Transportasi Publik dan Ironi Pelecehan

Pelecehan woman raised her hand for dissuade, campaign stop violence against women. Asian woman raised her hand for dissuade with copy space, black and white color

Pewartaan kekerasan dan pelecehan seksual dari berbagai media mengundang keprihatinan yang mendalam. Salah satunya kasus di ranah transportasi umum atau publik. Tindakan amoral itu sudah banyak terjadi di mana-mana, di kantor, supermarket, tempat wisata, mal, dan angkutan umum. Ironisnya korban penodaan seksual itu tidak hanya perempuan normal, akan tetapi juga perempuan penyandang cacat.

Padahal, transportasi publik merupakan salah satu moda kendaraan yang penting dalam mobilitas masyarakat di kota-kota besar. Dalam satu hari, ratusan bahkan ribuan penumpang memadati gerbong dan stasiun kereta api. Baik untuk keperluan kerja, pendidikan, ataupun perjalanan pribadi. Namun, di balik kemajuan dan tawaran pelayanan dan kenyamanan, masih tersembunyi fakta dan persoalan serius yang belum sepenuhnya dapat tertangani. Yakni banyaknya pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi di ruang publik khususnya transportasi umum.

Transportasi publik seharusnya menjadi ruang aman bagi seluruh masyarakat tetapi pada kenyataannya justru menghadirkan ironi sangat menyedihkan. Ia mestinya menghubungkan dan memudahkan aktivitas sehari-hari masyarakat, tetapi sering malah menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual. Ironi ini tidak hanya merusak citra transportasi publik saja, tetapi juga menciptakan lingkungan yang menakutkan. Pun, penuh kekhawatiran karena ruang aman dalam transportasi publik masih abu-abu, terutama bagi perempuan.

Persoalan Serius

Fenomena pelecehan seksual yang terjadi di transportasi umum, khususnya kereta masih menjadi masalah serius sampai saat ini. Dalam laporan Komnas Perempuan tertulis bahwa terdapat 19 pengaduan kasus sejenis di transportasi umum terjadi antara 2020 hingga 2024. Termasuk kasus melecehkan fisik, non-fisik, dan pemerkosaan. Kemudian data dari PT Kereta Commuter Indonesia menunjukan terdapat 57 kasus serupa di KRL dan stasiun dari Januari hingga Oktober 2024.

Baca Lainya  Ibu Rumah Tangga dan Perempuan Karier: Perlu Dibandingkan?

Salah satu faktor utama penyebab tingginya kasus pelecehan seksual di transportasi umum adalah kepadatan penumpang. Kondisi penuh sesak ini menciptakan lingkungan yang memungkinkan pelaku melancarkan aksinya tanpa mudah orang lain ketahui dan hentikan. Kurangnya ruang gerak dan privasi bagi penumpang perempuan membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk melecehkan. Mulai dari sentuhan fisik tidak pantas hingga verbal bernada merendahkan. Ketidakmampuan untuk dengan mudah melarikan diri atau meminta bantuan karena ruang gerak minim ini memperburuk situasi dan membuat korbannya semakin merasa terjebak dan tak berdaya.

Selain kepadatan penumpang, budaya patriarki dan minimnya kesadaran akan kesetaraan gender di Indonesia juga menjadi peranan penting dalam terjadinya kasus pelecehan seksual. Kasus itu seringkali teranggap sebagai hal yang biasa atau bahkan kerap masyarakat abaikan. Minimnya edukasi dan sosialisasi tentang berbagai bentuk pelecehan seksual, cara mencegahnya, dan prosedur melaporkan kejadian tersebut menciptakan budaya diam dalam masyarakat. Diam bukan berarti netral; dalam banyak kasus khususnya pada perempuan, diam adalah bentuk pembiaranyang melindungi pelaku dan merugikan korban.

Memihak Korban

Korban pelecehan seksual sering kali merasa malu, takut dan ragu untuk melaporkan pengalaman tidak mengenakan yang mereka alami. Mereka khawatir tidak akan dipercaya, disalahkan, atau bahkan mendapatkan stigma sosial. Di samping itu, salah satu faktor yang memperparah kondisi ini adalah anggapan bahwa pakaian atau penampilan korban menjadi penyebab pelecehan seksual itu terjadi padahal pada kenyataannya justru banyak perempuan berhijab dan menggunakan pakaian tertutup masih mendapatkan pelecehan seksual secara verbal maupun non-verbal.

Masyarakat sering kali menyalahkan korban dan meremehkan insiden ini dengan dalih ā€œbercandaā€ atau ā€œsalah pahamā€, dan menganggap perempuan harus lebih ā€œhati-hatiā€ dalam berpakaian. Padahal, persoalan utama pelecehan seksual bukan terletak pada perempuan melainkan pada pelaku dan aturan yang tidak cukup tegas mencegah serta menangani kasus-kasus pelecehan seksual.

Baca Lainya  Dangdut dan Goyangan: Stigma Budaya Perempuan

Ironi lainnya terletak pada kenyataan bahwa di tengah maraknya kasus pelecehan seksual di ruang publik, khususnya transportasi umum, keberadaan kamera pengawas (CCTV) tak sepenuhnya membantu. Barang itu seharusnya menjadi ā€œmata ketigaā€ dan ā€œsaksi tak hidupā€ yang mampu memberikan keadilan. Malah sering kali ketika hal itu sudah terjadi menjadi sulit untuk terakses korban.

Ketika korban mendatangi petugas dan memohon melihat rekaman CCTV sebagai bukti laporan, alih-alih melayani dengan empati, mereka justru meminta menunggu prosedur panjang. Yang itu, tak jarang menguburkan keadilan bagi korban pelecehan seksual. ā€œHarus ada surat resmi dari kepolisian,ā€ atau ā€œtunggu persetujuan dari atasanā€ merupakan kalimat klise kerap kali mengerdilkan harapan korban akan keadilan.

Ketimpangan Kuasa

Situasi ini jelas menandakan adanya ketimpangan kuasa antara lembaga penyedia rekaman dan korban pelecehan seksual. Padahal CCTV terpasang dengan dalih untuk keamanan publik, tetapi ketika korban membutuhkan bukti, akses terhadapnya justru sulit dan terbatasi.

Sudah saatnya regulasi terkait akses rekaman CCTV perlu pembenahan. Perlu adanya kebijakan yang memudahkan korban pelecehan seksual mengakses bukti secara cepat, transparan, dan etis. Perempuan memiliki hak yang sama untuk merasa nyaman dan aman dalam bepergian menggunakan transportasi publik.

Ruang publik harus menjadi tempat di mana perempuan bisa berjalan tegak tanpa harus merasa was-was akan orang menyentuh, menggoda, atau merekamnya secara sembunyi-sembunyi. Bukan malah menjadi tempat di mana trauma terus-menerus terbungkam. Apabila ruang publik belum berpihak pada korban, kita patutnya bertanya: untuk siapa sebenarnya membangun ruang-ruang publik ini?[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *