terjun ke gelanggang politik yang penuh tantangan.Â
Satu hal yang tak kalah penting ialah political will. Partai politik harus berani lebih dari sekadar memenuhi kuota. Mereka perlu menciptakan ekosistem yang benar-benar mendukung: dari pelatihan, pendanaan, hingga komitmen menempatkan perempuan di posisi strategis.
Pada akhirnya, perjuangan perempuan dalam politik bukan hanya tentang memenuhi kuota 30%. Ini tentang merawat warisan kepemimpinan Ratu Shima, ketegasan Ratu Ageng, dan kecerdasan para perempuan dalam Mangir. Ini tentang mewujudkan panggung politik yang tidak hanya ramai, tetapi juga adil, tempat setiap suara didengar, dan setiap peran dihargai. Karena Indonesia yang demokratis, adalah Indonesia yang memberi ruang bagi semua tanpa terkecuali.[]