Kita semua tahu tentang sosok perempuan yang misterius, bukan? Ia seperti buku yang tertutup rapat, hanya membiarkan beberapa halaman terbuka bagi mata yang melihat. Tak banyak yang ia ceritakan, tetapi banyak yang ia simpan dalam diam. Pernahkah kita bertanya, mengapa seorang perempuan tiba-tiba memanjangkan sujud di rakaat terakhir salatnya? Apa yang sebenarnya terjadi dalam momen sunyi tersebut?
Literally, saat ini kita hidup dalam dunia yang serba cepat. No cap, hidup kita seperti konten TikTok yang terus tergerser tanpa henti. Kehidupan modern memaksa kita bergerak cepat, berpikir cepat, bahkan merasa pun harus serba cepat. Dalam keseharian yang sibuk, banyak perempuan yang bahkan tidak punya waktu untuk spill the tea tentang beban pikirannya. Mereka menyimpan banyak hal, menelan banyak kepahitan, dan menghadapi terlalu banyak ekspektasi dalam diam. Tak heran jika kemudian, sujud menjadi satu-satunya tempat berlindung,tempat di mana kepala bisa bertemu bumi, dan hati bertemu langit.
It’s giving tempat teraman. Hanya di sujud itu kita bisa bernapas. Bisa menangis tanpa dijelek-jelekin orang, itu adalah tempat ternyaman di dunia. Momen ketika jiwa menemukan peraduan, ketika dahi menyentuh tempat terendah namun hati melayang ke tempat tertinggi. Menariknya, perempuan sering kali tidak bercerita tentang perjuangannya.
Ia tak membagikan kisah tentang bagaimana matanya masih berkaca-kaca di pagi hari, tetapi tetap tersenyum saat membuat sarapan untuk keluarga. Tak bercerita tentang bagaimana tangannya gemetar saat membuka email penolakan kerja untuk kesekian kalinya. Pun tak bercerita tentang rasa sakit yang mendera tubuhnya tiap bulan, namun tetap berjalan tegak seolah tak terjadi apa-apa.
Ruang Terakhir
Fr (for real), kadang kita bahkan gaslighting diri sendiri. Merasa masalah kita sangat sepele. Merasa tidak pantas untuk dikeluhkan, tidak layak untuk dibagikan. Maka kita memilih diam, menelan semuanya bulat-bulat hingga kadang tersedak dalam kesendirian. Tak heran jika kemudian, sujud menjadi ruang terakhir, ruang teraman, ruang terjujur untuk melepaskan semua yang terpendam. Dalam sujud itu, air mata yang tertahan bisa mengalir tanpa harus dijelaskan. Dalam sujud itu, kita bisa berbisik kepada Yang Maha Mendengar tanpa takut dianggap berlebihan.
Ada makna mendalam di balik lamanya sujud di rakaat terakhir. Layaknya perpisahan dengan sahabat baik, perempuan seringkali enggan mengangkat kepalanya dari sujud terakhir. Di situlah ia menitipkan semua beban yang tak terucap, semua impian yang belum terwujud, semua doa yang masih menggantung. Dead. Rasanya seperti tak ingin lepas dari sujud. Karena setelah itu, kita harus menghadapi dunia lagi dengan segala chaos-nya.
Dunia yang tidak selalu ramah, dunia yang kadang terlalu keras, dunia yang tidak selalu memahami.dalam sujud panjang itu, perempuan sedang bercerita meski tanpa kata-kata. Ia sedang bernegosiasi dengan takdir, bertanya kepada Tuhan, dan mencari kekuatan untuk kembali berdiri tegak. Dalam keheningan yang memanjang itu, terjadi percakapan paling jujur antara makhluk dan penciptanya. Yang menarik, justru dalam posisi terendah, ketika dahi menyentuh bumi, perempuan menemukan kekuatan tertingginya. Dalam keadaan yang secara fisik terlihat lemah, ia justru mengumpulkan segenap keberanian untuk kembali menghadapi dunia.
Fragmen Jiwa
Ngl (not gonna lie), kadang sujud itu sangat therapeutic. Better than terapi mahal-mahal. Kita bisa release semua yang mengganjal, tanpa takut di-judge. Tanpa perlu menjelaskan apapun, tanpa perlu membuktikan bahwa rasa sakit itu nyata. Lamanya sujud di rakaat terakhir adalah proses merangkai kembali kepingan diri yang berserakan.
Sesaat sebelum mengucapkan salam, kita memerlukan waktu untuk menyatukan kembali fragmen-fragmen jiwa yang terpecah oleh beban hidup. I’m telling You Ya Allah, itu momen amat sakral. Kayak lagi recharge baterai yang low banget. Setelah itu baru ready buat face kehidupan lagi. Seolah dalam kerendahan itu, ada energi yang tak terbatas, ada cinta yang tak terbilang, ada pengharapan yang tak terkira.
Perempuan tidak bercerita, tetapi sujudnya yang panjang menceritakan segalanya. Tentang ketabahan, tentang pengorbanan, tentang cinta yang tak berujung, dan tentang harapan yang tak pernah padam meski dalam gelap. Mungkin kita semua bisa belajar dari kesunyian yang bermakna ini. Terkadang diam bukan berarti kosong. Ketenangan bukan berarti ketidakadaan badai. Hal terkuat yang bisa dilakukan adalah membiarkan diri kita menjadi lemah di hadapan Yang Mahakuat.
Real talk, kita perlu normalisasi momen-momen kelemahan. Tak masalah bila tak selalu kuat. It’s okay untuk berlama-lama dalam sujud mencari kekuatan. Karena justru dalam kelemahan itulah, kita menemukan kekuatan yang sesungguhnya. Maka, jika kita melihat seorang perempuan yang sujudnya lama di rakaat terakhir, jangan ganggu.
Jangan bertanya. Biarkan ia menyelesaikan percakapannya dengan Yang Maha Mengerti. Biarkan ia menemukan kembali kekuatannya, sebelum kembali berdiri menghadapi dunia. Karena perempuan tidak bercerita, tetapi sujud panjangnya berkata-kata. Dan terkadang, bahasa diam adalah bahasa yang paling kuat untuk dipahami.[]