Setiap tanggal 22 Oktober, Indonesia memperingati Hari Santri Nasional (HSN). Peringatan HSN merupakan momentum penting mengenang kembali kontribusi kaum sarungan terhadap perjalanan sejarah. Ketika berbicara tentang santri, kebanyakan orang mungkin langsung berpikir bahwa mereka hanya anak pesantren yang memakai sarung sambil belajar kitab kuning. Padahal, pada kenyataannya mereka itu simbol ketekunan dan sebuah perjuangan yang berawal dari kesederhanaan. Namun dari kesederhanaan itulah ada kekuatan yang dapat membentuk jati diri seorang pembelajar agama.
Kehidupan pesantren mengajari santri arti hidup dari kederhanaan. Mereka terbiasa hidup dengan fasilitas seadanya. Kamar berisi beberapa orang, tidur beralaskan tikar, makan bersama satu nampan dengan lauk seadanya. Kesederhanaan melatih mereka agar tidak bergantung pada keadaan, tetapi selalu memanfaatkan setiap peluang untuk belajar dan terus berjuang. Dari kehidupan pesantren yang sederhana itulah dapat melahirkan insan yang menebar keteladanan bagi masyarakat dan bangsa ini.
Dalam kehidupan sederhananya, santri juga menemukan kebahagiaan sejati mulai dari kebahagiaan dalam belajar, beribadah, dan berkhidmat. Para guru selalu mengajarkan bahwa nilai seseorang itu tidak terukur dari harta dan pakaiannya, tetapi dari keilmuan dan keikhlasannya. Di sanalah muncul karakter mereka yang sabar dan tangguh.
Di pesantren, mereka tidak hanya belajar tentang ilmu agama, tetapi juga belajar cara hidup mandiri, disiplin, dan menghormati sesama. Nilai ini menjadi pondasi yang kuat untuk membentuk kepribadian santri. Salah satu hal yang menjadi aspek paling penting dalam pendidikan pesantren adalah pembentukan akhlak.
Kutub Adab dan Ilmu
Setinggi apapun ilmu yang mereka miliki tapi tanpa akhlak itu akan menjadi bumerang untuk mereka sendiri. Maka dari sinilah, mereka belajar mendahulukan adab daripada ilmu, mereka juga belajar agar tidak mudah bangga dan puas atas apa yang baru mereka capai.
Keteladanan santri tampak pada kesehariannya, mulai dari taat terhadap aturan, taat dalam beribadah, selalu ramah, dan rendah hati. Di sisi lain sebagian orang berpikir bahwa menjadi kaum sarungan itu tidak akan bisa sukses, tidak bisa menjadi teladan. Mereka hanya orang sederhana yang tidak akan bisa merubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Namun, di balik semua itu, banyak alumni pondok pesantren yang menjadi tokoh masyarakat, pengusaha, guru, bahkan menjadi seorang pemimpin. Mereka menunjukkan bahwa menjadi santri yang hanya hidup sederhana di pesanten itu bukanlah menjadi penghalang untuk berkiprah di dunia modern, justru setiap pelajaran dan doa itu menjadi cahaya yang menerangi dalam setiap langkah mereka.
Perjuangan santri dalam sejarah bangsa Indonesia sudah tercatat dan tidak akan bisa terlupakan. Dari pesantren banyak melahirkan tokoh besar, mulai dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang menanamkan semangat nasionalisme melalui seruan Revolusi Jihad pada tahun 1945.
Ada pula KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang memperjuangkan pendidikan islam yang maju dan terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern. Keduanya adalah contoh nyata bahwa kesederhanaan dari golongan pesantren yang mampu melahirkan keteladanan yang sangat besar bagi bangsa dan negara ini.
Keteladanan santri masa lalu tidak hanya dari ilmu mereka, tetapi juga dari pengabdian. Ketika bangsa ini dijajah, merekalah yang berdiri di garis paling depan. Kaum sarungan ini berjuang tidak hanya dengan senjata, tetapi dengan doa, ilmu, dan semangat jihad mereka. Mereka tidak meminta imbalan apapun, baginya berjuang untuk agama dan tanah air adalah bentuk pengabdian tertinggi. Semangat itu kini di peringati menjadi HSN, yang berlandaskan dengan keimanan dan bentuk dari cinta tanah air.
Namun, kini zaman terus berubah dan mulai memunculkan tantangan baru bagi santri. Mulai dari dunia digital yang banyak terjadi perubahan, mulai dari perkembangan teknologi yang cepat, perubahan gaya hidup masyarakat. Mereka yang belaja di pesantren, hari ini, tidak hanya paham tentang agama tapi juga di tuntut untuk melek teknologi.
Teladan dan Menyesuaikan
Santri perlu meneladani para guru dan kiai terdahulu yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Kini banyak pesantren yang membuka diri terhadap ilmu seperti sains dan teknologi informasi. Dengan demikian, mereka tidak lagi dipandang kolot tetapi akan menjadi generasi yang siap berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan.
Keteladanan santri dapat dilihat dari kesehariannya, dengan tutur kata lembut, cara berpakaian santun, serta selalu menjunjung tinggi kejujuran dalam bertindak. Keteladanan mereka tidak hanya ada di pesantren, tetapi juga di kehidupan bermasyarakat. Santri menjadi penyejuk dan menghadirkan kedamaian di tengah kerusuhan yang ada, santri juga menjadi jembatan antara agama dan realitas sosial. Bekal ilmu yang telah dia dapatkan dari pesantren akan sangat bermanfaat untuk membantu masyarakat kecil yang kurang mampu untuk belajar di sekolah formal maupun nonformal.
Nilai kepedulian terhadap sesama tumbuh kuat di dalam pesantren, dari sinilah keteladanan seorang santri menjadi contoh nyata. Hari Santri ini menjadi pengingat bahwa keteladanan tidak lahir dari kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki, tetapi dari kesederhanaan dan keikhlasan dalam kehidupan. Dengan menjadi santri, kita selalu diajarkan bahwa menjadi seseorang yang hebat tidak harus berpenampilan mewah setiap harinya, melainkan dengan kerendahan hati, memiliki bekal ilmu dan adab yang menjadi keunggulan dari santri.
Maka, peringatan HSN ini bukan hanya milik para santri, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. Dari kesederhanaan menuju keteladanan, dari perantren menuju peradaban. Selamat Hari Santri Nasional untuk mereka yang telah mengajarkan arti hidup dengan ilmu, berbuat sesuatu dengan keikhlasan, dan menjadi teladan untuk semua.[]

