Menagih Peran Ayah dalam Pendidikan Anak

Kedekatan Ayah dan Anak Sumber Gambar: halodoc.com

Selama ini, kita sering mendengar kalimat al-ummu madrasatul ula yang artinya ā€œibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.” Ungkapan ini sudah sangat familiar dan bahkan seringkali menjadi kutipan dalam ceramah, tulisan-tulisan parenting islami, hingga khutbah keagamaan. Tak sedikit yang mengira kalimat tersebut berasal dari hadis (termasuk penulis), padahal sebenarnya itu bukan hadis. Melainkan ungkapan populer dalam bahasa Arab yang menggambarkan betapa pentingnya peran seorang ibu terhadap pendidikan anak.

Namun yang menjadi persoalan adalah pengutipan ungkapan tersebut seringkali bersamaan dengan ayat atau hadis tentang keluarga. Lalu menyambungkannya secara cocoklogi untuk menggiring persepsi mengenai perempuan. Bahwa ibu adalah satu-satunya pihak paling bertanggung jawab atas masa depan dan pendidikan anak. Tanpa sadar, masyarakat telah membentuk persepsi sosial yang bias gender. Seolah-olah pendidikan anak hanya tugas ibu, sementara ayah cukup berada di latar belakang sebagai pencari nafkah semata.

Padahal, realita menunjukkan bahwa anak membutuhkan kehadiran dan keterlibatan aktif kedua orang tuanya, bukan hanya ibu. Ayah bukanlah figuran dalam cerita tumbuh kembang anak. Namun, menjadi tokoh utama yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter, kepercayaan diri, dan kecerdasan emosional anak. Sayangnya, peran ini sering kali terabaikan.

Langkah Kolaboratif

Hari ini, kita bisa melihat beberapa contoh keluarga muda yang mulai menyadari pentingnya kolaborasi dalam mendidik anak. Misalnya, dari beberapa kreator konten keluarga seperti Lala @shabiraalula & Abe @abe.daily. Di mana sang ayah terlihat sangat aktif mendampingi tumbuh kembang anak-anak mereka. Dalam berbagai unggahan, ayah tak hanya berinteraksi secara hangat, tetapi juga ikut andil dalam mengajar, bermain, hingga membangun bonding emosional sehat. Dan hasilnya? Perkembangan anak-anak dalam keluarga ini terlihat jauh lebih positif bahkan menginspirasi banyak keluarga lainnya.

Baca Lainya  Keluarga: Perihal Gender dan Kesadaran

Fenomena ini sejalan dengan berbagai hasil studi yang menunjukkan bahwa kehadiran ayah secara emosional dan fisik berdampak besar pada keseimbangan psikologis anak. Anak-anak yang dekat dan terlibat dengan ayah mereka memiliki tingkat stres yang lebih rendah, kecenderungan perilaku menyimpang yang lebih kecil, dan keterampilan sosial yang lebih baik. Namun, sayangnya, data di Indonesia justru menunjukkan hal yang mengkhawatirkan.

Berdasarkan informasi dari situs resmi UNS, Qori Zuroida selaku anggota tim sosialisasi menyampaikan bahwa tingginya angka ketidakhadiran ayah di Indonesia. Dengan begitu menempatkan negara ini di peringkat ketiga dunia dalam kategori fatherless country. Hal tersebut menjadi latar belakang pelaksanaan program sosialisasi bertajuk ā€œPeran Ayah dalam Menurunkan Tingkat Fatherless di Indonesiaā€ yang oleh UNS inisiasi. Istilah fatherless di sini tidak selalu berarti ayah tidak ada secara biologis, tetapi lebih kepada kehadiran yang minim dalam kehidupan anak, baik karena kesibukan, kurangnya kesadaran, atau budaya patriarkal yang masih kuat.

Peran Simbolik

Banyak anak tumbuh besar tanpa benar-benar mengenal siapa ayah mereka, bukan karena ayahnya tidak ada, tetapi karena ayah terlalu sibuk menjadi kepala keluarga secara simbolik dan melupakan fungsi dasarnya sebagai pendidik utama. Kondisi ini menjadi ironi tersendiri. Di satu sisi, ibu terus terdorong menjadi madrasah pertama dengan tuntutan tinggi penuh cinta, sabar, cerdas, dan kuat. Namun di sisi lain, ayah hanya mendapat tuntutan hanya ‘hadir’ secara ekonomi, bukan secara emosional maupun spiritual. Padahal pendidikan bukan hanya soal memenuhi kebutuhan, tetapi tentang bagaimana orang tua mencintai, mengerti, dan mendampingi secara utuh anaknya.

Dalam Islam, peran ayah dalam mendidik anak sangat besar. Nabi Muhammad saw. adalah contoh ayah yang penuh kasih, sabar, dan aktif terlibat dalam kehidupan anak-anaknya. Bahkan, beliau sering memangku cucunya saat salat, bercanda, dan mendidik dengan cara yang penuh kelembutan. Maka menjadi aneh jika hari ini ada persepsi bahwa mendidik anak adalah pekerjaan yang ā€œlebih cocok untuk ibuā€ dan ayah cukup menjadi ā€œpenontonā€ atau ā€œpengevaluasiā€.

Baca Lainya  Ikhtiar Mengelola Tambang

Sudah saatnya kita merombak narasi ini, bahwa mendidik anak bukan pekerjaan yang punya jenis kelamin. Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama, amanah yang Tuhan berikan kepada ayah dan ibu secara setara. Oleh karena itu dalam masa golden age atau masa emas anak—yakni dari lahir hingga usia lima tahun—adalah waktu yang sangat menentukan bagi pembentukan kepribadian, nilai, dan karakter anak.

Sinergi Nyata

Di masa inilah peran ayah dan ibu harus hadir secara nyata, bersinergi dalam menciptakan suasana belajar dan kasih sayang di rumah. Tidak cukup hanya menyekolahkan anak ke lembaga terbaik, membeli mainan edukatif, atau memasukkan mereka ke berbagai les tambahan. Yang anak butuhkan adalah waktu, perhatian, dan kedekatan emosional dari kedua orang tuanya. Ketika ayah dan ibu hadir bersama, mendidik bersama, dan saling mendukung, maka pendidikan anak akan menjadi lebih seimbang dan kuat dari sisi akhlak, kecerdasan, dan spiritualitas.

Kita perlu menyadari bahwa generasi kuat tidak lahir dari ibu yang hebat saja, tetapi dari keluarga yang sehat dan seimbang. Di masa golden age anak, peran ayah tidak bisa digantikan, dan peran ibu tidak bisa dipikul sendiri. Anak adalah amanah, bukan hanya dari segi biologis, tetapi amanah untuk dijaga, dibimbing, dan dibesarkan dengan penuh cinta dan tanggung jawab.

Mari tinggalkan stigma bahwa mendidik adalah tugas perempuan. Mari bangun kesadaran bahwa menjadi orang tua adalah proyek hidup yang sakral dan setara bagi ibu dan ayah. Sebab dari keluarga yang sehat dan setara lahirlah generasi masa depan yang tangguh dan terdidik.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *