Malam, Maskulinitas, dan Aroma Nasi Goreng: Sebuah Fenomena Sosial

Penjual Nasi Goreng Sumber Gambar: kompas.id

Pembahasan mengenai nasi goreng tentu tidak asing lagi. Salah satu makanan khas Indonesia ini hampir semua kalangan pernah menikmati bahkan mendaku menjadi makanan favorit bagi sebagian orang. Menjelang malam hari, nasi goreng menjelma menjadi makanan yang paling banyak terminati nan terjumpai. Suara ketokan dari spatula ke wajah menjadi penanda bahwa penjual nasi goreng sedang menjalankan misi. Yakni perjualan menawarkan dagangan harap ada yang membeli. 

Narasi yang menarik terbincangkan di balik gerobak nasi goreng ialah fenomena sosial, maskulinitas, dan waktu malam. Setiap kali kita menemukan gerobak nasi goreng keliling, selalu saja di baliknya adalah laki-laki, sehingga memunculkan pertanyaan mengapa penjual nasi goreng di malam hari lebih banyak laki-laki? Apakah waktu di malam hari identik dengan maskulin dan ruang bagi perempuan terlalu berbahaya? Pertanyaan itu yang kemudian memantik penulis untuk mengajak pembaca bersama-sama merenungkan Kembali ruang aman bagi perempuan ketika malam hari. 

Perkembangan Zaman 

Di tengah masyarakat yang terus berkembang, masih menjadi hal yang tabu jika ada seorang perempuan bekerja di malam hari terutama bekerja di ruang terbuka (baca: jalan). Alasan yang sering terlontar bermacam-macam; karena malam hari sangat rawan bagi perempuan, karena melanggar norma atau aturan yang oleh masyarakat sepakati. 

Akibatnya, perempuan kerap teranggap salah dan tidak memiliki kepatuhan karena berada di luar jam yang telah tertetapkan. Maka, selain ruang aman bagi perempuan, persoalan semacam ini juga erat kaitannya dengan keadilan, apakah persoalan mengenai jam malam hanya berlaku bagi perempuan semata? Bagaimana dengan laki-laki?

Pandangan seperti itu selalu menyudutkan perempuan dan menaruh beban ketidakamanan di pundak mereka, bukan hanya sistem sosial saja, akan tetapi seluruh masyarakatnya. Karena seolah-olah, jika terjadi kasus kriminal, ataupun pelecehan seksual yang patut di pertanyakan bukan pelaku kejahatan, melainkan keberadaan korban karena berada di tempat dan waktu yang tidak seharusnya. 

Baca Lainya  Mobilitas Sederhana Perempuan

Secara sosial hal ini juga mempersempit ruang gerak perempuan dan selalu melanggengkan diskriminasi. Menempatkan perempuan pada ranah domestik, seolah dunia luar sama sekali tak aman. Bagi perempuan yang bekerja sebagai perawat, pekerja pabrik, dan pekerja shift malam lainnya, atau bahkan yang berjualan malam, pandangan ini sangat terbatasi. Apakah mereka tidak berhak atas keamanan? Apakah pekerjaan mereka lebih rendah hanya karena terlakukan pada malam hari?

Dengan aktivitas malam yang perempuan lakukan, ia seolah tersudutkan dan teremehkan. Padahal, barangkali melalui pekerjaan itulah tujuan dari perubahan ekonomi keluarga sedang terupayakan. Kebutuhan ekonomi dan profesionalisme tidak mengenal waktu dan jenis kelamin. Di banyak keluarga juga seorang perempuan sebagai tulang punggung, ketika ruang publik tidak aman bagi mereka, bukan hanya hak individu yang di renggut akan tetapi potensi keluarga untuk berkembang secara setara dan sejahtera turut terkendala.

Malam dan Maskulinitas

Tidak dapat tersangkal memang, bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di malam hari sering terjadi. Namun solusi terhadap masalah ini tidak hanya menarik ruang perempuan di dalam publik melainkan dengan membangun sistem perlindungan yang setara seperti penerangan jalan, keamanan yang terbentuk melalui pos ronda oleh warga, dan lain-lain.

Ruang publik adalah milik semua warga, bukan hanya milik mereka yang layak. Selama inipun norma sosial sering tersalah-artikan untuk membatasi pembebasan seorang perempuan. Yang perlu tersadari yaitu norma tidak selamanya bersifat tetap, norma terbentuk dan bisa oleh masyarakat itu sendiri ubah. Menuntut ruang aman bagi perempuan bukan berarti menentang budaya, tapi justru mendorong budaya menjadi lebih manusiawi dan berkeadilan. 

Persoalan penjual keliling yang oleh maskulin dominasi tidak melulu alasan perempuan tidak cukup kuat mendorong gerobak yang berat atau masak di wajan yang besar. Melainkan stigma masyarakat yang tergaungkan jauh lebih berat untuk terelakkan oleh kaum perempuan. Lagi-lagi perempuan yang berjualan di malam hari dan keliling sangat sedikit kita temui. Sebaliknya, jualan keliling atau menetap di pinggir jalan di pagi hari lebih banyak terjumpai, semacam nasi pecel, liwet, kuning, gudeg, dan lain-lain. Mengapa? Apakah malam dan maskulin jauh lebih akrab dan termaklumi di telinga masyarakat?[]

Baca Lainya  Konsep Woman Support Woman dan Fenomena Queen Bee Syndrome

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *