Polemik Hijab dalam Kacamata Sosial

Fenomena hijab belakangan sering menjadi perdebatkan lantaran beberapa kasus yang mengaitkan penggunaannya dengan masalah perempuan. Lagi-lagi perempuan selalu menjadi nomor satu dalam kasus perhelatan masalah, sedangkan menjadi nomor dua dalam kepentingan publik. Miris bukan?

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa stigmatisasi terhadap perempuan telah mengakar kuat di dalam doktrin masyarakat secara luas. Namun meskipun demikian, tidak seharusnya perempuan selalu menjadi sumber masalah ketika perempuan memiliki kedekatan dengan hijab yang dikenakannya.

Dalam Al-Qur’an hijab termaknai sebagai pemisah, penutup dan sekat. Nyai Badriah Fayumi dalam tulisannya menegaskan bahwa pemaknaan hijab di Indonesia yakni sebagai ruang pemisah antara laki-laki dan perempuan. Tujuannya ialah untuk melindungi tindakan yang tidak lazim antara laki-laki dan perempuan, takwa kepada Allah dan menjaga diri dari bentuk tindakan kekerasan seksual.

Kerap kali hijab juga termaknai sebagai bentuk identitas perempuan dan simbol agama dengan mayoritas muslim. Secara teologis dan sosial benda tersebut selalu menjadi wujud dari keterkungkungan dan domestikasi perempuan.

Sehingga polemik tentang hijab dan perempuan sudah menjadi perdebatan panjang hingga saat ini. Begitupula dengan keragaman interpretasi hijab yang hanya dijadikan sebagai bentuk identitas dan simbol di waktu-waktu tertentu turut serta menjadi perbincangan dan perdebatan publik.

Jika mencermati secara mendalam perintah untuk menutup aurat sudah menjadi perintah agama dan sudah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mentaatinya. Anehnya, pengenaan hijab Oleh perempuan selalu menjadi sumber masalah dari berbagai kasus yang belum tentu berkaitan dengan masyarakat. Padahal tidak semua masalah berkaitan dengan penggunaan hijab bagi perempuan.

Siapa pun Perempuan berhijab tak layak tersebutkan hingga berujung pada penyalahan. Namun, dari hal ini kita berkaca bahwa seringkali saat terjadi masalah, perempuan berhijab akan menjadi titik awal kesalahan persoalan. Termasuk isu perselingkuhan sekalipun. Bila perempuan tersebut berhijab, maka ia akan menjadi orang pertama tersorot menjadi biang masalah. Sedang lelaki sama sekali tak pernah terusut kesalahannya sedikitpun.

Baca Lainya  Hijab Malay: Pesona Modest Fashion Incaran Yalil Yalili

Ketimpangan Sosial

Budaya patriarki seringkali menempatkan posisi perempuan menjadi lebih rendah daripada laki-laki. Kontruksi sosial yang lekat dan mengakar luas selalu mendominasi laki-laki untuk selalu menempati posisi di atas perempuan. Walhasil, laki-laki menjadi lebih dominan untuk berkuasa.

Jelas,pada praktiknya perempuan selalu menjadi objek ketidakadilan sosial. Mulai dari diskriminasi, stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan hingga beban ganda yang tidak teralami laki-laki.

Bahkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial merambat terhadap perempuan dalam menggunakan hijab. Fenomena inilah yang menyoroti perempuan sebagai objek, sasaran budaya patriarki. Justru hal tersebut adalah sebuah perbuatan yang kurang baik apabila terlontar kepada para perempuan atau menyalahkan perempuan secara paksa.

Tentu harus ada keadaan di mana kita harus tabayyun terlebih dahulu untuk menjaga kesalahpahaman dalam mengambil keputusan. Karena hal tersebut dapat menimbulkan ujaran kebencian secara berlebihan.

Dengan demikian dalam melihat kasus hijab dan perempuan sudah selayaknya menjadikan hijab bukan sebagai penutup aurat semata. Namun juga sebagai bentuk kepekaan diri terhadap sesama. Lebih saling menghargai, bertoleransi dalam menjadikan kita pribadi yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *