Perempuan dan Objek Stereotipe Sosial

Sumber Gambar: istockphoto.com

Generasi muda kiwari memang kreatif dalam menuangkan ide. Di antaranya, ide sebuah karya, konten viral, maupun sapaan-sapaan tertentu yang berbagai kalangan menggunakannya. Misalnya memakai sapaan “The Nuruls”, “Aura Magrib”, “Si Paling …”, “Bocil Kematian”, dan banyak lagi sapaan lain dengan niat bercanda. Lantas, apakah kita menyadari dampak dari sapaan-sapaan tadi? 

Sapaan-sapaan tersebut booming dan justru malah menciptakan stigma sosial yang pada akhirnya menjadi hal normal setiap orang melakukan. Memberikan stereotipe terhadap seseorang, yang bahkan kita tidak mengenalnya atau baru pertama kali melihatnya di konten, sudah menjadi hal wajar dalam lingkungan sosial. Demikian adalah hal masih sumir apakah baik atau justru malah membuat perasaan seseorang sakit?

Mencipta Label

Stereotipe sendiri bermaksud untuk memberikan identitas bagi seseorang atau sekelompok orang berdasar dari ciri-ciri sosial yang termiliki. Namun, ciri-ciri tersebut berdasar pada standar sosial masyarakat umum. Misalnya sapaan “Aura Magrib” merujuk pada seseorang memiliki kulit gelap dan tidak enak terpandang. Seolah kecantikan mutlak bagi pemilik kulit putih semata. Sementara pemilik kulit gelap kadung teranggap tak bisa berpredikat cantik, bahkan seringnya mendapat anggapan tak bisa merawat diri.

Sementara sapaan “The Nuruls” identik dengan perempuan berhijab tapi memiliki kebiasaan tidak lazim. Misalnya kala perempuan berhijab menonton konser ia mendapat label “The Nuruls” padahal itu kebiasaan normal dan tidak melanggar hukum. Hari ini, orang melihat kondisi fisik, penampilan, hingga kebiasaan seseorang bukan sebagai sesuatu kewajaran dalam perbedaan. Semuanya harus mendapat komentar dan label tertentu. Lelaku ini kadang ternormalisasi perlahan karena dukungan teknologi, sikap anonimitas, dan dukungan masal satu suara.

Memotong Standar Sosial

Stigma sosial yang merujuk pada standar sosial dapat menimbulkan rasa rendah diri bagi seseorang. Dalam budaya patriarki, perempuan seringkali terhadapkan pada standar soisal terkait bentuk fisik ideal, penampilan, hingga perilaku. Budaya patriarki mengharapkan perempuan untuk tampil cantik, memiliki tubuh ramping, anggun, serta mematuhi norma-norma gender. Misalnya menjadi ibu rumah tangga yang baik, tidak perlu bersekolah terlalu tinggi, bahkan seringkali tidak mendapat hak untuk mengambil keputusannya. Kegagalan akan mencapai ekspektasi sosial tersebut dapat menimbulkan rasa minder dan mungkin juga bisa menganggap pribadinya tidak pantas sehingga masyarakat tak menerimanya.

Baca Lainya  Jilbab, Bukan hanya Menyoal Fesyen 

Perempuan sendiri, seringkali terhadapkan tekanan memenuhi peran yang mungkin tidak sesuai dengan pribadinya. Atau perempuan yang belum menikah hingga usia tua mendapat label perawan tua. Perempuan penganut child free karena alasan kesehatan teranggap tak memenuhi kodrat wanita. Bahkan perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan belum mempunyai pasangan ternilai terlalu independen sehingga laki-laki minder untuk mendekati.

Pemenuhan standar sosial kini menjadi tekanan bagi seseorang, yang apabila sapaan tersebut sering tergunakan, maka akan berusaha untuk memenuhinya padahal ia sendiri misal kurang nyaman akan hal tersebut. Meski taak nyaman tapi akan tetap memaksakan untuk terlihat pantas dan terakui masyarakat.

Alasan mengapa seseorang merasa perlu mendapat pengakuan masyarakat juga merupakan salah satu akibat dari stereotipe dan standar sosial yang masyarakat ciptakan sendiri. Penampilan dan kondisi fisik seseorang yang teranggap  good looking akan memperoleh perlakuan lebih baik daripada yang biasa saja. Bahkan untuk mencari pekerjaan, perusahaan menginginkan karyawan good looking, sesuai standar sosial masyarakat tentunya.

Kebiasaan wanita berhijab datang ke konser band idola bisa jadi merupakan stress release yang ia lakukan tapi malah terlabeli “The Nuruls”. Bagaimana jika karena ingin menghindari label tadi lantas perempuan melakukan tindakan membahayakan pribadinya. Misal dengan melepas hijab agar lebih bebas untuk melakukan sesuatu. Sama halnya dengan sapaan lainnya yang memiliki alasan dan akibat di balik pilihan keputusan apabila masyarakat umum memaksakannya.

Mencintai Diri Sendiri

Ketika penampilan atau kebiasaan, yang merupakan ekspresi diri seseorang,mulai terbatasi, di sinilah ketakutan seseorang berekpresi termulai. Orang akan mulai menganggap kebiasaannya aneh atau selera berpakaiannya buruk. Dengan begitu, ia harus menahan diri untuk tak melakukan hal penting baginya. Lalu berhenti menggunakan pakaian yang ia sukai agar terhindar dari penilaian buruk orang lain.

Baca Lainya  Tren Fesyen ala Natasya Rizky

Lagi-lagi karena standar sosial seseorang berlomba-lomba menjadi good looking agar memiliki privilage. Padahal yang terbutuhkan hanyalah mencintai diri sendiri dan menerima kondisi kita. Dengan mencintai diri sendiri maka kebahagiaan dan hal-hal baik akan terpancar dalam diri kita. Kita tidak memiliki kapasitas untuk membungkam standar masyarakat tapi kita bisa memilih untuk tidak mendengarkan komentar orang lain. Maka kita perlu belajar untuk menyukai apa yang memang kita sukai tanpa harus memenuhi standar masyarakat.  

Walhasil, fenomena ini menjadi penting bagi kita untuk memotong standar sosial masyarakat dengan menyadari bahwa setiap manusia juga memiliki keunikannya masing-masing yang tidak dapat terukur menggunakan standar masyarakat umum. Apabila kita tidak ingin menjadi korban maka berhenti menjadi pelaku. Bukankah seharusnya perbedaan itu indah? Bagaimana apabila seisi bumi menyetujui standar yang sama? Pastinya semua orang akan terlihat sama dan membosankan bukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *