Stigmatisasi terhadap perempuan memang tidak ada habisnya hingga sekarang. Bahkan banyak masyarakat menganggap sudah menjadi hal lumrah dan melekat erat di dalam budaya masyarakat. Bukankah hal demikian merugikan perempuan dan perlu ada perubahan?
Lagi-dan lagi tulisan ini kerap kali menjelaskan terkait pengalaman sosial perempuan yang tidak mengenakkan, bagaimana tidak? Perempuan selalu mengalami pengalaman sosial dan pengalaman biologis yang cukup keras alih-alih dengan posisi laki-laki yang tidak begitu terpersoalkan apalagi tersalahkan.
Terlebih ketika kita mendengar kata “janda”, rasa-rasanya selalu ada nuansa negatif yang tersemat di pikiran masyarakat secara umum. Seperti yang banyak tercitrakan oleh media mainstream di Indonesia akan stigma yang melekat pada seorang janda. Terlebih janda yang cerai dengan suami. Tentu ketika ia mendapatkan masalah, yang akan tersorot media adalah perempuan yang teranggap janda sebagai sumber masalah, bukan sebaliknya.
Stigma Buruk
Seperti halnya kasus salah satu artis Venna Melinda yang terkabarkan mengalami KDRT pasca baru-baru menikah dengan Ferry Irawan setelah lama menyendiri bercerai. Perempuan tersebut juga mendapatkan stigma buruk dari masyarakat yang membandingkan Venna dengan istri mantan suaminya. Venna teranggap gagal dan salah sebagai sosok istri di dalam membangun rumah tangga. Hal tersebut yang membuat miris lantaran bukan soal kasus KDRT yang terangkat sebagai sumber masalah, akan tetapi terfokus pada kesalahan korban yang belum tentu kebenarannya.
Seorang perempuan yang menyandang status janda bisa memiliki banyak peran terkait hal sebagai manusia, di lingkungan sosial dia tinggal dan harus mendapatkan dukungan yang setara. Namun, seringkali sebagian orang sudah terkonstruksi pemaknaan status janda karena tayangan sinetron di televisi yang sering menampilkan citra negatif.
Generalisir Makna
Munculnya berbagai narasi negatif tentang janda, yang akhirnya menggeneralisir makna yang berujung pada diskriminasi status janda. bahwa perempuan yang tidak memiliki suami dengan berbagai alasan tertentu tetaplah menjadi perempuan dan juga manusia. Hal tersebut harus terlihat dari fungsi dan peran kemanusiannya bukan hanya sebatas pelabelan negatif yang sering terlanggengkan oleh kaum patriarkis.
Ketika seorang perempuan yang telah menikah sudah tidak memiliki suami lagi lantaran tertinggal pergi dan hidup bersama anak-anaknya ia harus menanggung, merawat dan membesarkan anak dengan baik. Layaknya kepala keluarga yang mana terlakukan oleh laki-laki dan tergantikan oleh perempuan.
Meskipun secara fakta menyandang status sebagai janda, tetapi melihat peran dan fungsinya ia tetap mampu menjadi kepala keluarga. Sebab, perempuan juga manusia yang memiliki kemampuan yang sama sebagai manusia, yang dapat berperan dalam lingkungan sosialnya dan harus terterima dengan setara tanpa ada stigma dan diskriminasi karena status “janda”.
Padahal jika kita lihat dalam kasat mata, tidak sedikit kepala keluarga terjabat oleh perempuan. Realitanya perempuan memang mampu berkontribusi melakukan berbagai hal. Dengan begitu sudah seharusnya kita membuka pikiran untuk selalu bersikap positif dengan kehadiran janda yang tertinggal suaminya dengan berbagai alasan. Meskipun tidak mudah, namun hal tersebut mampu terlakukan dengan baik.
Diskriminasi status janda harusnya sudah tidak ada, hal tersebut bukan karena nuansa negatif yang melekat. Akan tetapi, lebih kepada peran dan kontribusi kemanusiaan sebagai sosok ibu dan perempuan. Bukan pelabelan status yang menjadikan orang tersebut menjadi buruk. Jadi, pemikiran positif dalam status janda harus mampu melekat di dalam pikiran kita sehingga kita tidak bias dalam melihat sebuah realitas sosial.